Wednesday, April 29, 2015
ISIS sebagai Musuh Bersama
Versi cetak tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 19 Maret 2015
Meskipun kabar kepastian terkait 16 warga
Indonesia yang dinyatakan hilang kontak (karena berpisah dengan biro perjalanan
yang mengantarnya) di Turki sejak dua minggu silam belum jelas juntrungnya, kabar
terbaru yang muncul di media-media lokal Turki seperti Hürriyet, Sabah dan Yeni Şafak justru semakin mengejutkan banyak
pihak. Pasalnya dari 16 WNI yang diamankan oleh kepolisian Turki di Provinsi
Gaziantep, perbatasan Turki-Suriah, 11 adalah anak-anak, 4 perempuan dan 1
seorang laki-laki. Data tersebut jelas berbeda dengan data yang dibawa rombongan
biro perjalanan yang sebelumnya santer diberitakan media.
Menanggapi rilis resmi pemerintah Turki (13/3),
media-media lokal mulai ramai mengangkat berita tersebut. Turki semakin serius
menghadapi ancaman ISIS (Negara Islam Suriah dan Irak) yang mulai banyak
mendapatkan dukungan dari beberapa warga dunia. Komitmen tersebut ditunjukkan
melalui larangan masuk 10 ribu orang dari 91 negara yang terlapor
mempunyai jaringan dengan ISIS di Suriah dan Irak, dan sejumlah 1,085 warga
asing dari 74 negara sudah dideportasi dari Turki dengan alasan keterkaitan
dengan ISIS.
Sejauh ini, Turki memang menjadi tempat transit bagi banyak
kelompok yang hendak mendarat ke Suriah dan bergabung dengan militan ISIS. Perbatasan
daratan Turki-Suriah sepanjang 911 km menjadi pintu penyeberangan yang telah meloloskan
banyak militan ke Suriah. Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu sendiri sudah mengakui bahwa negaranya tidak akan bisa
menjamin 100 persen keamanan di perbatasan. Sehingga pemerintah Turki secara terbuka
meminta kerjasama intelegen internasional untuk mencegah para militan bergabung
dengan ISIS.
Di samping itu, kemudahan untuk mendapatkan
visa Turki melalui fasilitas visa on
arrival dan e-visa dimanfaatkan oleh sekelompok warga Indonesia yang
sebelumnya sudah terlibat dalam jaringan terorisme transnasional. Kedua negara
tentu harus semakin waspada terhadap kelompok-kelompok yang menyamar sebagai
turis sebelum kemudian menyiapkan diri menyeberang ke Suriah untuk bergabung
dengan ISIS.
Untuk itu, kabar terbaru 16 WNI yang ditangkap
di Turki harus menjadi cambuk bagi pihak-pihak berwenang Indonesia dan
masayarakat luas ihwal ancaman jaringan ISIS yang sudah merasuki Indonesia. Simbol
dan aktivitas beberapa kelompok di Indonesia yang mengibarkan bendera ISIS atau
menyatakan dukungan terhadap organisasi teroris ini harus dihadapi secara serius.
Karena ancaman besarnya adalah kehidupan bangsa dan negera Indonesia itu sendiri.
Musuh
Bersama
Di Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok yang
berafiliasi dengan teroris dan mendukung ISIS secara terbuka harus disikapi
sebagai musuh bersama. Imej common enemy
harus dibangun sebagai bentuk solidaritas sosial yang berdasarkan kepada hajat
hidup bersama sebagai satu bangsa dan negara yang hidup dengan filosofi
Pancasila. Dengan alasan apapun, tindak-tanduk ISIS jelas-jelas akan menjadi
ancaman bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural.
Untuk itu, Indonesia harus memotong alur dan proses pembenihan kelompok ISIS sejak
dini.
Kita menyaksikan bagaimana kesintingan kelompok
yang menobatkan diri sebagai khalifah di daerah Syam dan Irak (Sham and Levant) ini ditentag oleh
mayoritas umat Muslim dunia. Kelompok yang dipimpin oleh Abu
Bakr al-Baghdadi bersama jaringan organisasi ekstrimis lain seperti Jabhah
Nusrah sudah menghacurkan banyak situs-situs sejarah dan peradaban Islam yang
pernah lahir di masa-masa kejayaan era Umaiyah di Suriah dan dan Abbasiyah di
Irak. Makam ulama besar seperti Imam Nawawi di Suriah, masjid bersejarah Hema Kado
sisa peninggalan Ottoman di Mosul, dan bahkan pun makam Nabi Yunus di Mosul
Irak ikut dihancurkan. Sementra situs-situ tua peradaban Mesopotamia seperti
kota Namrud di Mosul dan situs-situ peninggalan Suryani ikut lenyap di tangan
ISIS.
Tindak tanduk dan serangkaian kejahatan yang dilakukan oleh ISIS
di atas sudah memberikan justifikasi ihwal ideologi teroris yang telah mencoreng
wajah Islam sendiri. Mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dan
mengatasnamakan Islam justru lambat laun menghabisi sisa-sisa kejayaan sejarah
dan peradaban yang pernah dibangun oleh Islam sendiri. Fakta tersebut adalah bukti
yang sama sekali tidak dapat dibenarkan atas nama alasan apapun. Lebih parah
lagi, kita jamak menyaksikan bagaimana kelompok ini tak segan-segan membunuh
dan memerangi umat Islam lainnya, tidak peduli Sunni ataupun Syiah.
Isu awal yang kencang dikibarkan ISIS (seperti dituturkan sendiri
oleh warga Suriah yang menjadi pengungsi di Turki sehingga mendapatkan dukungan
dari kelompok pemberontak anti pemerintah) adalah untuk melawan kekuatan Syiah
di belakang pemerintahan Peresiden Suraih Bashar al Assad. Namun dalam
perkembangannya, ISIS tidak lagi mengusik dan memerangi pemerintah Suriah.
Mereka justru melebar membuat kekacauan demi kekacauan di perbatasan
Irak-Suriah dan Turki. ISIS kini menjadi monster yang justru memboldozer semua
umat Islam yang berseberangan dengan kelompoknya.
Akhir-akhir ini, kelompok-kelompok yang awalnya tidak mempercayai
benih-benih ISIS ditanam dan dibiarkan subur oleh Amerika (disentail dan
dilatih) mulai yakin bahwa ISIS adalah ancaman nyata bagi umat Islam di seluruh
dunia, dengan memperkeruh wajah Islam itu sendiri. Di samping itu, beberapa analisa
dari Steven Kelley dan Randal
Howard Paul yang mengatakan bahwa Amerika sengaja membuat perang kotor (dirty war) untuk mengacaukan kawasan
Timur Tengah, dengan membuat musuh jejadian (fabricated enemy) mulai terlihat jelas. Bahkan mantan pegawai CIA
seperti Edward Snowden ikut membuka tabir gelap yang dianggap konspirasi ini
bahwa intelegen Amerika, Inggris dan Israel ikut andil melahirkan ISIS. Identitas
Al-Baghdadi yang sebelumnya pernah dibocorkan
lewat kawat Wikileaks sebagai milisi
yang dilatih langsung oleh CIA dan Mossad semakin mendapatkan pembenaran.
Menghadapi fakta krusial tersebut, strategi untuk
memunculkan musuh bersama bagi rakyat Indonesia terhadap benih-benih ISIS yang
mulai lahir adalah sebuah keharusan. Indonesia yang mengemban diri sebagai penduduk
Muslim terbesar di dunia harus benar-benar memberikan contoh bagaimana
mengembalikan wajah Islam yang rahmat kepada semua alam. Nilai-nilai toleransi
dan multikultural yang dibangun sebagai asas berbangsa dan bernegara harus
ditempatkan sebagai falsafah hidup yang harus diperjuangkan setiap waktu.
Di samping pemerintah dan intelejen negara
harus berisiatif untuk memotong jaringan ISIS di Indonesia, sehingga tidak lagi
terulang seperti kasus seperti 16 WNI yang ditangkap di Turki, masyarakat juga harus
dididik secara kritis tentang ancama nyata ISIS dan jaringan-jaringan yang berhaluan
sama. Karena mereka kelak sangat berpotensi besar memorak-porandakan kehidupan bangsa
dan negara, seperti Suriah dan Irak sekarang.
Sunday, April 19, 2015
Kisah Epik dari Pinggiran
Versi cetak tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 19 April 2015
Tanggal
9 Desember 2014 silam novel baru Orhan Pamuk, peraih hadiah Nobel Sastra 2006,
berjudul Kafamda bir Tuhaflık (Sebuah Keanehan dalam Pikiranku) terbit
serentak di beberapa kota di Turki. Sebelum ini Pamuk sudah menerbitkan novel
fenomenal berjudul Masumiyet Müzesi (Museum
Kepolosan, diterjemahkan ke bahasa Inggris The
Museum of Innocence oleh Maureen Freely) tahun 2008 dan mendulang
sukses sebagai buku laris di pasar internasional.
Dalam
novel ini, Pamuk menurunkan tingkat kerumitan dalam hal teknik dan bahasa yang
digunakan. Kita akan mudah menemukan percakapan sehari-hari gaya rakyat kecil
biasa. Ini tentu bukan tanpa alasan, alih-alih melacurkan kualitas yang tertahkikkan
pada karya-karya sebelumnya dan sekaligus mendapatkan tempat di pentas dunia,
seperti misalnya Buku Hitam, Namaku
Merah, Salju dan Museum Kepolosan.
Sejak awal, dalam beberapa wawancara dengan media-media di Turki, Pamuk
mengutarakan maksud kehadiran novel ini sebagai kisah cinta dan sekaligus epik
modern (hem bir aşk hikâyesi hem de
modern bir destan) yang dibingkai dalam perspektif orang pinggiran: dari
rural ke urban dengan mementaskan tokoh utama bernama Mevlut, seorang vendor di
metropolitan Istanbul.
Pamuk
paham siapa Mevlut, seorang bocah yang baru lulus SD dari sebuah kabupaten bernama
Beyşehir di provinsi Konya, daerah Anatolia Tengah yang datang ke Istanbul
sebagai perantau. Kepolosan, keunikan, keterperangahan, dan bahkan keanehan (tuhaflik) dihadirkan secara ciamik oleh
Pamuk demi mementaskan kehidupan urban dalam kacamata seorang penjual Boza. Mevlut
merantau ke Istanbul di usia 12 tahun. Pagi sekolah, sore belanja yogurt dan barang-barang
kebutuhan ke pasar, malam tepatnya selama musim dingin berjualan Boza.
Potret
kehidupan anak desa polos dikemas dengan gaya humor proporsional. Novel ini paling
jitu dalam aspek menyajikan humor dan selingan folklor paling topcer dari
karya-karya Pamuk sejauh ini. Meski tak seganas Salju dan sekeruh kisah cinta sentimentil ala Museum Kepolosan, novel ini mengoperasikan perjuangan cinta dengan kadar
kepolosan seorang yang apa adanya. Pamuk benar-benar mempelajari hal-ihwal
dunia keseharian rakyat jelata di Istanbul secara teliti: harapan dan mimpi, kultur
dan perspektif keseharian, konflik dan perselisihan, semangat kerja dan kecurangan.
Di
Istanbul, kota yang menyatu sebagai lokus, habitus dan ruh kepenulisan Pamuk, cerita
berkembang deras. Pamuk meminjam mata seorang Mevlut untuk melihat kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat Istanbul. Setiap malam, di saat menjajakan Boza, Mevlut
menemui aneka ragam kehidupan Istanbul: kultur dan emosi orang-orang kota, juga
proses transisi dan transformasi dari tahun ke tahun. Ia menjadi saksi hidup
atas transformasi kota Istanbul dari tahun 1968 hingga 2012 (sampai novel ini berakhir).
Mevlut dan Boza adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bahkan ia
berjanji di akhir novel ini: “ben kıyamete
kadar boza satacağım (saya akan menjual Boza sampai kiamat)”.
Mevlut
mondar-mandir dari satu rumah ke rumah lain, menemui banyak macam pelanggan
dengan kultur dan ideologi masing-masing: kelompok pemuda laki-laki dan
perempuan pemabok (hal 32), sekumpulan orang-orang usil dan pelit (38), gerakan
dan konflik kelompok Islamis dan sosiolis-komunis (hal 101 & 110), jamaah organisasi
Islam (283), dan kasus-kasus korupsi dan mafia (hal 385). Selain detail-detail
tersebut, garis besar yang disajikan dalam novel ini adalah kehidupan miskin
kota yang diwakili oleh Mevlut dan keluarganya juga teman-temannya yang tinggal
di perkampungan kumuh (gecekondu) bernama
Kültepe dan Duttepe, dua nama fiktif untuk daerah perkampungan perbukitan di
Istanbul.
Detail
kehidupan Istanbul terekam utuh di mata Mebvlut, hadir dibalik kepolosan,
kejujuran dan keanehan-keanehannya. Misalnya, Mevlut bisa mengidentifikasi keluarga
sekuler dan keluarga agamis (dindar aileler)
melalui cara bagaimana mereka mempersilahkan Mevlut masuk ke rumahnya: apakah
sandal bisa dipakai masuk rumah atau ditaruh di luar (hal 31). Agar tidak
terjebak dalam kerumitan, novel ini mengambil jarak dari centang-perenang
politik. Ketika ada sedikit konflik politik dimunculkan misalnya kudeta militer
yang kerap berakhir tragis, kasus mafia listrik yang dilakukan Ferhat
hingga tragedi pembunuhan Ferhat sendiri yang gelap dan berakibat Mevlut
ditangkap polisi (hal 381) sebagai teman dekatnya, Mevlut terselamatkan oleh
keluguannya yang tak ingin menahu hal-ihwal politik (ben siyasetten hiç anlamam) (hal
386).
Hal-hal
kecil begini—renungan intens ihwal pergulatan rakyat kecil—justru menegaskan
novel ini sebagai distingsi atas karya Pamuk yang lain. Keanehan yang
menggelikan akhirnya muncul setelah Rahiya meninggal. Terbongkar fakta bahwa
surat-surat cinta yang ditulis Mevlut sebenarnya dimaksudkan untuk Samiha,
adiknya Rahiya sendiri, tapi Sulaiman salah maksud (hal 412). Akhirnya karena sama-sama
sebagai duda dan janda, Mevlut dan Samiha sepakat untuk menikah (?). Sayang,
pernikahan Mevlut dan Samiha terjadi di bagian penutup. Seandainya boleh
meminta Pamuk meneruskan novel ini, pergaulan hidup yang konyol dan aneh dari pasangan
tua yang baru ini akan menyeruak tak terampuni.
Akhirnya,
dengan novel yang mencatat rekor karena menembus penjualan 180 ribu eksemplar dan
naik cetakan ke-3 di Turki dalam sebulan, Pamuk telah lulus menghadirkan karya
bermutu tetapi sederhana dan merakyat dengan logika populer kaum pinggiran dalam
melihat transformasi kota Istanbul.
Sumber Foto: 1. Opik (Sumenep), 2. Faqih (Bali)
Sumber Foto: 1. Opik (Sumenep), 2. Faqih (Bali)
Saturday, April 18, 2015
Obrolan Syiah Berakhir “Unfriend”
17 April 2015 kemarin saya mengomentari sebuah status Facebook seorang teman yang saya anggap sebagai guru. Guru, karena dia sudah menyampaikan beberapa potongan ilmu kepada saya tentang isu environment dan jenis-jenis makanan tradisional Indonesia (khurusnya Indonesia Timur) --kalau saya tidak salah ingat tentang sesi yang dia isi di sebuah acara yang mempertemukan saya denganya. Dalam status tersebut dia share sebuah tautan berita berjudul Seorang Ayah & Anak Di Iran Akan Di Eksekusi Mati Karena Solat 5 Waktu dari sebuah blog beralamat di sini beritaislaminews.blogspot.com. Ingat, sumber yang seolah berita tersebut dari sebuah blog personal. Ya, seperti blog saya ini. Bisa saja opini pribadi, berita atau bahkan penyebaran isu-isu kebencian. Who knows?
Karena saya juga tidak tahu, lalu terjadilah obrolan berikut ini sebagai proses ingin tahu:
Saya tidak tahu banyak siapa Amar Ma'ruf selain seorang
sarjana master (waktu itu sekitar awal tahun 2011) lulusan Belanda yang mengisi
sebuah sesi acara konferensi internasional di Yogyakarta. Saya tidak butuh
menelisik siapa orang ini, karena saya mengamalkan ilmu pendek saya dari
guru-guru di pesantren yang pernah mengajarkan Pepatah Arab ini: undzur ma qola wala tandzur man qola.
Sebagai pengisi sebuah sesi acara, tentu saya (dan mungkin
sebagian teman) akan cukup baik mengingatnya, apalagi ada sesi perkenalan dan kontak
personal. Pertemanan pun berlanjut di Facebook setelah saya add tentunya. Pasti
Amar tidak mengenal siapa saya, dan itu tidak penting. Yang penting saya
mengenal dia, seseorang yang sudah memberikan sesempal ilmu yang harus saya
hormati.
Layaknya pertemanan kebanyakan di media sosial, tak ada
komunikasi di antara kami selain kalau ada isu-isu khusus, tertentu atau
menjadi konsen masing-masing. Sekitar akhir 2014 dan awal 2015, saat isu
Syiah-Sunni makin kencang di Indonesia, saya menemukan postingan yang muncul di
jendela Facebook saya dengan nama “Abu Dihyah Amar Ma'ruf”, salah satu orang
yang paling gencar menyebarkan serangan untuk kelompok Syiah. Saya tidak kenal
nama itu. Satu dua kali saya lewatkan, tapi nyaris setiap postingan dia
memunculkan isu yang satu ini. Setelah saya cek ternyata beliau Amar Ma'ruf
yang saya kenal (bukan dia yang kenal saya) pada tahun 2011 silam, seorang mahasiswa
master alumni Belanda.
Dengan maksud agar dibaca oleh teman-teman luas, saya pasang
juga tautannya di akun Facebook saya. Tujuan saya memindahkan obrolan dengan Bung Amar ke Facebook saya pribadi sederhana: agar cara-cara asal-comot dari sumber berita, opini, dll di internet yang begitu mudah dan cepat perlu tambah awas dan sekaligus mawas diri. Tapi karena postingan Amar Ma'ruf tidak
disetel “public” (sehingga tidak bisa dibuka oleh selain teman Facebook-nya),
akhirnya saya pasang crop di atas di
kolom komentar, atas inisiatif saya sendiri dan karena juga ada seorang sahabat
baik minta.
Dan betul, teman saya tadi langsung berkomentar: Eh, itu beneran dia alumni belanda? Kalau
iya, gaya berpikirnya kok masih udik begitu ya, bung...
Lalu, tidak sampai dari durasi satu jam, saya di-unfriend, sebuah peristiwa yang sebelumnya sulit
saya alami dalam dunia per-Facebook-an. Dan saya pun langsung message dia via Facebook sebagai
permintaan maaf bahwa saya tidak ada maksud menyakiti atau menyerangnya, selain
hanya berdiskusi—seperti dalam crop-an
di atas.
Akhi Amar Ma'ruf…. Selamat beraktivitas.
Wednesday, April 15, 2015
Ihwal Karya-Karya Sastra yang Meresap dalam Tubuhku
Jika diberikan kesempatan
bertemu dan mengobrol langsung dengan para penulis yang telah membentuk dan memantik
jalan proses menulis dan proses menapaktilasi hidup, saya akan menyebutkan
nama-nama seperti N. Marewo, Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma, Budi Darma
dan Adek Alwi. Mereka adalah penulis sastra yang awal sekali saya temukan
karya-karyanya di antara tumpukan klipingan koran Kompas, Jawa Pos dan Surabaya
Post, di samping juga buku-buku mereka yang sudah terbit. Mereka semua saya
kenal waktu saya masih tahun pertama dan kedua di bangku MTs.
Foto dari Facebook N. Marewo |
Lambo tidak mengajarkan “kelas inspirasi” dan menjejalkan “ceramah”. İa menjadi
dirinya sendiri yang tak pernah ditumpangi oleh Marewo untuk menceramahi orang
lain agar bergerak. Namun Lambo tidak
bisa gagal mengusik saya agar segera melangkah dan melampaui... seperti halnya Firdaus
di tangan Sadaawi dan Rasus atau Srintil dalam anyaman Tohari—tentu dengan
dunianya masing-masing.
Saya menulis
catatan ini dengan membayangkan Lambo
yang remang dalam ingatan, dan sekaligus tidak bisa langsung ambil novel itu di
rak. Maklum lagi di rantau (menjadi Lambo
yang lain).
Salam buat Bang Marewo. Semoga dianugerahkan kesehatan senantiasa, dan tetep produktif berkarya.
Monday, April 13, 2015
Jalan ke Bukit Itu setiap Hari Berubah
jalan ke
bukit itu setiap hari berubah, kawan. kita melangkah
pada dadu
yang dilempar entah oleh tangan siapa, tapi kita
sudah percaya
di sana nasib ditanam dan tumbuh senyap
jalan-jalan yang
diterka sebagai denyar pada lipatan gelap
kita tak
pernah menyangka sore itu, selangkang lembah
tiba-tiba berkabut
basah. dan langkah kita bertebing perangai-
perangai musim
gugur yang sangsai. kita tenggelam sempurna
dalam remang
sebelum senja selesai. tapi kita terus berjalan
kepada keyakinan
masing-masing, dari bisikan-bisikan
dan anuswara
lembah, meski di depan kita sempurna gelap!
apabila pagi
sudah tiba, kita sepakat akan berjumpa di sebuah
persimpangan
waktu, jalan ke bukit yang selalu bergemuruh
aku akan menjadi
tengkorak dan engkau akan menjelma pohon
lalu kita bersitatap
dan berucap, “yang ditanam dan tumbuh
senyap, di
sini kita berjalan kepada lipatan kesunyian nasib
masing-masing.”
sudah berapa
ribu tahun kita mencari jalan yang sama, kawan?
sebelum habis,
kita akan menjelma sebagai jalan ke bukit itu
tulang-belulangku
lesap di jalan ini dan engkau tumbuh sebagai
pohon yang
muram. sementara orang-orang akan berjalan di
antara kita.
mari saksikan apakah mereka akan saling mengutuk
di jalan
menuju bukit itu?
(2009-2015)