Monday, September 08, 2014

Ela Gözlü

Setiap kali menikmati sepotong sore di balkon apartmennya, Eson acapkali melihat sosok perempuan muda duduk melindihkan tubuhnya ke jendela. Long dress putih dengan motif bunga dan betisnya yang dibiarkan tersingkap terlihat jelas di balik kaca. 

Awalnya Eson sama sekali tak terlalu menghiraukan penghuni baru di apartemen sebelah itu. Ia mungkin sedang beradaptasi dengan tempat baru, atau memang senang menikmati hamparan taman hijau dengan bunga-bunga mekar di akhir musim semi begini. Atau mungkin ia senang menikmati burung-burung merpati yang biasa hinggap di setiap jendela apartemen….

Sudah dua minggu ini, setiap menjelang senja, ketika duduk menikmati sisa kopi luwak dan rokok, perempuan itu selalu berada di balik jendela. Di tengah semburan asap rokok yang dibiarkan membumbung, tubuhnya sebentar terlihat samar. Ia tampak begitu malas dan tak mau bergerak sedikit pun. Jika saja kunci jendela rusak, ia pasti terjatuh dari lantai enam. Tubuhnya akan hancur berkeping-keping ke tengan lorong yang memisahkan apartemen mereka. Jarak kedua apartemen itu sejauh tukar-kedipan mata yang akan terlihat utuh.

Saat melindihkan tubuhnya ke jendela, perempuan itu pasti duduk di atas sandaran sofa atau di atas kursi kayu yang ukurannya setinggi setengah meter. Jika tidak, ia meletakkanspring bed menepi ke jendela sehingga bisa melindihkan tubuhnya kapan pun ia mau.

Eson sangat paham setiap ruas ruangan rumah di lantai itu. Karena dia seringkali mengunjungi sahabatnya, dua pelajar Erasmus Program asal Spanyol, orang pertama yang dikenalnya seminggu setelah pindahan dua tahun silam. Omelet khas Spanyol plus nasi uduk adalah perpaduan menu paling cocok buat mereka. Di samping itu obrolan tentang sastra sufi dan puisi-puisi Jalaluddin Rumi menambah keakraban mereka.

Bahkan bentuk dan warna jendela pun masih belum berubah hingga sekarang.

Suatu malam saat menikmati bulan purnama di balkon dengan secangkir kopi Eson melihat sesuatu yang berbeda di kamar salon dua sahabatnya dari Spanyol itu, apartmen yang saat ini ditempati perempuan yang gemar melindihkan tubuhnya di kaca jendela. Semakin malam lantai 6 tampak semakin hidup. Sorot lampu mulai menyala terang. Dari pantulan cahaya, terlihat tubuh-tubuh yang tengah asyik berdansa. Gerakan tubuh mereka begitu liar dan menghentak-hentak. Ada sekitar 5 sampai 7 orang di sana. Semakin malam kelap-kelip sorot lampu semakin terang.

Sejurus kemudian, gerombolan orang melabraknya. Tak terdengar suara. Tiba-tiba lampu mati. Selama tujuh kali sedotan rokok, dua mobil memekik bunyi rintihan, meninggalkan Eson yang tengah terbenam rasa khawatir tentang dua sahabatnya itu. Paginya, terdengar berita di televisi tentang penangkapan pengedar narkoba di apartemen Bosna Hersek Mahallesi, sebuah kawasan dimana mereka tinggal.

Setelah malam itu, kabar dua sahabatnya dari Spanyol Daniel dan Maria tak terdengar lagi. Nomor kontak mereka tidak bisa dihubungi. Nyaris setiap saat Eson memandangi jendela apartemen itu, berharap kedua temannya segera kembali. Sampai akhirnya Eson menemukan sosok perempuan yang melindihkan tubuhnya ke jendela….

Iya, sosok perempuan yang semakin hari membuatnya bertanya-tanya sendiri. Apakah ia Maria? Dimana Daniel? Eson kurang yakin bila perempuan yang melindihkan tubuhnya itu adalah Maria. Sekali lagi, di sela-sela semburan asap rokok, Eson coba perhatikan perempuan itu lekat-lekat. Ingin memastikan garis wajah dan bentuk matanya, juga rambutnya.

Suatu sore akhir pekan, ada seorang perempuan duduk di sebuah bangku kayu di Kopek Park, taman luas di depan apartemen. Kaos kuning, celana training dan sepatu putih abu-abu. Matanya terlihat kelu menabur pandang ke tengah taman. Tanpa pikir panjang, Eson langsung  beranjak dari tempat duduknya yang tak jauh dari perempuan itu. Dia tutup sebuah buku novel karya Orhan Pamuk, Museum of Innocence, yang sedari tadi menyihirnya.

Sebelum sampai di kursi kayu tempat perempuan itu, ia sudah beranjak pergi. Mukanya terlihat masam dan muram. Ia seperti sedang menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Eson sebenarnya ingin membuntutinya. Namun itu tak mungkin dilakukannya saat suasana taman begitu ramai di akhir pekan begini.

Pelan tapi pasti, Eson semakin disiksa dengan pikirannya sendiri, tentang perempuan yang melindihkan tubuhnya di jendela.

Setiap kali berangkat kampus, Eson memastikan apakah perempuan itu sedang ada di luar rumah atau bersantai di taman. Setiap akhir pekan, Eson pun semakin rajin lama-lama duduk di kursi kayu sembari membaca buku, sembari memandagi kursi-kursi kayu di sekelilingnya. Dia memastikan posisi duduknya terlihat perempuan itu, sebuah titik dimana ia dengan mudah akan menemukan seperangkat kursi setiap kali menatap taman dari kaca jendela yang dilindihnya.

Di hari yang lain, pada sebuah sore akhir Mei yang remang oleh kabut, Eson duduk di kursi taman sambil menatap jendela tempat perempuan itu melindihkan tubuhnya. Eson membayangkan perempuan itu tengah menatap dirinya. Dengan tanpa ragu, dia melambaikan tangan sekenanya. Berharap ia melihatnya dari balik jendela di lantai 6. Tapi tak ada respon sama sekali. Dia ingin sekali mengajak perempuan itu duduk di taman, menikmati cokelat atau apapun kesukaannya sambil bercerita.

Di waktu yang lain, di sore awal musim panas, Eson kembali duduk di balkon dengan segelas kopi dan rokok. Sungguh mengejutkan. Kali ini dia tidak menemukan perempuan yang melindihkan tubuhnya di jendela. Matanya hanya menyaksikan sebuah lampu yang dibiarkan menyala dan seakan menceritakan tentang ruangan yang biasa dia kunjungi ketika ada Daniel dan Maria. Baik di ruang salon ataupun di kamar tak terlihat ada penghuni. Eson menatap jendela kamar itu dengan sejumput kecemasan.

Namun, perasaan gundah gulana yang meringkuknya akhir-akhir ini harus Eson atasi dengan sadar. Dia harus mempersiapkan diri menghadapi ujian proposal tesis tiga hari mendatang. Sebagai mahasiswa penerima beasiswa, dia tidak boleh melalaikan tanggung jawab untuk belajar sesuai dengan target. Sisa waktu dimanfaatkannya untuk memperdalam bahan bacaan ihwal tema yang diangkatnya dalam penelitian tesisnya.

Syukur, presentasi proposal tesis akhirnya beres dan penelitian tentang“Proses Rekrutmen PKK”, sebuah organisasi garis keras yang mendukung kemerdekaan Kurdistan dan pernah menjadi partai politik di Turki, akan dilanjutkan secara lebih intens. Eson tinggal menulis dan melengkapi data-data penelitian yang bertempat di Diyarbakir, daerah yang menjadi pusat gerakan PKK untuk memperjuangkan kemerdekaan Kurdistan dari Turki.

Setelah menaruh tas laptop dan dokumen presentasi, Eson langsung menuju balkon di siang menjelang sore. Dan perempuan itu tidak tampak lagi di balik jendela. Eson mulai khawatir. Keinginan menemuinya semakin menggebu. Dia mulai terpikir untuk datang ke rumah di lantai 6. Tapi itu tidak mungkin karena sistem keamanan apartemen sangat ketat. Harus mempunyai kunci ataupun lewat sidik jari sebagai password masuk apartemen.

Setelah sekitar 1 minggu tidak pernah melihat perempuan itu lagi, suatu sore Eson joggingdi sekitar apartemen. Dia ingin memastikan kondisi dan keberadaan perempuan itu sebenarnya. Ketika melewati Hakan Kahvesi, sebuah warung kopi di seberang jalan menuju apartemen, dia melihat sosok seorang perempuan. Eson yakin perempuan itu, rambut sebahu dibiarkan mengombak, sorot mata tajam dengan alis yang tipis dan betis yang ramping. Ia duduk seorang diri. Eson terperangah dan sekaligus senang bisa menemuinya.

Tanpa basa-basi Eson langsung masuk dan menyapa perempuan itu. Ia merespon santai sesekali senyum ramah terlukis di wajahnya. Dengan bahasa Turki yang sudah fasih, Eson tanpa kesulitan mengobrol dengannya.

Eson mencari cara agar bisa mengobrol lebih pajang ditemani kopi khas Turki yang sebenarnya tidak terlalu dia suka. Tetapi karena secangkir kopi yang sedari tadi menemani perempuan itu, Eson pun memesan kopi yang sama.

Perempuan itu ternyata bernama Berivan, lahir dan besar di Diyarbakir, sebuah provinsi di bagian tenggara Turki, dari ayah asal Trabzon dan ibu asli Diyarbakir. Tahu asal perempuan itu, Eson semakin tertarik untuk mengobrol.

“Aku mencarimu satu minggu ini. Kenapa sudah tidak duduk di jendela seperti biasa, Berivan?”
“Aku tidak tahan lama-lama menatap taman dari jendela. Aku ingin menutup jendela itu secepatnya.”
“Kenapa?”
“Ehmm….” Ia menahan nafas berat.  “Awalnya aku coba perhatikan taman itu dari jendela karena aku sangat menyukai taman sebenarnya. Tapi entah, tidak untuk taman ini. Sekali aku datang ke sana tetapi aku tidak kuat lama-lama. Aku tidak ingin melihat Kopek Park lagi,” ia menambahkan dengan muka tertunduk.

Eson diam. Mulut Berivan pun ikut terkunci.

“Apa yang kamu pikirkan tentang taman itu? Bukankah semua orang menginginkan sebuah taman untuk tempat bersantai di tengah rasa jenuh dari pekerjaan?”
“Pengalaman selalu berkisah apa adanya, Eson.”

Mata Berivan tiba-tiba meneteskan bulir-bulir putih yang tak terbendung lagi oleh bulu matanya yang lancip. Eson tertegun tak bisa berbuat apapun, selain hanya menatap matanya lekat. Ela gözlü, mata berwarna cokelat kehijau-hijauan, warna mata khas orang Turki, tak bisa sembunyi dari mata Berivan.

“Aku sebenarnya ingin pergi dari apartmen ini. Tapi ayahku tidak ingin aku kembali lagi ke tanah dimana aku dilahirkan. Aku harus meninggalkan kuliah di sana,” lanjut Berivan.
“Kamu bisa melanjutkan kuliah di Selcuk University.”
“Aku mulai berpikir untuk tidak kuliah lagi. Aku ingin kembali ke Diyarbakir, bergabung dengan teman-teman pergerakan di sana. Tapi ayah selalu mengancamku.”
“Pergerakan? Mengancammu bagaimana?”
“Iya, Eson. Kami sedang berjuang untuk merdeka dari Turki. Menjadi negara sendiri: Kurdistan. Tapi ayahku tidak sejalan dengan keyakinanku. Ayah melarangku untuk ikut gerakan yang sejak sekolah menengah aku sudah terlibat aktif.”

Nafas Eson tersedak. Terperangah kaget.

“Teman-temanku sendiri harus meregang nyawa di sebuah taman, persis seperti taman Kopek Park itu! Aku menyaksikan sendiri darah berlumuran di tengah taman, malam itu. Kami menjerit histeris. Untung nyawaku tidak ikut meregang seperti mereka.”

Perempuan itu lalu berdiri. Eson tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya menelan ludah dalam-dalam sambil memandanginya melangkah pergi menuju apartmennya. Matanya kosong menatap perempuan dengan ela gözlü itu.

Pikiran Eson tenggelam bersama perasaan risau yang akut sembari menyaksikan Berivan mulai menutup jendela kaca yang menghadap Kopek Park dengan tangannya yang gemulai. Dia baru saja menyaksikan sebuah fragmen peristiwa yang sudah ditekuninya sejak sebelum berangkat ke Turki. Tentang perjuangan kemerdekaan Kurdistan yang nyaris satu abad telah menyedot Eson untuk datang meneliti di Turki dan belajar Ilmu Politik di sini.

Pelan tapi pasti, jendela yang biasa menjadi tempat melindihkan tubuh perempuan itu semakin tertutup.

Pikiran Eson pun berkecamuk dan terburai begitu saja. Tentang penelitian tesis yang sedang digarapnya, sebuah kejadian empat bulan silam ketika dirinya berkunjung ke Diyarbakir untuk ketiga kalinya. Dia menyaksikan sendiri ledakan di tengah-tengah massa demonstrasi di sebuah taman kota di Lice, kota yang jadi pusat pergerakan PKK.

Malam itu 13 korban nyawa hilang. Dan luka-lukanya yang menganga seperti terpahat di mata Berivan, ela gozlu, yang baru saja ditatapnya, sebuah tatapan mata yang tragis dan menyimpan tragedi.

Dalam pandangannya yang gamang, Eson menatap Berivan yang terus menambal kaca jendela dengan kertas warna gelap, dan sehelai kurden berwarna hitam.

Akhirnya perempuan itu lenyap di balik warna hitam kaca jendela. Dan Eson terus menatap jendela yang ingin terus bercerita.

Note: Ela gözlü (Turki) warna mata cokelat kehijau-hijauan (of a greenish-brown color).

(Versi cetak tulisan ini dimuat di Media Indonesia edisi 10 Agustus 2014)

0 comments: