Monday, October 21, 2013

Duh, Rasa Sayange!


Menjelang Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2013 kemarın, saya mendapatkan sebuah hadiah yang secara spontan memaksa saya untuk segera terbangun dan menerawang tentang anggitan nasionalisme yang terkandung dalam hayat. Kejadian itu di akhir September, pada sebuah kelas internasional di mana saya bersama mahasiswa dari berbagai negara sedang belajar di kelas persiapan bahasa Turki di sebuah universitas swasta di kota Konya, Turkey.


Hari pertama akan menjadi wahana perkenalan bagi semua mahasiswa asing yang sedang berkumpul dalam satu kelas. Seperti yang diminta dosen, kami memperkenalkan nama, asal negara, tokoh kebanggaan dari negara masing-masing, termasuk lagu kebanggaan: boleh lagu kebangsaan ataupun lagu-lagu lain yang spesial bagi kami. Saya menyebut Soekarno sebagai tokoh kebanggaan dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebanggaanç Begitu juga yang dilakukan oleh mayoritas mahasiswa yang berjumlah sekitar 25 orang. Mısalnya dari Afrika banyak menyebut nama Nelson Mandela sebagai tokoh kebanggaan mereka.

perkenanlan (jalan-jalan dı seputar kampus)
Kini giliran mahasiswi dari Malaysia, seorang cewek yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Turki untuk studi sarjana strata 1 di Selcuk Universityö Konya. Saya sangat menunggu aksi teman yang satu rumpun ini. Saya penasaran apa dan siapa yang akan dia sebutkan di depan kelas sebagai kebanggaannya (pride). Dia ternyata menyebutkan sebuah nama artis (saya kurang tahu pasti namanya siapa) sebagai kebanggaannya. Saya hanya mengangguk sembari menunggu lagu kebanggaan apa yang akan dia tunjukkan. Mataku tiba-tiba melotot ketika dia menuliskan kalimat: “Rasa Sayang HEY” di papan tulis. Mataku mendadak nanar. Saya tidak percaya ini.

“Itu ‘Rasa Sayange’, bukan? Itu lagu Indonesia. Saya kenal,” tiba-tiba Michiko berbisik di sampingku. Perempuan berusia sekitar kepala empat itu pernah tinggal di Indonesia, mengajar di Undip Semarang selama dua tahun, tampak terperangah. Dengan bahasa Indonesia yang pelan, saya bilang bahwa lagu daerah itu milik Indonesia tapi diklaim oleh pemerintah Malaysia. Michiko mengangguk. Di tengah-tengah kami mengobrol samar-samar, teman dari Malaysia ini ternyata meminta semua kelas ikut menyanyikannya. Dia menyontohkan cengkok dan irama “Rasa Sayang HEY”.

Saat itu, lidah saya kelu dan tidak bisa mengikuti irama keramaian lagu “Rasa Sayang HEY” yang dikomandani olehnya di depan kelas. Saya merasa ada yang terkaca-kaca di mata saya; ini pengalaman langsung yang saya saksikan sendiri, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Saya tidak tahu pasti apa yang saya rasakan ini sebagai sindrom nasionalisme ataukah hanya semacam rasa kangen kepada Indonesia, atau lebih tepatnya disebut “homesick” (?).

Pengalaman ini merupakan setangkup pelajaran penting bagi saya, dan mungkin bagi bangsa Indonesia, yang sedang memikirkan secara seksama tentang bagaimana cara mengelola dan mengembangkan khazanah dan kekayaan tradisi lokal yang kita punya. Sekitar tahun 2007 Rasa Sayange diklaim oleh Malaysia dengan cara memasang lagu itu di situs promosi resmi Departemen Pariwisata mereka. Saat itu saya masih di Indonesia dan mengalaminya secara tidak langsung—lewat koran dan media massa lainnya. Tapi hari itu, saya benar-benar menyaksikan sendiri bagaimana lagu Rasa Sayange diklaim sebagai lagu kebanggaan di depan mahasiswa internasional.

Secara promosi Malaysia telah berhasil meyakinkan generasi bangsanya, yang waktu itu mungkin dia masih di bangku SMP, untuk mengakui dan membanggakan bahwa lagu Rasa Sayang HEY adalah bagian dari kebudayaan mereka. Cara Malaysia dalam mempromosikan lagu itu ternyata bukan hanya untuk “memanas-manasi” pemerintah Indonesia tetapi mereka benar-benar menancapkan pengaruh kepada generasi muda sehingga, sebagai kecurigaan saya, anak-anak muda negeri jiran sejak tahun 2007 sudah dibombardir dengan lagu tersebut sebagai lagu kebanggaan mereka. Sehingga tidak mengejutkan jika kemudian anak-anak Malaysia, seperti halnya teman saya tersebut, dengan wajah polos menyanyikan lagu Rasa Sayange sebagai lagu kebanggaan mereka.

harı batık, selanjutnya
Saat ini, di saat saya menjalankan tugas belajar di negeri orang, identitas kebangsaan dari mana saya berasal menjadi salah satu pertanyaan yang menyertai perkenalan saya dengan mahasiswa asing. Satu hal yang tidak akan terlewatkan adalah tentang apa yang kita punya, tentang kebanggaan sebagai bangsa dan negara melalui khazanah dan kekayaan kebudayaan yang sulit ditemukan di negara lain. Poin ini akan menjadi semacam bargaining position yang bisa dijadikan modal dalam komunikasi lintas budaya. Ketika kita tidak mempunyai identitas dan kebanggaan yang bisa ditunjukkan, saat itu pula kita sudah tidak akan menjadi siapa-siapa. Fakta seperti ini akan menjadi tantangan bagi mahasiswa internasional karena mereka membawa nama besar bangsa dan negara di mata orang lain. Segala hal yang berkaitan dengan kebanggaan sebuah bangsa harus ditanamkan sebagai nilai-nilai personal yang menyertai laku sosial di depan bangsa lain.

Pelajaran penting dari peristiwa di atas adalah tentang: pertama arti identitas bangsa. Dalam konteks Indonesia identitas nasional adalah identitas lokal itu sendiri. Saya menyebut identitas Indonesia kita sebagai identitas detail yang plural, terdiri dari banyak tradisi dan kebudayaan yang telah membentuk kesatuan di bawah panji bendera Merah Putih.

Untuk menancapkan dan menanamkan nilai-nilai identitas bangsa, pemerintah dan semua stakeholder harus mampu menciptakan sistem yang mengelola kemungkinan penanaman nilai-nilai tersebut terserap secara maksimal dan merasuk ke dalam alam kesadaran. Secara parsial, kita bisa meniru Malaysia dalam hal promosi yang tak henti membombardir publiknya, juga publik internasional. Namun jeleknya mereka menghilangkan jejak sejarah di balik lagu Rasa Sayange dari Maluku itu.

Kedua tentang legitimasi. Dalam konteks percaturan hukum global, legitimasi menjadi kata kunci untuk khazanah ataupun warisan-warisan intelektual yang kita punya. Legitimasi dan pengakuan akan menghantarkan sebuah entitas budaya sebagai keutuhan yang terikat dan kuat. Legitimasi dibangun melalui jalur diplomasi ataupun promosi kuat dan tegas. Legitimasi menunjukkan seberapa kuat kita di depan negara ataupun bangsa lain. Misalnya, ketika orang menyebutkan tentang angklung, dengan tanpa ragu kita sudah punya legitimasi hukum berupa pengakuan dari UNESCO  sebagai milik Indonesia yang berasal dari Sunda.

Akhirnya, saya harus mengatakan bahwa jalur diplomasi tentang khazanah kekayaan tradisi kita masih kalah, di samping itu aspek promosi baik di internal negara ataupun dalam bilateral belum bunyi secara maksimal. Ini tentu menjadi PR kita bersama-sama ke depan.

0 comments: