Wednesday, March 12, 2014

Bermain dengan Bahasa

(unfinished notes for lala)

Saya lupa pastinya kapan pertama kali mengenalnya. Sebenarnya kalau mau scrolling timeline Twitter masih bisa terlacak. Tapi saya lebih suka melanjutkan perkenalan daripada menjadi stalker, menikmati gema yang berdengung dari masing-masing pengalaman dimana saya berhadapan dengan orang lain—salah satunya teman yang satu ini.

Entah kenapa saya selalu sangat sensitif dengan bahasa. Setiap tulisan yang ditulis dengan passion dan punya ruh tak jarang merenggut perhatian saya. Membacanya dalam-dalam dan melihat penulisnya. Kalau saya kenal penulisnya, saya anggap—dan seringkali begitu—sebagai ajang silaturahim untuk membayar lunas kerinduan dengan beberapa kawan penulis. Jika tidak kenal, saya biasa simak penulisnya. Bila penulis baru (artinya baru publikasi di media) saya pasti akan mengecek namanya baik di FB atau Twitter (lewat Google).

Benar. Dia pendatang baru di dunia kepenulisan, di ranah publikasi, sebuah artikel dengan judul yang meminta-harus-selesai-dibaca. Saya yakin dia bukan baru belajar menulis, tetapi baru memublikasikan di media. Saya sangat yakin itu...

Yang membuat saya senang dan beda dari biasanya, dia ternyata satu alumni di UIN Jogja, asal Jawa Timur, beberapa kali saya lihat Twitternya pakai bahasa Madura. Dan, dia temannya teman dekat saya. Waktu itu saya langsung follow Twitternya dan mulai kenal dan mengobrol.

Di sela-sela waktu kuliah dan berbagai macam tugas kuliah yang menumpuk, saya senang mengobrol dengan banyak teman, baik di mayapada ataupun ketemuan langsung. Beberapa kali saya asyik terlibat mengobrol dengan teman yang satu ini. Akhirnya entah kenapa saya menyebutnya Lala, sebuah sebutan ngasal untuk melengkapi imajinasi. Semacam upaya untuk mengaburkan fakta dan fiksi tentang dirinya, realita dan imajinasi. Saya menggunkan cara begitu tak lain agar saya bisa semakin bebas menghadirkannya dalam ruang yang saya ciptakan untuknya, ruas bayang-bayang yang dibikin abadi. 

Dia asyik, atraktif, cerdas, luas pengalaman bacaannya, out of the box, sedikit liar, dan (mungkin) seksi. Dari satu topik ke topik lain mengalir begitu saja dalam obrolan kami. Dibuat tanpa batas, kreatif, imajinatif dan tak jarang menantang. Lokus komunikasi kami adalah permainan. Tepatnya, bahasa sebagai medan permainan. Dan kami pun akhirnya senang bermain. Eh, dia yang mengajak saya pertama kali bermain (dengan bahasa dan kekuatan-kekuatan di baliknya).

Ingat kalau saya sangat sensitif dengan bahasa, bukan? Nah, ternyata dia masuk di ranah bahasa dimana saya seringkali menganggapnya sakral, menghargai, bersuntuk-suntuk, merasa lemah atau bahkan seringkali bermain dengan fantasi--dalam tulisan-tulisan saya--di tengah belantara bahasa. Lokus permainan kami pun begitu fantastik. Bahasa telah membuat kami merasa merdeka, menciptakan dunia sendiri dan sekaligus menikmati kenyataan yang fantasi.

Lalu berteman di FB. Saya buka beberapa fotonya. Dia pernah ke Australia untuk program so-called exchange, dan juga kerja di sebuah tempat yang menuntutnya terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu pengalaman ke pengalaman yang lain. Saya tidak aneh kemudian jika Lala memang mempunyai kelebihan jelajah yang tak main-main. Dia menjadi semacam perempuan yang melampaui dirinya—kultur, ras dan lingkungannya.

Dia selalu ingin melampaui dengan batas yang terjaga. Lihai menempatkan diri. Kapan harus “telanjang” dan kapan harus “tertutup”. Saya yakin tidak setiap orang mampu mengelola potensi antara dunia privasi dan sosial, kapan harus muncul dan kapan harus diam. Dua hal antara hitam dan putih.

Semakin lama saya menyadari betapa asyik dan worth it mengobrol dengan seorang—yang tidak pernah bertemu sebelumnya—tetapi seolah sudah menghadirkan pertemuan secara utuh dengan dimensi dan sentuhan yang berbeda. Ruang yang dianyam dengan kelenturan bahasa dan hasrat no bounders. Lagi-lagi, kemampuan game of language membantu kehebatan komunikasi imajinatif semacam ini. Ketika realita diolah oleh bahasa menjadi sebuah simbol, saat itu pula sebenarnya ia menjadi realita lain yang lebih kompleks, semacam sebuah dunia yang dihadirkan oleh permainan (bahasa). Dan uniknya, kami senang bermain di ranah itu.

Saya sangat terkejut ketika kami sampai pada sebuah kesepakatan bermain dengan bahasa yang menghantarkan dia kepada sebuah dunia di luar pengalamannya sekalipun, sebuah pengalaman baru yang awalnya tercipta hanya sebagai realita (dalam) bahasa. Tak pernah terbayang bahwa bahasa telah membimbingnya untuk menciptakan hal-hal baru bagi dirinya. Dan dia membuktikannya sendiri—karena keyakinan sifat dia yang ekploratif dan mencoba hal-hal baru—dan “it works,” she said. Dia ternyata mampu menerjemahkan permainan bahasa dengan lakon yang digerakkan oleh tangannya sendiri. Dia mampu, denga kekuatan bahasa yang dipilin imajinasi, mencari titik-titik yang melahirkan orgasme pengalaman, sebuah ihtiar dan proses untuk mencapai dan sekaligus menikmati keutuhan. She reached it by doing like an experimentation.

Sejak saat itu saya semakin in dengan Lala. Ada ruang yang nganga dalam diri, selalu memanggilnya untuk berkunjung dan mengisinya sebebas-bebasnya. Menyelesaikan imajinasi masing-masing di sana. Lalu berkreasi dengan gaya masing-masing, dan melahirkan "karya-karya" yang mustahil menghindar dari ruh permainan berdua.

Tapi, dia sekarang mulai tidak suka bermain dengan bahasa. Saya tidak yakin bahwa bahasa sudah tidak mampu membuatnya berkreasi, berfantasi atau mencoba hal-hal baru yang lain. Satu sisi saya merasa aneh karena dia seperti membatasi diri dari dunia yang sebenarnya sudah dilampaui. Namun di sisi lain, saya belajar kepadanya karena dia mampu menjinakkan yang-telah-dilampaui itu, membatasi yang-tanpa batas.

Di titik ini saya belajar kepada Lala….

0 comments: