Versi cetak dari tulisan ini ada di Suara Medeka
taken from www.suaramerdeka.com |
Hari-hari ini, kehidupan kita sedang berada pada titik
paling awas terhadap perbedaan. Perbedaan menjadi korpus sensitif yang banyak
mempengaruhi perspektif kita dalam memahami konflik dan sekaligus strategi perdamaian
di Indonesia. Artinya, terma perbedaan telah menjadi semacam lokus segala
hiruk-pikuk tragedi kekerasan khususnya yang menyangkut tentang agama dan
aliran kepercayaan, seperti dalam kasus Syiah di Sampang, Jawa Timur, misalnya.
Belajar dari kasus Syiah di Sampang, saya berhipotesis bahwa
perbedaan telah menjadi lokus yang selalu didendangkan oleh logika mainstream anak
bangsa dalam melihat konflik (atau potensi konflik) dan kekerasan di Indonesia.
Untuk melihat perbedaan, Indonesia sebagai warisan nation-state, tentu tak terelakkan sebagai laboratorium keberagaman yang tak bisa dipungkiri. Di sana-sini, dalam laku interaksi-sosiologis, kita dengan mudah akan menemukan titik-titik perbedaan yang sangat kentara satu sama lain. Mulai dari bahasa, etnis, tradisi, karakter, agama dan bahkan selera (kuliner). Fakta ini menunjukkan bahwa keberagaman di negeri ini sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Semua orang di bawah cangkang langit ini dengan serentak akan mengakuinya sebagai khazanah kekayaan Indonesia.
Namun pertanyaannya: bagaimana perbedaan-perbedaan itu
bersinergi dalam satu ruang dan dicari titik persamaannya sehingga perbedaaan
tidak melulu menjadi tention (ketegangan)? Jika konsentrasi pikiran dan paradigma
kita selalu terfokus kepada perbedaan, sangat layak bilamana di antara kita merasa
sangat sensitif dan awas satu sama lain. Karena tidak bisa dipungkiri perbedaan
telah dipahami secara artifisial sebagai kutub oposisi: “Saya Islam, Anda
Kristen”, “Saya Syiah, Anda Sunni”, “Saya Ahmadiyah, Anda Muhammadiyah”, Saya
Madura, Anda Dayak” dan seterusnya. Artikulasi perbedaan yang merasuk ke dalam
pemahaman mainstrem tersebut telah menghukum cara pikir kita melihat fenomena
sosial di Indonesia.
Dalam oposisi biner (binary opposition), meminjam istilah Michel Foucault, perbedaan menjadi korpus yag berkebalikan namun berhubungan sebagai dua kategori, seperti hitam dan putih, baik dan buruk. Kelompok A masuk akal hanya karena ia bukan kelompok B,
sesuatu menjadi benar kalau ia
tidak salah. Bagi Lubis, oposisi biner
dihadapkan pada salah satu pilihan “ini” atau “itu” (either/or) sebagai
salah satu yang dinyatakan
benar (Lubis, 2006). Ketika pendekatan yang kita pakai adalah pendekatan konflik
terhadap oposisi biner atas perbedaan, yang muncul adalah ancaman konfrontasi.
Dalam studi psikologi,
oposisi biner dipahami sebagai dua hal yang berbeda, yaitu mental dan jasmaniah
(mental and bodily). Psikolog Ratcliffe melihat
oposisi ini bisa memberikan karakter pada dualisme substansi (to
characterize substance dualism), namun menariknya dualisme tersebut (mental and bodily) diperlakukan
sebagai non-dualist untuk membedakan antara aspek psikologis dan non-psikologis
tentang tubuh (Ratcliffe, 2010). Artinya, mental and bodily jika dilihat
dalam konteks yang lebih luas berada dalam satu korpus bernama tubuh.
Eksistensi tubuh jika dilihat dari aspek ilmu sosial menjadi semacam titik
persamaan dari entitas-entitas oposisi biner yang berbeda tadi.
Titik Persamaan
Untuk itu, mencari titik persamaan di tengah
gejolak perbedaan adalah salah satu jalan kebajikan demi menemukan sumbu
sinergis yang bisa menyatukan entitas-entitas yang berbeda. Saya tersadar dengan
konflik Syiah yang di Sampang. Konflik ini bisa saya jadikan bahan kajian untuk
melihat sejauh mana pentingnya menemukan titik persamaan tersebut. Dari situ
kemudian saya berharap bahwa pendekatan pembacaan seperti ini bisa menjadi strategi
perdamaian di Indonesia. Analoginya bisa saya jelaskan seperti berikut.
Dalam sebuah kesempatan camp
pelatihan bersama anak-anak muda dan mahasiswa dari tingkat pertama kuliah,
saya memainkan sebuah game bernama Viva la Difference (Merayakan Perbedaan).
Sebagai perayaan terhadap perbedaan, game ini mengeksplorasi realitas tentang
perbedaan yang melekat dengan kita. Mulai soal agama, etnis, suku, kedaerahan, hobi,
hingga orientasi seksual. Dalam game ini, perbedaan-perbedaan tersebut
dibenturkan satu sama lan. Dari game ini terasa bahwa perbedaan terekspos sangat
kentara, lalu terbangun gap dan kelompok-kelompok berdasarkan strata dan kategori perbedaan. Tirani mayoritas dan inferioritas minoritas sangat terlihat.
Di akhir acara, game ini
dievaluasi sebagai permainan yang cukup menegangkan khususnya ketika peserta semakin
diarahkan untuk menunjukkan perbedaan yang (dianggap) tabu dan sensitif,
misalnya tentang orientasi seksual. Sebenarnya cukup mudah dipahami kenapa
permainan tersebut terasa tengang ataupun tidak adalah bergantung kepada
penerimaan dan sikap positif kita terhadap perbedaan itu sendiri. Tapi ingat
bahwa tidak semua orang berada di posisi yang secara dewasa dan sadar menerima
perbedaan sebagai pernik khazanah kekayaan untuk sesautu yang bernilai estetik
bernama keindahan, yaitu sebuah definisi untuk menempatkan perbedaan-perbedaan
itu dalam satu lingkup medan yang serasi dan harmonis.
Dalam situasi menegangkan
tersebut, di mana antara peserta belum kenal secara dekat tetapi sudah dihadirkan
tentang perbedaannya, akhirnya beberapa teman dan saya segera mencari game yang
menjadi lawan Viva la
Difference. Dengan spontan akhirnya terciptalah game Viva la Youth (Merayakan Pemuda). Dalam game ini semua kesamaan dihadirkan dengan suasana
yang cair dan menyenangkan. Apa yang menyamakan mereka? Mereka dengan antusias bersorak
di bawah panji persamaan dan kebersamaan sebagai pemuda. Tak ada lagi yang perlu
ditegangkan karena mereka sebenarnya adalah pemuda-pemudi yang berada dalam
satu spirit berkarya untuk ibu pertiwi.
Dus, memahami titik
persamaan—atau lebih tepatnya: apa yang menyatukan kita yang telah bersepakat menjadi
Indonesia?—sangat diperlukan demi menemukan spirit untuk menyambungkan dan
menyatukan kehidupan kita ke dalam satu ruang perdamaian. Lanskap persamaan
kita memang sangat relatif, tergantung dari mana kita melihatnya. Namun, jika perspektif
perdamaian yang dipakai kita akan menelusuri satu kesamaan sebagai satu bangsa bernama
Indonesia. Mencari titik kesamaan/persamaan bukanlah untuk menyamakan atau meleburkannya
menjadi satu, tapi menyatukan beragam perbedaan dalam ruang lingkup kebersamaan.
Saya percaya bahwa ruang yang serasi, harmonis, dan non-hegomonis seperti itu adalah cita-cita kita
bersama, dan Foucoult memimpikan ruang-georafis tersebut dengan istilah heterotopias.
Pada kasus Syiah di
Sampang, saya diteror pertanyaan dan keterheranan ketika menyaksikan warga asli
kampung setempat harus terusir. Kenapa ketika menjadi Syiah lalu mereka dijadikan
musuh? Apakah Syiah, Sunni dan sebagainya telah menghapus kesamaan identitas mereka
sebagai orang Madura yang sesaudara itu?
0 comments:
Post a Comment