Sunday, March 02, 2014

Prahara Parallel State

"Turkey is not a banana republic.”

(Recep Tayyip Erdogan)

Memasuki tahun politik 2014, kondisi politik dalam negeri Turki mulai diwarnai manuver panas kelompok-kelompok berkepentingan demi merebut kekuasaan di negara dua benua tersebut. Salah satu topik yang mencengangkan adalah pengungkapan kasus korupsi di lingkaran elit kekuasaan. Sebuah penyeledikan intens dan mendadak dilakukan oleh pihak kepolisian menangkap tiga anak menteri dari partai penguasa bersama belasan terduga korupsi lainnya. Akhirnya ketiga menteri (Menteri Ekonomi Zafer Caglayan, Menteri Dalam Negeri Muammer Guler dan Menteri Lingkungan Turki Erdogan Bayraktar) langsung mengundurkan diri.

Pengungkapan kasus korupsi tersebut menjadi turning point bagi politik dalam negeri Turki. Pasalnya pengungkapan kasus tersebut menjadi buntut perseteruan terbuka antara Perdana Menteri Recep Tayyip Erdoga (RTE) dengan salah satu kelompok islamis pimpinan Fethullah Gulen, ulama berpengaruh yang sekarang menjadi eksil di Amerika. RTE mengecam penyelidikan korupsi tersebut sebagai 'operasi kotor' untuk menghantam pemerintahannya dan menggagalkan pembangunan ekonomi negara yang dipimpinnya. Dan yang pasti, karena juga faktor menjelang pemilihan lokal pada bulan Maret dan dilanjutkan pemilihan presiden langsung untuk pertama kalinya di Turki, Agustus 2014.

Untuk itu, dengan sigap RTE melakukan pemecatan belasan perwira polisi termasuk kepala unit yang memimpin penyelidikan korupsi. Dalam sebuah siaran press, RTE dengan lantang mengecam gerakan parallel state yang ada dalam negara. Ia dengan tegas melawan tekanan yang semakin besar dari kelompok Gulen Movement sebagai parallel state di Turki.

Gulen Movement

Secara genealogis, gerakan keagamaan berupa jemaat (Turki: cemaat) telah menjadi bagian dari pergulatan sejarah Turki Modern. Meskipun konstitusi sekuler jelas melarang berbagai aliran-aliran keagamaan (termasuk gerakan sufi) sejak 1925, gerakan jemaat terus bergeliat mencari bentuk di bawah tekanan negara. Ada lebih dari 20 jemaat berkembang di Turki dengan banyak pengikut, seperti di antaranya Nur Cemaati (pengikut Said Nursi), Menzil Cemaati (aliran Naqsyabandi), Süleymancılar (pengikut Süleyman Hilmi) dan Gülen Hareketi (GH) yang merupakan sempalan Nur Jemaat. GH ditengarai menjadi jemaat yang secara finansial paling kuat karena mereka bergerak secara lues, pasifikasi dan menampakkan wajah Islam moderat dengan merambahi semua ranah: pendidikan, media, ekonomi-bisnis, sosial filantropi dan humanitarian, keagamaan dan juga masuk ke ranah politik dengan cara yang samar.

Kegiatan bisnis dan lembaga pendidikan di bawah GH sudah menyebar di seantero dunia baik Amerika, Jepang, Indonesia, Australia dan negara-negara Afrika. Dalam laporan Jane’s Defense Weekly mengungkapkan bahwa GH mengontrol aset lebih dari $25 milyar di berbagai perusahaan di seluruh dunia (Burhan Gurdogan, 2010). Kekuatan finansial tersebut menjadi modal penting dalam mengembangkan sayap-sayap gerakan GH hingga di beberapa negara.

Fungsi Negara

Sementara itu rencana RTE untuk menghapus dershane (lembaga kursus untuk siswa-siswi sekolah) yang dikuasai oleh GH sebagai salah satu pintu kaderisasi anggota adalah langkah politik yang tidak populis untuk melawan parallel state dan sekaligus menguatkan fungsi negara. Risikonya adalah perang terbuka antara sang Perdana Menteri dengan Fethullah Gulen yang merasa dikhianati. Karena sejak RTE berkuasa, jemaat FG menjadi pendukung dan menjadi mesin suara bagi partainya, Justice and Development Party (AKP).

Sehingga tak ayal kekuatan jemaat GH yang sudah tertanam di hampir semua sektor dalam lini pemerintahan, khususnya di lingkaran kepolisisan, akhirnya melakukan perlawanan dengan membuka penyelidikan korupsi yang terkesan mendadak. Bogem mentah pun datang bertubi-tubi kepada the ruling elite penguasa dan sekaligus menjadi senjata bagi pihak oposisi dari kelompok sekuler dan nasionalis Turki untuk meruntuhkan kharisma AKP yang sudah berkuasa lebih dari 10 tahu terakhir.

Perang politik terbuka dengan GH, hingga minggu ini, memperlihatkan bahwa RTE adalah seorang yang konsisten untuk menguatkan fungsi negara seperti yang dicita-citakannya. Memerangi parallel state, deep state, parallel structure ataupun state within a state bukanlah tugas mudah karena RTE akan menghadapi kekuatan besar yang, meminjam istilah Galip Dalay, an unelected, unaccountable and invisible structure embedded in high bureaucracy with affiliates in media and big business (Aljezera, 06/01/2014).

Posisi parallel state bukan hanya menjadi bayangan tapi dalam sekala ekstrem akan mendikte langkah dan kebijakan politik suatu negara. Di Turki, fenomena ini bisa ditelisik di balik pelarangan buku berjudul The Imam's Army (İmamın Ordusu) yang coba menelanjangi Fethullah Gulen sebagai sosok yang bermain di belakang pemerintahan. Akhirnhya sang penulis, seoarang jurnalis nasionalis bernama Ahmet Şık, harus rela mendekam di penjara pada Maret 2011 karena dituduh sebagai illegal organizational document. Namun banyak pengamat menengarai bahwa kasus yang menimpa sang wartawan tak lebih dari sirkus politik yang dimainkan oleh invisible structure yang bergentayangan di belakang pemerintahan.

Akhirnya, setelah RTE secara terbuka menyatakan komitmen untuk menghadapi kekuatan parallel state berupa gerakan jemaat demi memperkuat fungsi dan posisi negara sebagai kekuatan tunggal bagi seluruh rakyat, pelajaran penting adalah tentang political will dengan nyali sang pemimpin yang tak kecil, tak kenal berkompromi dan sekaligus keyakinan menatap masa depan negaranya. 

(Versi cetak tulisan ini di JAWAPOS,  27 Januari 2014)

0 comments: