PEKAN-PEKAN ini, jika
Anda berkunjung ke Yogya, Anda akan menemukan suguhan menarik di ruang publik
yang layak diperbincangkan lebih serius, yaitu spanduk-spanduk yang bertebaran
di ruas-ruas jalan utama ataupun hanya selebaran-selebaran kecil yang
disebarkan melalui kertas photo copy seadanya.
Pesannya bernada
sama: “Rakyat Yogya Menolak Premanisme‘ atau “Yogya tanpa Preman‘.
Kalimat-kalimat tersebut antara lain: Sejuta Preman Mati, Rakyat Yogya Tidak
Rugi, Anda Sopan Kami Hormat, Anda Preman Kami Sikat, dan khusus
untuk pelajar, ada pesan begini: Ke Yogya belajarlah yang baik dan jadilah
warga yang baik. Yogya Nyaman Tanpa Preman.
Di samping spanduk dan selebaran-selebaran tersebut, di Yogya juga banyak aksi yang secara khusus menolak segala bentuk kekerasan dan premanisme, baik yang dilakukan oleh kelompok pemuda ataupun antar-aliansi. Respon yang ditunjukkan rakyat Yogya—jika bisa dikatakan demikian—adalah buntut kasus premanisme yang dalam satu tahun terakhir semakin marak terjadi di Yogya.
Momentumnya
adalah peristiwa pembacokan dan penganiayaan yang menewaskan seorang anggota
Komando Pasukan Khusus, Sersan Satu Santoso di Hugo's Cafe, Sleman, Yogyakarta,
Selasa (19/3), yang kemudian berlanjut pada eksekusi penembakan “beraroma balas
dendam‘ oleh oknum Kopassus di LP Cebongan, Sleman, yang menewaskan para
pelaku, yaitu Yohanes Juan Mambait alias Johan, 38 tahun, Gameliel Yermianto
Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun, Adrianus Candra Galaja alias Dedi, 33 tahun, dan
Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Dicky, 31 tahun.
Petrus
e pondot dari http://www.jurnas.com |
Untuk mencermati
sebentuk respon masyarakat Yogya terhadap premanisme, saya ingin kembali
menelisik litani sejarah senada, yaitu operasi khusus yang dikenal Penembakan
Misterius (Petrus) tahun 1980-an yang bertujuan untuk menertibkan preman di
Yogya. Sejarah mencatat bahwa operasi Petrus yang dilancarkan oleh sindikat
pemerintahan Orde Baru bermula di Yogya dan Jawa Tengah.
Waktu itu Yogya
menjadi salah satu daerah operasi pembunuhan banyak orang “tertuduh preman‘
atau para gali terkenal, tapi tanpa pengadilan dan pembuktian yang semestinya.
Terapi kejut Pak Presiden waktu itu berhasil menyiutkan nyali para preman gali,
tapi sekaligus menebar ancaman bagi warga negara.
Menarik mengutip
penjelasan Muhammad Najib Azca, peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
(PSKP) UGM yang tersiar di beberapa media massa dalam dua pekan terakhir.
Dikatakan, sejarah dan bibit-bibit preman di Yogya berawal dari kelompok massa
satuan petugas (Satgas) partai politik pada masa Orde Baru yang banyak merekrut
preman sebagai anggotanya untuk kepentingan politik. Hal itu bisa dilihat pada
Golkar pada masa lalu yang menggunakan nama Satgas Pasukan Khusus Cakra, PPP
dengan Gerakan Pemuda Kabah (GBK), dan PDI merekrut preman yang berbasis
wilayah-wilayah di Yogya.
Dalam
perkembangannya, premanisme di Yogya kemudian berafiliasi dengan kelas-kelas
sosial yang bisa dikategorisasi ke dalam kelompok-kelompok menurut basis
mereka, mulai dari preman berbasis etnis, preman pasar, preman mahasiswa (yang
biasanya dilakoni oleh mahasiswa DO), hingga preman siswa pelajar. Tak ayal,
basis dan kelompok mereka berjejaring satu sama lain menurut jenjang dan
pengalaman masing-masing.
Di tengah
fenomena pembiaran terhadap gejala patologi sosial yang berkelanjutan,
bibit-bibit premanisme terus berkembang sejalan dengan ekslusivitas kota.
Akhirnya premanisme, ataupun gembong-gembong kekerasan lainnya, yang
“dipelihara‘ oleh negara akan menjadi bom waktu yang hanya menunggu diledakkan.
Sebuah fakta di Jakarta yang terjadi akhir tahun 2012 menjadi salah satu
indikator bagaimana modus operandi premanisme sangat mengancam keamanan dan
perdamaian warga kota.
Perdamaian Sipil
Saya melihat
respon penduduk Yogya dengan membentangkan spanduk dan slogan mengecam
premanisme adalah perspektif tindakan simbolik tentang perdamaian sipil.
Peradamaian sipil dalam konteks Yogya bisa dipahami sebagai proses peacemaking
yang ditunjukkan secara persisten untuk mendialogkan tragedi kekerasan dan
teror yang mengancam rasa aman mereka sendiri.
Rakyat Yogya
ingin menjaga perdamaian sebagai bentuk self-defense terhadap aneka bentuk
kekerasan (khususnya kekerasan masif) yang terjadi (sebagai tindakan) di luar
kultur mereka, di tengah kelemahan dan ketidakhadiran negara dalam banyak kasus
kekerasan yang terjadi di akar rumput.
Namun wujud
perdamaian sipil tidak bisa diidentifikasi secara serta merta dari bentuk
spontanitas responsif terhadap masalah genting yang sedang terjadi dalam
kehidupan mereka. Spontanitas-masif (misalnya dalam kasus respon terhadap
Cebongan) bisa saja menjadi wujud nyata di tengah permisifitas masyakarat yang
secara gamblang bisa ditelisik bahwa mereka mengalami semacam keterkejutan dan
ketidakterdugaan atas kekerasan (shocking
violence) yang terjadi. Bagi saya semua dinamika tersebut menjadi ambigu
untuk dikategorisasikan sebagai perdamaian sipil. Karena persoalan perdamaian
sebenarnya merupakan proses dinamis yang secara konsisten dialami dan sekaligus
dipraktikkan secara bersama-sama dalam laku kehidupan mereka. Artinya,
perdamaian positif bisa dilihat dengan ukuran-ukuran kultural masyarakat terhadap
aneka ragam kekerasan yang terjadi di luar kasus Cebongan. Akhirnya proses peacemaking sebenarnya bisa diukur dari
proses kualitatif ataupun kuantitatif dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Jika masyarakat Yogya
masih permisif dengan fakta-fakta kekerasan di luar kasus Cebongan (misalnya penyerangan
terhadap warga yang berbeda keyakinan ataupun kaum nimoritas, tawuran dalam skala
lebih luas, atau bahkan kekerasan dalam pacaran), apa yang bisa kita simpulkan
di balik respon masif terhadap kasus Cebongan berupa selebaran yang secara
tersirat ataupun tersurat justru mengekslusi satu kelompok lain, kalau tidak
boleh dikatakan sebagai bentuk kekerasan yang lain?
Mengikuti alur
pikir PBB, secara teoritis peacemaking dipahami sebagai upaya
mendialogkan beberapa pihak yang bermusuhan (preman dan warga Yogya) ke dalam
kesepahaman dengan cara-cara damai (an action to bring hostile parties to
agreement, essentially through such peaceful means) (PBB, 1992).
Dalam praktiknya
di lapangan, peacemaking dijadikan sebagai upaya diplomatik yang
dianiatkan untuk mengubah konflik kekerasan menjadi dialog nirkekerasan (to
move a violent conflict into nonviolent dialogue). Selanjutnya, peacemaking
bisa dilakukan melalui proses negosiasi, mediasi, konsolidasi dan arbitrasi
(Johns Hopkins University, 2006).
Namun di sisi
lain, kita bisa memahami bahwa sikap rakyat Yogya yang ditunjukkan secara
simbolik tersebut adalah sebentuk upaya awal yang coba mendekatkan diri kepada
proses dialog, mediasi, dan konsolidasi, khususnya dalam internal masyarakat
Yogya sendiri. Namun, slogan-slogan seperti itu, dan bahkan selebaran yang
disampaikan langsung oleh Hamengkubuwono X, harus cepat-cepat dimediasi secara
terbuka dengan menghadirkan kelompok-kelompok yang sedang dalam ketegangan dan
perselisihan (dispute) agar tidak terlanjur atau dikhawatirkan menjadi
provokasi. Artinya, rakyat Yogya dan pemerintah daerah sendiri jangan hanya
bersembunyi di balik slogan dan spanduk yang mengutuk dan menolak segala bentuk
premanisme di Yogya.
Sebagai sebuah
inisiai, saya sepakat dengan respon masyarakat Yogya sejauh ini. Artinya,
mereka menunjukkan diri sebagai pihak yang ingin menjaga dan mempromosikan
perdamaian, baik untuk warga sendiri ataupun pihak pendatang. Namun jika
langkah mereka hanya selesai pada sebentuk slogan dan spanduk, saya khawatir
tindakan ini tidak akan selesai dan terkesan tanggung, atau bahkan sekali lagi bisa
dikatakan sebagai “provokasi‘ dengan media yang lebih halus. Proses
rekonsiliasi dan dialog asertif yang terbuka tidak tercapai. Jika kekhawatiran
ini terjadi, kecurigaan sosial dan prasangka yang menjurus kepada segregasi dan
pengkotak-kotakan sosial pun akan terjadi. Apalagi jika semua itu adalah pekerjaan
salah satu oknom (untuk memanfaatkan momentum misalnya), saya semakin ambigu
untuk mendefinisikan sikap dan langkah perdamaian sipil kita ke depan nantinya.
Jika kecurigaan
saya benar, saya sementara ini berhepotesis bahwa perdamaian sipil kita
sebenarnya masih riskan dan ambigu.
0 comments:
Post a Comment