Thursday, July 10, 2014

Neraka di Kepala Akutagawa


Judul:  Lukisan Neraka
Penulis:  Ryunosuke Akutagawa
Penerbit:  Kansha Publishing, 2013
Tebal:  200 halaman

Ryunosuke Akutagawa (1892-1927) adalah sosok yang kompleks, baik sebagai pribadi, gagasan, ataupun imajinasi-imajinasi liar yang tak-terhindarkan membubuhi karya-karyanya. Kompleksitas-diri tersebut, pengalaman hidupnya sendiri yang kemudian menggelandangnya dalam medan kreatif, telah mewarnai lanskap dan atmosfir proses kreatif dan risalah imajiner dalam prosa-prosanya yang sulit tergantikan, dan bahkan disebut-sebut menjadi tonggak cerita pendek (cerpen) Jepang modern.

Julukan Father of The Japanese Short Story saya kira sangat layak disandangkan sebagai justifikasi eksistensi kepengarangannya dalam jagat prosa, juga pun pengabadian namanya dalam sebuah ajang penganugerahan sastra paling disegani di Jepang, yaitu Akutagawa Prize.
Kehidupan Akutagawa memang tak panjang. Rentang usia yang hanya sampai di angka usia 35 tahun tersebut diisi dengan gairah menggebu dalam menulis sastra. Ia menulis sekitar 200 karya: puisi, esai dan 149 cerpen dan karya sastra terjemahan para peraih Nobel seperti William Butler Yeats (1923) dan Anatole France (1921). Keberanian memublikasikan karya dimulai ketika ia kuliah Sastra Inggris di Tokyo Imperial University, pada usianya berkisar 23, menjadi cerpenis Jepang pertama yang secara tekun menjembatani dialog sastra lokal dengan Barat. Saat itu sebenarnya adalah “momentum ledakan” dari Akutawaga yang sejak kecil sudah tergila-gila pada buku, seorang anak yang oleh ayahnya disematkan nama “Ryunosuke” yang berarti “anak Dragon”, karena lahir pada jam, hari, bulan dan tahun Dragon—hadiah kepercayaan masyarakat Asia Timur.

Akutagawa adalah sepotong sejarah ganjil. Lahir dari seorang ibu yang lalu menjadi gila. Ia pun terpaksa harus hidup dalam asuhan saudara sang ibu. Penyakit halusinasi dan rasa takut berlebihan yang dialami ibunya mewarisi Akutagawa sehingga dia benar-benar tidak kuat dan memutuskan bunuh diri di usia 35.

Rentang hidup yang lumayan pendek tersebut tidak membatasi Akutagawa untuk menjelajahi dunia imajinasi dengan cara ungkap bahasa yang khas. Meski tema yang diangkat universal yang oleh Yasuyoshi Sekiguchi, seorang profesor emeritus dari Tsuru University, disebut “timeless themes of world literature”, cara Akutagawa dengan memainkan kontradiksi (God and devil), misunderstanding, ketidakpastian (uncertainty) dan sesuatu yang tak logis dengan teknik gaya bahasa yang kuat (stylistic virtuosity) telah menjadi cirikhas dirinya secara dominan. Tema-tema sejarah lokal pun (berlatar seperti akhir periode Heian ataupun periode Meiji) disuguhkan dengan teknik penceritaan modern melalui alegori sekaligus sarkasme yang menohok. Kemasan sarkastik dengan benturan-benturan nilai yang melebihi kontradiksi dan bahkan tidak masuk akal dikelola secara konsisten oleh Akutagawa sehingga jalan yang ditempuhnya menjadi ruang pembelajaran paling menjanjikan dalam prosanya. Tak berlebihan jika kemudian Haruki Murakami menyebut Akutagawa sebagai cerpenis yang karya-karyanya tidak pernah melelahkan untuk dibaca. Salah satunya bisa ditemukan dalam buku kumpulan cerpen Lukisan Neraka.

Banyak pembaca dari luar Jepang berkenalan dengan prosa Akutagawa melalui Rashomon, the Noise, Kappa, Hell Screen, The Spinning Gears, dan In a Grove. Cerpen-cerpen yang saya sebutkan ini dianggap sebagai masterpiece-nya. Saat ini kita berhadapan dengan salah satu karya terbaiknya, yaitu Lukisan Neraka (Hell Screen). Dalam buku ini, ada satu cerpen yang tipkal Lukisan Neraka, yaitu Roda Bergerigi (Spinning Gears). Dua cerpen panjang tersebut saya kira layak menjadi salah satu karya terbaik Akutagawa, tentang kecanggihan berbahasa, rekayasa plot, kemampuan mengelola kontradiksi, keliaran imajinasi dan suspensi, dan kemasan-kemasan sarkastik yang tak terelakkan.

                                                        ***
Bagi kita yang ingin menapaki litani imajinasi dalam dunia cerita dengan suspensi yang menyiksa, jangan pernah melewatkan buku Lukisan Neraka ini. Jika tidak sempat membaca Roda Bergerigi (hal 64-124), setidaknya kita harus bersabar dengan sebuah cerita panjang setebal 59 halaman berjudul Lukisan Neraka. Saya jamin Akutagawa tak sia-sia menuliskan prosa panjang berjudul Lukisan Neraka ataupun Roda Bergerigi kepada pembaca sastra di seantero dunia.

Scanned book's cover
Kisah itu bermula dari tangan Yoshihide, seorang pelukis istana potensial yang mengabdi kepada Pangeran Besar di Horikawa. Kerena perangainya yang aneh, dekil, sifat buruknya yang tak kepalang: pelit, tak tahu malu, pemalas, dan serakah (hal 13), diimbuhi imajinasinya yang liar dan ganjil di mata orang lain, dia harus menerima pengucilan oleh rekan-rekannya. Bahkan karena keburukan postur dan sifat hidupnya, dia dijuluki Saruhide, si Monyet Hide. Namun bukan Yoshihide namanya jika cepat mengalah. Di antara beberapa hasil lukisannya yang di luar mainstream, dia merasa belum puas dan memohon izin kepada Pangeran Besar untuk melukis sesuatu yang sulit, yaitu lukisan tentang neraka, yang sebenarnya sudah digarap tapi tidak tahu kapan selesainya.

Karena sifat bandelnya yang parah, sang Pangeran Besar mulai memperhatikan Yoshihide. Dalam pada itu sang Pangeran Besar juga tidak bisa menutupi perasaan senang kepada putri semata wayang Yoshihide yang menjadi pelayan di istana dan (ternyata) telah meluluhkan hatinya. Dasar pongah, kecurigaannya kepada Pengeran Besar yang ingin menyunting putrinya menjadi selir ditunjukkan secara verbal dan dia meminta putrinya keluar dari puri istana.

Siapa yang tak berang mendengar kabar pembangkangan si monyetYoshihide di tengah kemegahan istana yang penuh khidmat?

Tapi, lagi-lagi, Pangeran Besar tetap memperlakukan Yoshihide secara khusus.

Sebagai penganut aliran ekspresionis yang ingin melukis neraka, Yoshihide mengutarakan keinginannya kepada Pangeran Besar untuk menyaksikan sebuah peristiwa nyata tentang api neraka pada sebuah kereta yang dibakar dan di dalamnya ada seorang perempuan mengerang-erang karena terpanggang bara api yang berkobar; daging dan tulang-belulangnya meleleh; dan rambutnya memijarkan bunga api, berhamburan sejauh pandang. Sebuah hasrat demi menghadirkan neraka dan disaksikannya sendiri!

Sebenarnya jauh sebelum itu, Yoshihide sudah memraktikkan kehidupan neraka dengan menyiksa murid-muridnya di galeri pribadinya (hal 34). Tapi dia merasa masih kurang!

Dengan skenario yang matang, Pangeran Besar mengabulkan permintaan Yoshihide. Setelah waktunya tiba, dia menyaksikan pengalaman akbar tersebut dari kejauhan, di balik remang pepohonan. Sang Pangeran Besar menandaskan bahwa perempuan yang dirantai dalam kereta yang dibakar itu adalah seorang istri pendosa (hal 52).

Berselang sekitar sebulan dari peristiwa itu, dengan bangsa Yoshihide membawa lukisan neraka ke istana; penuh khidmat ditunjukkan di hadapan Pangeran Besar. Lukisan yang mengerikanseolah-olah secara nyata menghadirkan kesengsaraan dan kekejian “dunia neraka”—mendapatkan pujian sebagai karya besar oleh siapa pun yang melihatnya.

Namun, ada yang belum benar-benar Yoshihide tahu, bahwa perempuan yang dirantai dan dibakar di dalam kereta sebulan silam tersebut adalah putrinya sendiri. Mendengar kabar itu, satu malam berikutnya, Yoshihide langsung bunuh diri dengan sehelai tali yang diikatkan pada palang kayu di atap kamarnya (hal 61).

Lanskap cerita di atas, kisah nyeri Yoshihide tentang cinta kepada sang putri dan sekaligus ambisi untuk sebuah lukisan diramu dengan penuh kejutan dan tensi yang tinggi di tangan Akutagawa.

                                                        ***
Di sini saya merasa bahwa Akutagawa telah sempurna membuat pembaca terteror. Ia ciamik mengedor-ngedor emosi dengan plot yang diramunya. Cerita skuel dari bagian 1-20 ini disulap seperti sebuah pertunjukan sirkus. Ia dengan leluasa memotong satu narasi dan mengalihkan pada narasi lain dalam satu bingkai cerita. Ia menjadi narator dan sekaligus penonton dari sebuah peristiwa besar di balik pembuatan Lukisan Neraka. Antara berjarak dan tidak (dengan peristiwa), Akutagawa memainkan perannya secara lihai untuk meneror dan sekaligus mengacak-acak emosi dan fantasi pembaca. Ia menjadi pegawai kerajaan, tapi tidak serta merta menunjukkan dirinya sebagai narator serba-tahu dengan penyuguhan kata “saya” sebagai dominan pemerannya. Si narator “saya” seperti timbul dan tenggelam. Atau sengaja sembunyi untuk mengarahkan pembaca kepada sumbu imajinasi yang telah dibuatnya tergobang-gobang.

Teknik bercerita dengan kedalaman imajinasi yang tanpa batas dari Akutagawa perlu dipelajari sebagai bentuk ihtiar proses kreatif dan sekaligus citarasa kesungguhan dalam menulis prosa. Jika cerpenis kita tidak mampu melahirkan dunia rekaan yang berkarakter dengan imajinasi tingkat tinggi, karya demikian tak lebih dari sekedar impresi-sintimentil, rekaman kasar atas realita yang pasti akan takluk dari tayangan televisi yang tak jarang membuat kita terperangah, atau bahkan kerap seperti pertunjukan fiksi. Ihwal eksplorasi imajinasi adalah lessons learned dari Akutagawa. Imajinasi yang sublim akan menyuguhkan ruang pengembaraan yang menerobos batas dan merongrong tirani yang telah memasung perspektif kita. Akutagawa memaksa pembaca untuk berpikir out of the box, menjelajahi dunia luar-liar, sadis dan mencekam sekalipun.

Sampai di sini, saya teringat Marques de Sade (1740-1814) yang diakui sebagai pioner penulisan cerita-cerita sadisme dengan eksplorasi tubuh sebagai lokus. Dia nyaris seperti tokoh pelukis dalam Lukisan Neraka Akutagawa: mengalami sendiri peristiwa-peristiwa untuk karyanya. De Sade harus ringkih dalam kubangan penjara untuk memperjuangkan hasrat menulis. Sementara Akutagawa melalui tokoh Yoshihide harus berperang dengan imajinasi dan halusinasi, kebiasaan yang memperparah penyakit mentalnya sendiri yang akhirnya menjemput nyawanya tahun 1927.

Di samping cerita Lukisan Neraka, dalam buku ini disertakan lima potongan prosa dari Akutagawa yang sama-sama istimewa, seperti Kehidupan Seorang Bebal, Dewa Agni, Gerobak Dorong, dan Jeruk. Untuk prosa-prosanya dalam rentang tahun 1920-an, nyaris menjadi autobiografi tentang kompleksitas-diri seorang Akutawaga.

(Tulisan ini dalam versi cetaknya terkumpul dalam Jurnal Poetika, Jurnal Ilmu Sastra Program Studi S2, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Volume II Nomor 1 April 2014).

0 comments: