Siang
renta di awal musim gugur. Angin tak menentu bertiup dari segala arah, sesekali
menghantarkan aroma akar dan batang-batang sayuran yang baru saja dipanen dari
tepi Sungai Tigris. Ia, tokoh kita kali ini, tersedot di tengah-tengah denyut
massa yang memadati sebuah alun-alun kota Amed yang telah menjadi tempat kedua
setelah rumahnya. Semasa kecil ia biasa datang ke taman itu untuk bermain ragam
permainan rakyat seperti kurt kardeş
dan tarian-tarian tradisional seperti çepik,
delilo, dan çaçan. Taman itu telah membuat hidupnya begitu berwarna.
Sementara
itu suara riuh yel-yel dan lagu tradisional dengan gendang dan terompet terdengar
meledak-ledak. Gendang ditabuh semakin kencang. Massa membikin lingkaran sambil
menari dan sesekali meneriakkan protes di sela musik yang melengking.
“Ini
waktu yang tepat!”
Menjauh
dari pusat keramaian yang berkonsentrasi tepat di bagian sayap kanan alun-alun,
ia melenggang ringan ke sebuah patung yang disanggul beton.
Ia
menatap patung itu dengan muka masam. Geram!
“Engkau
telah mencabik-cabik tanah kami!” Kalimat ini akhirnya melesat begitu saja
bagai peluru buta arah. Setumpuk orang yang hilir mudik di sampingnya pasti
mendengar teriakannya. Ia tak peduli meski ada dua orang (sepasang kekasih bergandengan
tangan di tengah gejolak massa) sedari awal menatapnya dengan muka penuh tanya.
Ia hanya berbekal satu keyakinan bahwa mereka yang berjubel di taman itu adalah
saudara satu bangsa yang sama-sama memperjuangkan haknya.
Semakin
lama menatap pelipis patung itu (seingatnya, ia tak pernah melihat senyum ramah
dari foto, sketsa ataupun patung yang bertebaran di setiap taman kota, sejak İlkokul sampai Lise), ia seperti melihat kobaran api—menyembur dari kedua mata
patung. Mungkin saja patung itu marah kepada massa demonstran yang kerap berteriak
menyumpahserapahi namanya. Lehernya mulai terasa lelah menyanggah kepala yang
sedari tadi mendongak ke patung yang tingginya sekitar 10 meter itu.
Dua
meter dari patung itu, sebuah bendera menjulang dan berkibar. Kibaran bendera
berwarna merah dengan bulan sabit dan sebiji bintang berwarna putih di
tengahnya. Bendera dan sosok dalam patung itu bagi kembar identik. Dua simbol
yang disakralkan itu pasti dijumpai di sekolah, kantor pemerintah, bangunan
milik negara, taman kota dan bahkan tak jarang di rumah pribadi sekalipun. Bendera
dan sosok pada patung itu dikenalnya sejak di bangku İlkokul. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai,
ia ditunjuk menjadi pemimpin di kelas untuk membaca öğrenci andı (dan sumpah ini berlaku untuk semua sekolah dasar
seantero negeri). Ketika di akhir ortaokul,
ia menyadari telah membohongi dirinya sendiri. Ia tak ingin menyalahkan para guru
yang telah mewajibkan semua murid membaca sumpah. Ini sudah menjadi kewajiban nasional.
Akhirnya, sumpah yang ditulis oleh seorang dokter itu dikenangnya sebagai kepalsuan
yang telah dialami dalam hidupnya. Sejak saat itu, ia mulai terang-terangan menunjukkan
sikapnya kepada teman-teman dekat yang biasa bermain di sekitar taman. Mengajak
mereka untuk membaca sejarah dan pertentangan sengit yang terus menghantam
kotanya.
“Seandainya
aku sudah tahu sejak di bangku İlkokul, Vallah aku tidak akan
pernah memimpin pembacaan öğrenci andı
di depan kelas. Tidak pula membaca sumpah itu!” Ia ingat betul kalimat ini
suatu kali pernah disampaikannya kepada Beritan dan Murat, dua teman dekatnya
yang selalu satu kelas hingga Lise.
Meskipun waktu itu kedua temannya diam, ia yakin apa yang dipikirkannya sama
seperti teman-temannya yang lain.
“Kita
masih bocah ingusan waktu itu. Tidak tahu apa-apa,” tanggap Murat.
“Betul.
Mulai saat ini, ajak dan kasi tahu orang-orang terdekat. Kita orang Kurdi,
bukan orang Turk! Tak perlu mengucap sumpah palsu seperti itu!”
Murat
bergeming. Pandangannya kosong. Sebuah peristiwa di tahun pertama ortaokul ketika neneknya harus dirujuk
ke rumah sakit di kota Amed lamat-lamat menyergapnya bagai hembusan angin musim
gugur. Peristiwa itu lalu ditandainya sebagai tragedi: nenek dan keluarga yang
mengantarnya dilarang berbahasa Kurdi oleh pihak rumah sakit. Neneknya yang
sama sekali tidak bisa berbahasa Turki menatap Murat dengan remang airmata.
Saat itu, Murat melihat diri dan keluarganya bagai orang asing di tanah
kelahirannya sendiri!
“Seharusnya
kita bersumpah atas nama tanah dan dan bangsa kita sendiri!” suaranya terdengar
serak, sembari menatap patung dan kibaran bendera.
Ia
mendekat ke beton yang menyanggah patung tembaga berwarna hitam legam itu.
Tangan kanannya meragah tiang bendera yang berdiameter 10 cm. Sementara tangan
kirinya menyentuh beton dingin berwarna putih pucat. Saat tangannya dibuka lebar
mendepa, ia kembali mendongak menatap langit, tepat di tengah-tengah antara
patung dan bendera. Saat itu, ia menatap langit yang begitu sempit, diapit
patung dan kibaran bendera yang sesekali ditiup angin ke arah patung. Lalu melepas
kaos dan melemparkannya ke patung. Tapi sayang, kaos itu keburu disergap angin
dan kembali jatuh ke tanah berumput. Ia biarkan kaosnya tergeletak begitu saja
di atas tanah bekas jejak kaki yang mengubur kenangan masa kecilnya. Kini yang
ada dalam pikirannya adalah kebebasan. Ia ingin segera menjelangnya.
Sementara
di ujung taman yang menghadap jalan raya lima arah, suara para demonstran
semakin menggaung. Terdengar terompet yang ditiup dengan nafas penuh seluruh. Ia
menoleh ke arah kanan, lalu mendekap tiang bendera. Saatnya ia menjemput
kebebasan nan maha luas. Suara-suara gemuruh membuat tubuhnya begitu ringan.
Satu
panjatan terasa begitu berat. Ia memang bukan orang kampung, seperti Beravan, Serdem,
Fatih atau Veysel, yang dikenalnya sejak di bangku Lise. Mereka yang datang dari pinggiran Amed untuk sekolah di kota terkenal
dengan kelihaian memanjat dan meniti jembatan kecil sekalipun. Sayangnya, ia
tak pernah belajar bagaimana teknik meringankan tubuh ketika meliuk-liuk di
atas sebilah batang kayu tipis. Panjatan kedua, ketiga dan seterusnya semakin
meringankan tubuhnya. Suara-suara gemuruh para demonstran seolah menyulap dirinya
bagai seekor tupai. Tiang besi yang dingin meresap ke jantungnya, seperti ada
partikel dari surga maha jernih yang merasuk di balik dadanya.
Pada
dakian keduabelas, ia mendengar gelegar makin hebat. Gelegar itu, suara-suara
jeritan yang telah menyembulkan semangat, menyeruak arahnya. Ia makin fokus segera
sampai di puncak tiang. Telinganya ditempelkan pada tiang besi, mereguk spirit yang
mengalir deras dari tanah kelahirannya. Pada tiang itu, getar dan pekik perjuangan
menggumpal. Saat tangannya keerakan, ia bertumpu pada kedua kakinya dan bersengkelit pada batang tiang.
Di
puncak tiang nanti, ia ingin meluapkan semua amarah yang membuncah, berteriak
kepada teman dekatnya, Beritan dan Murat: “Hewal,
lihatlah kemenangan kita hari ini. Aku ingin kalian mendengarnya, dan melihatku
dengan hati nurani. Entah dimana pun kalian berada kini. Setelah kita berpisah
dan memilih meninggalkan sekolah di tahun kedua Lise, kalian memilih pergi ke Ankara dengan alasan belajar
teori-teori gerakan dan gerilya kepada hoca
efendi. Setelah kita berpisah sejak lima tahun silam, aku tidak lagi melihat
batang hidung kalian! Biarkan kalian menyaksikan sendiri apa yang kuperjuangkan
sejak di akhir ortaokul terus
bergelora!”
Makin
tinggi getar kibaran bendera berukuran 1,5 meter itu makin bergegar. Angin berhembus
aneh. Ia pun lupa ini panjatan keberapa. Jantungnya berdetak kencang ketika melihat
tubuhnya sejajar dengan kepala patung. Seandainya bisa meloncat, ia ingin
menerjangnya keras-keras hingga kepalanya terjungkal. Satu kali gayutan lagi ia
sudah melampaui ketinggian patung itu. Pekikan suara massa semakin menukik. Ia
tak tahan menggerakkan mukanya ke arah kepala patung. Alangkah terkejutnya, ribuan
massa telah berjubel mengelilinginya.
“Her biji…. Her biji…. Her biji…!!!”
Mereka
meneriakkan kalimat-kalimat yang makin membangkitkan jiwanya. Ia tak bisa
menahan bulir-bulir gerimis yang tumpah dari sudut matanya. Dalam remang
pandanganya, ia melihat massa yang meneriakkan her biji dengan kepalan tangan dan muka yang ganas. Dua dakian lagi
ia akan sampai di ujung tiang. Dan ketika menyentuh bendera, tubuhnya seperti
dialiri ribuan kromosom kemerdekaan yang tak terwariskan.
“Abdullaaaah….!!!”
sebuah teriakan seperti memekakkan gendang telinganya.
Lolongan
suara itu membuatnya terperangah. Ia seperti tersengat listrik ketika menoleh
ke sumber suara. Di sana ada Murat yang tengah memanjat patung dengan sebilah
kapak besar.
“Lihatlah
ini, Abdullaaaaah!” teriaknya histeris sembari memenggal kepala patung berkali-kali
hingga tersungkur. Sontak suara massa melengking saat kepala patung terkapar di
tanah. Dengan gagah Murat meloncat dan membiarkan kapaknya menancap pada leher patung.
Pada
waktu bersamaan, Abdullah dengan beringas merobek kain bendera dengan gigi dan
tangan kidalnya. Serupa singa yang kalap memangsa. Bendera itu langsung
dilemparkan sekenanya ke tengah kerumunan massa. Sebelum bendera mendarat ke
tanah, lamat-lamat ia mendengar namanya disebut berulang-ulang oleh mereka.
Pasti si Murat telah menggerakkan masa untuk menyanyikan namanya. Namun tiba-tiba
suara mereka tak terdengar lagi di telinganya. Tubuhnya sendiri amruk. Matanya
padam. Abdullah jatuh seperempat detik sebelum bendera itu sampai di tangan massa.
Tersungkur di atas kaosnya sendiri berwarna merah-putih-hijau-kuning.
Dua
timah panas telah memecah jantugnya!
Di
tengah jeritan dan gemuruh massa yang makin melesat, Murat meloncat dan memeluknya
sembari menyebutkan namanya berkali-kali; membiarkan darah Abdullah berlumuran
di dadanya. Massa berhamburan kalang-kabut. Bom-bom molotov yang sedari tadi
disimpan para demonstran akhirnya dilemparkan ke mobil-mobil baja milik polisi.
Menyaksikan
kabut hitam yang mulai membumbung dan teriakan histeris di tengah taman kota
Amed, dari lantai lima Hotel Dicle, aku meringis melanjutkan cerita ini. Satu
hal ingin kusampaikan sebagai penutup: Demi Tuhan aku yakin, penembak jitu yang
telah mengirimkan dua timah panas tepat di jantung tokoh kita kali ini ada di
hotel yang sama, bahkan di lantai yang sama: di kamarku!
(Untuk Ömer Mutlu, pemuda yang kini menjalani hukuman 13 tahun penjara karena menurunkan bendera Turki di Diyarbakir, Juli 2014)
Versi cetak cerita ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, Ahad 17 Maret 2015
Keterangan:
Amed (Kurdi) : Nama lain Diyarbakir
Kurt kardeş (Turki) : Permainan tradisioanl di
Diyarbakir dan sekitarnya
Çepik, delilo, çaçan,
dan
şemame (Turki) : Tarian
rakyat khas Turki Tenggara.
İlkokul (Turki) :
SD
Ortaokul (Turki) : SMP
Lise (Turki) : SMA
Vallah (Turki) : Demi Allah
Hewal (Kurdi) : Sebutan akrab untuk teman karib
Her biji (Kurdi) :
Semoga Tuhan memberkati (doa semangat).
Hoca effendi (Turki) :
Sebutan untuk guru alim yang dihormati.
Biber gazi (Turki) : Gas airmata
Öğrenci andı (Turki) :
Sumpah siswa (isi sumpah):
Aku Turk, jujur, pekerja keras; prinsipku adalah
menjaga generasi muda, menghormati orang-orang tua, mencintai tanah kelahiran
dan bangsaku melebihi diri sendiri; eksistensiku akan didedikasikan kepada eksistesi
Turki.
0 comments:
Post a Comment