Monday, July 02, 2012

Eskalasi Konflik, Kekerasan dan Bayang-bayang Failed State


Dimuat di Bali Post l Senin, 02 Juli 2012 | BP [Opini]

personal doc. bali post
Eskalasi konflik, kekerasan dan ancaman yang dialami warga negara adalah salah satu indikator kuat tentang negara lemah. Negara lemah selalu bungkam menghadapi eskalasi kekerasan dan konflik yang terus berkecamuk di bawah. Hal itu bisa dilihat dari naiknya angka kriminalitas, terorisme internal negara, konflik komunal dan kekerasan sipil yang drastis.

Negara dalam kondisi demikian diombang-ambingkan oleh segelitir kepentingan kelompok yang bebas memaksakan kehendak dan melakukan kekerasan kepada warga negara, khususnya kelompok minoritas. Sehingga negara tampak seperti sebuah rangka kosong yang pincang dan bahkan melapuk.

Akhirnya kekerasan ibarat sebuah sindrom dalam disordered society. Di tengah kondisi bangsa dan negara yang panik seperti sekarang kekerasan akan menjadi ekstase bagi warga yang tidak terakomodasi rasa aman, kenyamanan sebagai warga negara dan impunitas supremasi hukum. Artinya, masyarakat yang hidup di tengah realitas sosial yang patologis akan tertekan dan merasa tidak puas terhadap realitas lingkungannya. Sehingga penyimpangan-penyimpangan seperti tindak kekerasan demi melampiaskan hasrat bawah sadar mereka akan membentuk ekstase yang tak terkendali.

Melihat fenomena di atas, tidak mengejutkan bila kita menyaksikan hasil riset The Fund for Peace bekerja sama dengan majalah Foreign Policy tentang indeks negara gagal (failed state index) yang meletakkan Indonesia di posisi ke-63, yakni posisi 'dalam peringatan' (warning) atau dalam bahaya (in danger), dari 178 negara yang diriset. Karena kenyataan di bawah, negara kita memang tidak mempunyai orientasi jelas dalam memperjuangkan hak-hak warga sipil. Yang sejauh ini dipraktikkan adalah politik transaksional berdasarkan pada kepentingan-kepentingan kelompok sehingga apparatus state tersandera oleh permainan busuk tersebut.

Kegagalan negara
Kekerasan dalam masyarakat semacam ini muncul dari akar masalah yang kompleks. Di samping sistem pendidikan belum settle, peran negara dalam upaya menciptakan kenyamanan bagi warganya adalah faktor penting yang kerapkali terlalaikan. Akhir-akhir ini ada kecenderungan, seperti digelisahkan sebagian pengamat, Indonesia seperti bukan lagi berdiri untuk kepentingan kesejahteraan warganya. Indonesia seolah meninggalkan warganya yang bernaung di bawah payung Pusaka Pancasila. Ada kepentingan-kepentingan baik kelompok ataupun asing yang selalu menjadi prioritas dalam pengambilan kebijakan. Sehingga negara tidak lebih dari sekadar organisasi yang menjadi boneka bagi kepentingan asing yang telah memanfaatkan sumber daya kekayaan bangsa dan negara Indonesia. Seharusnya, negara menjadi pihak yang musti cepat berbenah di tengah kondisi sosial yang semakin sekarat ini.

Johan Galtung (1975) telah memperkenalkan teori kekerasan struktural (structural violence) yang tampak rumit dan kompleks. Negara sebagai sumber kebijakan sistem sosial masyarakat tentu menjadi pemain penting dalam konteks ini, hingga kekerasan domestik dalam rumah tangga sekalipun. Semua itu, dalam perspektif Galtung, merupakan kekerasan struktur yang secara tidak sadar diabsahkan oleh negara sendiri. Artinya, kebijakan-kebijakan yang diambil negara telah ikut andil dalam memperkeruh realitas sosial masyarkat ketika pemerintah masih mendahulukan kepentingan personal dan pihak-pihak tertentu yang saya maksud di atas. Sehingga tugas 'negara' sebagai negara yang sebanarnya telah gagal dipraktikkan.

Sebagai 'perlawanan' dari kekerasan struktural di atas kita perlu memahami teori spiral of violence sebagaimana dikemukakan Dom Helder Camara (1979). Inti teori spiral of violence adalah bahwa kekerasan selalu memroduksi kekerasan baru. Kekerasan yang paling utama adalah ketidakadilan sosial. Karena itu untuk menghentikan produksi kekerasan, maka yang pertama harus dilakukan adalah menciptakan keadilan sosial itu sendiri. Negara adalah institusi yang paling bertangung jawab dan bisa melakukan semua itu. Namun ironisnya, Indonesia ternyata tidak mau cepat berbenah.

Dalam terminologi Daniel Thürer, seorang profesor hukum internasional di Universitas Zurich, kondisi negara yang demikian dikategorikan sebagai 'negara tanpa pemerintahan' (etats sans gouvernement). Fenomena failed state catatan Thürer dapat diidentifikasi dalam tiga perspektif. Pertama, aspek geographical and territorial dalam internal negara yang bergolak dan negara tidak mampu mengatasinya. Kedua, aspek politikal, yaitu ketidakmampuan sistem politik dalam menangani kekacauan (patologis) dan penyakit negara (seperti korupsi) serta politik kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat banyak. Di sini pemerintahan seperti menara gading saja. Ketiga, aspek fungsional, yaitu absennya badan fungsi yang bisa merepresentasikan semua kepentingan internal ke dalam level internasional, yang piawai menegosiasi secara bilateral dalam upaya penguatan internal suatu negara di mata negara lain.

Negara kita ternyata hampir semua gagal dalam urusan yang disinyalir Thürer di atas. Bukti bahwa kita masih belum mampu mengatasi stabilitas sosial skala internal bisa dilihat dari berbagai konflik berkepanjangan dan tumbuh silih berganti yang mengancam integrasi sosial kita. Demikian juga dengan lobi luar negeri yang selalu ampuh di bawah diteksi negara-negara sekelas Amerika dan kroni-kroninya. Ketidakberdayaan menjadi teritori pun menjadi misal yang sangat mengenaskan bagi masa depan negara ini.

Stabilitas internal negara yang tidak menentu ini perlahan akan mengancam integrasi NKRI kita. Praktik-praktik ketidakpuasan warga terhadap ketidakadilan kebijakan negara akan marak bermunculan hingga pun dalam praktik sipil-meliter yang makin marak akhir-akhir ini. Bahwa ketidakadilan sosial akan memroduksi pemberontakan sipil, dan pemberontakan sipil akan mengundang represi negara.

Efek domino semacam ini akan membentuk siklus dan terus berputar sebelum negara tangkas mengambil sikap demi kesejahteraan (welfare) dan keamanan warga (rakyat).



0 comments: