Monday, May 19, 2014

Sandera Tragedi 1915


24 April 2014 menjadi hari penting bagi Turki setelah Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan secara terbuka berbicara kepada publik internasional ihwal peristiwa yang telah dituduhkan sebagai “genosida” yang dilakukan Ottoman terhadap bangsa Armenia, bangsa yang sebelumnya hidup damai dan rukun di bawah kekuasaan Ottoman. Kehadiran Erdogan dalam pidato khusus yang dibuat dalam sembilan bahasa, termasuk bahasa Armenia, untuk “memperingati” ke-99 tahun peristiwa tersebut menuai kontroversi dan sekaligus decak kagum.

Meskipun beberapa media internasional seperti Süddeutsche Zeitung dan Le Parisien Daily menilai langkah tersebut sebagai kejutan dan bencana politik, sikap gentlemen Erdogan patut diapresiasi sebagai extraordinary step dan constructive path yang diniatkan untuk mencari titik kesepahaman dan rekonsiliasi antara Turki dan Armenia ke depan.

Sisi gelap

Dalam rekam jejak sejarah, peristiwa tersebut terjadi di awal Perang Dunia I, tepatnya pada 24 April 1915, ketika Khalifah Usmani (Ottoman) mendekati ambang keambrukan. Masa transisi yang melibatkan Genç Türkler (Young Turks) sebagai pelopor melawan bentuk kekaisaran Ottoman dan menuntut reformasi menjadi republik adalah salah satu periode terburuk dalam sejarah Ottoman yang akhirnya meruntuhkan kekhalifahan terakhir umat Islam. Dalam masa itu, peristiwa Armenia disadari menjadi warisan paling gelap sejarah Ottoman.

Pemerintah Ottoman semula memenjarakan sekitar 250 intelektual dan pemimpin komunitas Armenia di Konstantinopel (Istanbul). Setelah itu, dalam versi sejarah Barat, Ottoman mengusir dan membunuh mereka dalam kondisi kelaparan; keluar dari wilayah kekuasaan Ottoman di Anatolia ke padang pasir di daerah Suriah sekarang. Dalam peristiwa ini tercatat sekitar 1 hingga 1,5 juta bangsa Armenia dibunuh secara sistematis di bawah otoritas Ottoman. Tahun 1997 dalam rilis resminya The International Association of Genocide Scholars (IAGS) menyebut peristiwa 1915 hingga 1923 di bawah otoritas Ottoman sebagai “Armenian Genocide”.

Menariknya, pemerintah Turki tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi ke publik terkait masalah ini. Baru setelah 99 tahun kemudian, Turki sebagai negara penerus Ottoman berani berbicara kepada publik di tengah tekanan yang begitu besar selama bertahun-tahun baik dari European Parliament sendiri ataupun dari organisasi internasional (seperti World Council of Churches, Council of Europe dan Turkey’s Human Right Association) dan dari negara-negara yang telah mengakui peristiwa 1915 sebagai genosida.

personal doc
Fragmen sejarah paling tabu di Turki ini telah banyak menelan korban nyawa termasuk Hrant Dink yang terbunuh tahun 2007 karena coba mengekspos kasus Armenia. Karena menyinggung isu yang sama, Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra 2006, pun sempat diancam dan terpaksa menjadi eksil untuk beberapa tahun di Amerika.

Bayang-bayang tabu yang semakin menggurita tersebut akhirnya dipecahkan oleh pemerintahan Erdogan dengan membacakan pidato pertama dalam sejarah Republik Turki ihwal peristiwa kemanusiaan yang menimpa bangsa Armenia. Tapi pemerintah Turki mempunyai istilah berbeda dari kata genocide yang telah menjadi kesimpulan para sejarawan Barat. Turki tetap kekeh bahwa peristiwa 1915 tersebut bukan genosida. Versi pemerintah menyebutkan saat itu Ottoman berada dalam situasi perang—periode yang sangat sulit—menjelang pecahnya Perang Dunia I. Pernyataan Erdogan sangat jelas bahwa it is indisputable that the last years of the Ottoman Empire were a difficult period, full of suffering for Turkish, Kurdish, Arab, Armenian and millions of other Ottoman citizens, regardless of their religion or ethnic origin.”

Untuk itu, Erdogan meminda semua pihak untuk melakukan pendekatan fair dan pemahaman luas dalam membaca peristiwa yang disebut sebagai “our shared pain”. Bagi Turki dalam situasi perang berkecamuk tidak ada diskriminasi agama ataupun etnik seperti yang dituduhkan banyak pihak untuk menekan Turki. Sang Perdana Menteri meminta semua pihak untuk tidak menjadikan peritiwa 1915 sebagai alasan menebar kebencian kepada Turki hanya karena demi kepentingan konflik politik. Konteks tersebut harus menjadi “duty of humanity” bersama yang harus diselesaikan secara tepat.

Constructive path

Di tengah gelombang isu minoritas yang semakin memanas, khususnya komunitas Armenia dan Kurdi di Turki, langkah Erdogan harus dilihat dalam konteks yang luas, yaitu kesadaran rekonsiliatif yang ingin dijembatani oleh otoritas negara. Metode rekonsiliasi level makro seperti itu akan membuka ruang lebih luas bagi institusi dan organisasi yang konsern terhadap penyelesaian masalah peristiwa Armenia untuk mencapai kesepahaman dan perdamaian. Sejak awal harus disadari bahwa tidak mudah melakukan proses rekonsiliasi terhadap peristiwa dan fakta sejarah yang sudah terkubang dalam misteri selama nyaris seabad.

Kemauan pemerintah Turki bisa dilihat dari indikator terbentuknya joint commission yang secara terbuka mengajak semua elemen duduk bersama merumuskan kesimpulan ilmiah. Karena sejauh ini, kesesimpulan yang digembar-gemborkan oleh komunitas Armenia (khususnya yang diaspora di berbagai negara) belum melibatkan otoritas Turki dan selalu dipasang untuk menyandera Turki di pentas internasional. Untuk itu pemerintah Turki telah membuka pintu kepada joint commission (yang berisi para sejarahwan dari tiga representasi: Turki, Armenia dan institusi internasional) untuk menemukan titik terang sejarah 1915.

Bias sejarah peristiwa 1915 yang terus bergedebus di luar Turki harus segera diakhiri dengan langkah-langkah elegan antara semua pihak yang berkepentingan. Misteri dalam babak dan periode di ambang kehancuran Ottoman, yang kemudian ada kecenderungan begitu saja menghilangkan aspek-aspek kerukunan, perdamaian dan toleransi kehidupan Anatolia yang multikultul antara suku-suku bangsa (Armenia, Kurdi, Laz, Arab dll) selama enam abad lebih di bawah Ottoman (Armenians in The Ottoman Society, vol. 1-2, 2008), membutuhkan langkah konsisten, alih-alih terus memainkan manuver dan provokasi seperti dilakukan oleh banyak pihak sejauh ini.

Kesediaan menacari titik temu dan rekonsiliasi yang sudah dibuka oleh Turki harus dimanfaatkan dengan baik oleh semua pihak untuk mencapai kesepahaman dan menghormati masing-masing demi merumuskan masa depan lebih baik. Yang pasti, isu sensitif ini akan sangat menarik kita tunggu perkembanganya ke depan. 

Versi cetat dari tulisan ini ada di Suara Medeka, 17 Mei 2014. Link sini.

0 comments: