(Esai ini ditulis tempo hari sebagai pengantar sebuah kumpulan cerita pendek adik-adik saya di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Tapi saya tidak tahu wujud bukunya macam apa, karena sayangnya saya belum mendapatkan cetakannya :p)
Dalam salah satu novelnya yaitu The Black Book,
yang kemudian menjadi penanda penting lahirnya postmodern style dalam karya-karya selanjutnya, Orhan Pamuk, peraih anugerah Nobel Sastra 2006 menulis begini:“[N]othing is as surprising as life. Except for
writing. Except for writing. Yes, of course, except for writing, the only
consolation.”
Pamuk sungguh jelas
menempatkan dirinya sebagai penulis. Dari beberapa cita-cita yang
diimpikannya—menjadi pelukis, penyair, jurnalis dan bahkan insinyur—Pamuk banting setir
untuk menjadi penulis. Sejak usia 23 tahun dia sudah memilih jalan menjadi
penulis novel. Bisa dipastikan bagaimana proses “berdarah-darah” yang
telah dilalui Pamuk untuk menunjukkan totalitas dan keseriusan dalam menekuni
bidang kepenulisan. Dia bahkan selama lima tahun lebih tidak keluar rumah, mendekam di kamar dengan perpustakaan pribadi keluarga dan sebuah ransel yang berisi buku-buku koleksi ayahnya, membaca dengan tekun, hingga novel pertamanya lahir setelah tujuh
tahun kemudian.
Pamuk adalah seorang
Pamuk, sosok penulis yang hidup di negeri yang berbeda: Turki. Meski
begitu, bukan berarti dia tidak bisa disamai dalam hal spirit kepenulisannya. Kita
bisa membaca jejaknya melalui karya-karyanya sendiri, ataupun dari ulasan-ulasan
orang lain.
Nah, dalam tulisan singkat
ini saya diminta memberikan kata pengantar untuk sebuah antologi cerpen yang,
sepertinya, hanya untuk dokumentasi dan seru-seruan belaka (?), semacam menerbitkan
karya sastra dalam bentuk antologi cerpen karena faktor periodik. Saya katakan
“periodik” karena kecenderungan umum yang terjadi di Annuqayah khususnya di masa saya dulu,
mungkin juga termasuk masa dua penulis dalam antologi cerpen saat ini: Ummul Khaier El-Syaf dan Nurul Alfiyah Kurniawati (?), yang sudah mau lulus
dari jenjang pendidikan SMA di Annuqayah, biasanya menggebu-gebu untuk membukukan
karya-karya mereka sepanjang berproses menulis di pesantren.
Semangat antologi karya
(puisi, cerpen, dll) seperti itu dalam sisi dokumentasi tentu sangat bagus--sebagai bentuk sharing tulisan dan karya kepada teman-temannya yang lebih
muda atau baru masuk ke pesantren. Bahwa kakak-kakaknya pernah berkarya dan membukannya. Namun di sisi lain, cara seperti itu
cenderung tergesa-gesa atau bahkan prematur. Sebenarnya, yang paling penting
dalam menulis adalah berlatih dan terus berlatih. Tak peduli seberapa
capai, lelah, dan bahkan lapar! Itu prasyarat yang harus dilalui
tentunya.
Tapi jangan takut dengan
keprematuran sebuah karya. Karya prematur mencerminkan tahapan dan proses dalam
menulis itu sendiri. Tak perlu takut salah atau tulisan jelek. Keberanian dan tekad kedua calon cerpenis ini adalah kabar baik. Tapi dengan syarat proses menulis terus berlanjut. Kuncinya ketekunan tadi, berlaku untuk profesi dan pekerjaan
apapun, lebih-lebih dalam menulis. Jika kamu sudah menekuni dengan senang dan
sabar profesi apapun yang kamu pilih, karya dan semua hasil pekerjaan yang kamu bikin akan memukau dan sangat hebat pada akhirnya.
Saya percaya anak muda
semacam Ummul Khaier El-Syaf dan Nurul Alfiyah
Kurniawati ini akan menjadi the next short stories writer di masa akan
datang bilamana mereka mampu menekuni dengan sabar dan passion yang kuat.
Karena dari beberapa cerpen yang saya baca, khususnya yang berjudul Percakapan Sepasang Sahabat dan Aku Malang, Ibuku Melintang. Saya sangat suka
cerpen yang pertama, yaitu Percakapan Sepasang Sahabat. Teknik bercerita Ummul dalam cerpen itu bisa dibilang segar dan enak, mengalir, dan mengejutkan.
Ummul seperti lepas bercakap-cakap begitu saja secara langsung dengan
menyembunyikan tokoh-tokoh yang sedang terlibat dalam dialog. Kemasan cerpen
seperti itu menurut saya perlu diapresasi lebih. Sementara cerpen punya Ummul yang
lain tampak biasa-biasa saja, tanpa ada keistimewaan yang mengejutkan.
Sementara itu, Nurul Alfiyah Kurniawati mempunyai kemampuan pelukisan latar
dan penguasaan kosa kata yang lebih bagus dari Ummul. Misalnya dalam cerpen
berjudul Untuk Satu Nama. Teknik yang dipakai Nurul harus benar-benar
detail dengan membangun narasi dalam bentuk fragmen, sehingga pembaca bisa
mengikuti alur yang hendak disampaikan. Cara-cara bercerita seperti ini memang cukup
baik dicoba dan dikembangkan.
Bagi saya, Nurul punya imajinasi bagus dan benar-benar mempunyai sebuah kisah dalam cerpenya.
Ia menuliskan kisah apa adanya dan mengalir enak dengan kemampuan pemilihan kata yang cukup baik,
dan kadang dengan bahasa yang mencengangkan. Misalnya lihat paragraf berikut:
“Aku tidak bisa membenci keindahan kota ini, seburuk apapun kenangan yang
diberikannya. Aku tetap membungkus hatiku untuk satu orang yang sama selama
tiga tahun kurang sehari.Tak peduli harus setia menenggelamkan diri di tengah
keramaian Bucherer demi mencari hiburan, melelehkan kesepianku seperti halnya
salju dan lampu pijar yang melelehkan kesan angker area pemakaman Zhukov.
Ataupun membusuk sekalian di tepi Reuss.”
Saya suka terutama dua cerpen Nurul berjudul Untuk Satu Nama dan Puteri
Bulan. Teknik bercerita Nurul yang berani mencoba hal-hal baru--dan keluar
dari kebiasaan anak-anak sejawat MA menulis cerita—sangat bagus dan perlu
terus dilatih. Nurul sepertinya enjoy ingin bercerita tentang cara-cara lain, misalnya dalam kalimat-kalimat awal pembukaan cerpen Puteri Bulan.
Sekilas dari sedikit cerpen yang dikirimkan dan saya baca, saya bisa menangkap
bahwa si Nurul ini sudah terbiasa dengan bacaan yang lebih luas daripada Ummul.
Dari cerita-cerita yang dibangun seperti
latar, konflik dan simbol-simbol yang diangkat menunjukkan bahwa wawasan Nurul
sudah terlihat beragam dan kaya. Dalam menulis cerpen memang harus seperti itu.
Menjadi penulis (cerpen ataupun novel) harus mempunyai pengetahuan yang kaya,
wawasan luas dan perspektif yang beragam. Itu tentu demi menumbuhkan dan
membubuhkan imajinasi-imajinasi yang cantik dan ciamik dalam cerita.
Namun begitu, Nurul tampak lalai dalam tataran teknis EYD, gramatikal, dan pembentukan
paragraf, sehingga terasa bertumpuk-tumpuk. Entah apakah karena tukang ketiknya saja
yang salah, saya kurang tahu pasti. Tapi cerpen-cerpen Nurul secara wawasan
sudah sangat luar biasa untuk sekelas siswa MA. Nurul tinggal memperbaiki secara teknis
kepenulisan saja. Setelah itu, saya sarankan untuk coba kirimkan ke media-media massa.
Sementara Ummul secara teknis menulis sudah lebih oke. Ummul butuh pengkayaan
dan penambahan wawasan yang kuat untuk memberikan warna yang luas dalam
cerpen-cerpennya ke depan. Caranya tentu dengan banyak membaca karya-karya
orang lain. Tujuannya untuk memperkaya gaya dan bisa mengembangkannya secara maksimal dengan rasanya sendiri kelak. Perlu diingat bahwa tema dalam sebuah cerita tidak akan pernah
bagus kalau cara penyampaiannya, cara bercerita/berkisah, perspektif yang
diambil dan karakter yang dibangun rapuh. Sebagus apapun tema yang akan kalian
tulis, kalau bangunan dan wawasan berceritanya lemah, ya tetap lemah. Dan sebaliknya,
sesederhana apapun tema yang kalian angkat, tapi dikemas dalam bungkus cerita/kisah yang unik, tentu akan menjadi istimewa.
Akhirnya, saya mau menyampaikan salam kreatif buat adik-adik santri di Annuqayah.
Jangan pernah lelah berkarya dan berkreasi (tidak harus dengan tulisan, masih
banyak karya-karya lain yang bisa dijelang) untuk masa depan kalian. Saya
secara pribadi sangat senang adik-adik di pondok terus menulis dan berkarya.
Salam
Yogyakarta, 3 Desember 2012