Thursday, October 29, 2015
Taman Bunga Mawar Rumi dan Haidar Bagir
Versi
lengkap dari tulisan termuat di sini (http://basabasi.co)
Dr. Haidar Bagir, pendiri dan pemilik
Penerbit Mizan Group dan pengkaji yang sekaligus pemikir filsafat Islam dan
penulis buku-buku tasawuf itu, berkunjung ke Konya dengan batas waktu yang cukup
singkat. Cuma setengah hari, dari pukul 12.00 siang hingga malam pukul 11.15 Pertemuan
intens saya—dalam artian bisa mengobrol dan sharing
tentang filsafat Islam dan tasawuf denganya—tidak lebih dari enam jam, dan itu pun
sambil lalu di jeda-jeda waktu.
Tetapi, seelok kita mensyukuri momentum,
kualitas sebuah peristiwa pada akhirnya tidak pernah menunggu waktu khusus. Ia hadir
kepada semua ruas-kejadian dengan orang-orang (tokoh-tokoh) yang dikirim oleh Allah,
Sang Pencipta segala peristiwa. Dan konon, menurut ingatan yang berkembang dalam
masyarakat China, a single conversation
with a wise man… is better than ten years' mere study of books. Inspirasi dan
ide bisa terus berhamburan dan berjalan ke sana ke mari, bersama orang-orang
yang dianugerahi wawasan dan ilmu luas atau bersama mereka yang melampaui
tetek-bengek kemayapadaan ini. Ya, bahkan mereka yang diangap tak-waras, tetapi
di depan Allah, siapa yang tahu?
Kali ini saya diberikan kesempatan bertemu
dengan salah satu habaib, dari keluarga
al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan hingga Husein bin Ali bin Abi Thalib,
yang pernak-pernik pemikirannya sudah pernah saya kenal—dengan keterbatasan bahan
bacaan kala itu di Pondok Pesantren Annuqayah—sejak mulai di bangku Madrasah
Aliyah. Buku-buku terbitan Mizan dari tahun 1990-an hingga 2000-an cukup
berlimpah dengan beragam jenisnya.
“Selamat datang di Konya, Pak Haidar,”
sapaku ketika pertama kali jumpa di Konya Havalimanı, bandara yang difungsikan untuk
sipil dan sekaligus militer termasuk pasukan NATO.
“Mau
transportasi publik atau pribadi?”
“Kalau
bus cuma sekali naik, saya pilih bus,” tukasnya santai. “Biar bisa menikmati suasana
kota.”
Sejak di bus Havas, transportasi antar-jemput khusus bandara di Konya dan juga di
daerah-daerah lain di Turki, obrolan kami bermula. Saya sejak awal sadar bahwa
alumni master degree dari Harvard University pada The Center for Middle Eastern Studies di
bawah pakar tasawuf Prof. Annemarie Schimmel ini akan menjadi guru dadakan, sebuah
momentum menjadi pendengar. Saya hanya cukup menjadi penunjuk arah dan jalan selama
Dr. Haidar Bagir ziarah di Konya: Shems Tebriz, Jalaluddin Rumi dan Sadraddin
al-Qunawi, tiga tempat utama yang ingin dikunjunginya. Tentu saja di akhir
ziarah nanti ada sajian spesial bernama Tari Darwish (Whirling Dervish), satu warisan budaya Rumi dan Mevlevi Order yang dicatat oleh UNESCO
sebagai Masterpieces of the Oral and
Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2008. Tarian yang lebih dikenal
dengan nama Tari Sema, yang sempat dilarang oleh Mustafa Kemal Ataturk sejak tahun
1923, ini akan menjadi puncak bagi ziarah Haidar Bagir di Konya.
“Al-Qonawi ini hidup sezaman dengan
Rumi. Tapi mungkin di sini tidak akan banyak dikenal luas karena latar
belakangnya berbeda. Ia seorang pemikir dan filsuf dan menulis syarah karya Ibnu Arabi. Dia adalah murid
dan sekaligus anak tiri Ibnu Arabi karena ibunya dinikahi oleh Ibnu Arabi. Ia juga
murid dari Nashruddin al-Tusi, seorang ilmuwan dan filsof pelanjut Ibnu Sina,”
terang Haidar panjang lebar selama kami di bus, sembari mengambil beberapa jeda
untuk menikmati taman-taman luas yang dibangun Pemerintah Provinsi Konya
sepanjang jalan dari bandara.
Saya baru betul-betul sadar bahwa ilmuwan,
ulama besar dan sufi yang didedahkan oleh Haidar Bagir di atas ternyata hidup
di zaman yang bersamaan: al-Tusi (1201-1274), al-Qonawi (1207-1274) dan Rumi (1207-1273)!
Masa itu, yang dikenang sebagai era kejayaan umat Islam, Tusi sebagai saintis dan
filsuf dengan pandangan fiqh mazhab Syiah dan Qonawi yang Sunni berkorespondensi,
menjadi guru dan murid satu sama lain. Ihwal dunia sufi yang tak banyak
memikatnya itu kemudian ditulis oleh Tusi melalui perspektif filsafat dalam kitab
Awsaf al-Ashraf (The Attributes of the Illustrious).
Zaman itu, fase di mana produk pemikiran
dan pengaruh dunia Islam sangat kuat, peradaban Islam dibangun dengan fondasi
persaudaraan dari berbagai mazhab, hasil dialektika dan benturan kritik demi
kritik pemikiran yang kemudian menyublim menjadi sebuah kekuatan dunia!
Di tengah perjalanan menuju makam Rumi
dan al-Qonawi, saya juga tidak lupa menunjukkan Bilim Merkezi (Pusat Ilmu Pengetahuan), sebuah bangunan megah dengan
arsitektur unik seperti galaksi bima sakti yang dipotong-separuh. Ihtiar untuk menghadirkan
memori kebangkitan kembali kejayaan Islam bisa dinikmati di sebuah bangunan di
atas luas tanah sekitar 600 m2. Bilim
Merkezi adalah pusat ilmu pengetahuan terbesar di Turki yang dibangun di
Konya. Di dalam bangunan canggih itu kita bisa menyaksikan pameran, peragaan
sejarah dan miniatur-miniatur penemuan para ilmuwan yang pernah dipunyai oleh
dunia Islam.
***
Waktu salat dzuhur sudah tiba. Saya
meminta Bapak Haidar Bagir salat di halaman makam Jalaluddin Rumi. Sebenarnya kami
bisa mendirikan salat di masjid makam Shems Tebriz, yang jaraknya hanya ratusan
meter dari makam dan museum Rumi. Tapi, karena kedatangannya ke Konya adalah untuk
menikmati dan mereguk aura Rumi, salat di kawasan makam Rumi akan mendapatkan kenangan
khusus. Apalagi sejak akhir tahun kemarin, masjid di kawasan makam Rumi sudah
dibuka untuk publik—tempat mengaji ataupun salat para peziarah.
“Kita salat di kawasan makam Rumi saja,
Pak Haidar,” sekali lagi saya pastikan.
Seiring langkah menyusuri keramaian para
peziarah ke tengah pusara Rumi, saya membiarkan Pak Haidar menikmati magnet dan
aura di lautan keramaian yang sunyi oleh tiupan musik ney itu dengan caranya sendiri sambil sesekali saya tunjukkan makam-makam
yang istirah bersama Rumi, termasuk ayahnya bernama Bahauddin Walad, sang alim
ulama yang karena kealiman dan ilmu agamanya yang sangat luas diganjar dengan
sebutan sultanul ulama semasa
hidupnya di bawah Kerajaan Saljuk.
“Kita berdoa dan kirim al-Faatihah saja di depan makan, nanti
kita ngaji Yaasiin di tempat shalat,”
bisiknya.
Saya menyetujui sangat, karena ratusan
orang yang menunggu giliran berdoa di dekat makam Rumi—sehingga penjaga
keamanan selalu memperingatkan peziarah agar bergeser—terus berangsek dari
belakang kami.
Mengantar ahli dan penelaah Mulla Sadra
ini ambil wudhu, ingatan saya tiba-tiba mendengus gedebus dan hiruk-pikuk berita
di Tanah Air (khususnya dalam sepuluh tahun terakhir) yang menyertai seorang
tokoh di sampingku kali ini: Syiah! Ya, saya dengar hingar-bingar berita bahwa Haidar
Bagir adalah seorang berhaluan Syiah, tapi saya sengaja (sejak dikontak kawan dari
Istanbul agar sedia menemaninya selama di Konya) tidak ingin menanyakan
kebenaran itu kepadanya.
Kenapa saya tidak penting menanyakan tetek
bengek mazhab, sekte dan sejenisnya? Ilmuwan dan ulama besar seperti Tusi dan Qonawi menyontohkan
ihwal keakuran dan harmoni: menjalin hubungan guru-murid dan saling memperkuat diskursus
ilmu pengetahuan demi memupuk peradaban Islam yang besar dan kuat. Kenapa saya
yang hidup jauh dari masa Rasullullah SAW ini harus mencoreng contoh-contoh bajik
yang ditunjukkan oleh para ulama di atas, yang sejatinya mereka reguk dari
jejak-jejak dan hikmah Sang Nabi?
Lalu, apa yang terbayang di pikiran Anda—seandainya
diri saya ini adalah produk adu domba yang berkembang di Indonesia saat ini—apabila
saya memutuskan menjadi makmum salat dzuhur, tepat di musim gugur bulan Oktober
begini? Lalu mengaji surah Yaasiin bersama yang akan kami tawassul-kan kepada para alim ulama yang telah membela, menjaga dan
mewariskan Islam dari masa ke masa? Ataukah saya akan mencari-cari alasan untuk
tidak menjadi makmum dari seorang yang masuk dalam daftar tokoh Syiah di
Indonesia, dan menurut sebagian Anda dia sesat?
Saya yakin Qonawi tidak pernah berpikir
bahwa Tusi, guru dan sekaligus sahabatnya yang berhaluan Syiah itu, adalah
seorang yang sesat!
Wudhu pun selesai. Kami melangkah
kembali menuju ruangan di dalam gedung pusara Rumi dengan irama ney yang terdengar halus mengalun dan sekaligus
menyayat. Ruangan berkarpet dengan luas sekitar 20x15 meter dibatasi kayu ukir untuk
memisahkan pria dan wanita. Setelah meletakkan tas dan barang-barang, kami berdua
menghadap kiblat untuk mendirikan salat dzuhur.
Apa yang perlu dibimbangkan jikalau hati
sudah teguh? Saya sudah lama bergaul dengan teman-teman Syiah asal Iran dan
Afghanistan khususnya selama di studi Turki; melihat mereka salat dengan secuil
Tanah Karbala di tempat sujudnya; menyaksikan sebagian yang lain salat tanpa menggunakan
tanah itu; mendengarkan mereka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi yang
mereka tolak dan tentang keistimewaan keluarga Nabi bernama Ahlul Bait.
Di tempat lain, saya salat bersama dengan
orang-orang yang tidak bersedekap setelah takbir pertama misalnya… bersama
mereka Mazhab Hanafi yang langsung salat setelah memegang anjing… bersama
mereka yang pakai qunut dan yang tidak…
dan sebagainya.
Itulah mazhab, sebuah lorong yang
dilalui oleh kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang telah mereka dasari atas kerja
ijtihad (dengan aturan yang ketat itu) dan interpretasi terhadap teks-teks agama;
itulah beragam produk dari our
understanding of religion yang jelas berbeda dengan religion itu sendiri, meminjam istilah Abdolkarim Soroush.
Siapa yang tahu hati mereka? Siapa yang
tahu kadar keimanan dan ketakwaan kita? Sebatas mereka menyembah Allah,
menghadap kiblat, membaca dan mengamalkan Al-Qur’an, percaya dan mengikuti hadis
Rasulullah SAW, dan menjaga persaudaraan sesama umat Muslim, mereka adalah saudara
seiman yang suatu waktu kelak di Padang Mahsyar akan berjumpa satu sama lain,
berlindung kepada amal dan ibadahnya masing-masing.
Kemudian saya pun membaca iqamah dan menjadi makmum. Tak ada Tanah
Karbala. Di sini adalah taman bunga mawar yang disirami cinta dan kasih sayang
oleh Rumi. Sang Master Sufi itu kita tak henti-henti menyeru kepada semua agar meninggalkan
semak berduri menuju taman-taman bunga mawar—mengetuk hati manusia dengan cinta
dan kedamaian.
Setelah itu, kami bersama-sama membaca
surah Yaasiin. Matahari terus
merangkak, pelan-pelan menjadi malam. Selepas menonton Tari Sema yang berdurasi
sekitar satu jam itu, dimulai sejak pukul 19.00 Sabtu 17 Oktober 2015, kami
akan berpisah. Tapi pelajaran hidup dan obrolan hikmah dan intelektual akan
terus menyemai…
Akhirnya,
salam cinta dari tanah Rumi.
Tuesday, October 13, 2015
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Versi lain dimuat di Pindai
“Yazıyor musun? Bari o kadar çok sigara
içme!
Zaten lüzumsuz bir iş yapıyorsun. Hiç değilse
başka yönden zarar görme!”[i]
Nyaris
sebuah rutinitas sekitar tengah malam, pintu kamar dibuka dan suara itu pun terdengar
dari seorang yang sangat akrab dalam hidupnya: seorang ibu yang tinggal
bersamanya di sebuah apartmen pribadi bernama Pamuk Apartmanı di Nişantaşı, Beyoğlu, Istanbul. Di rumah itu Orhan
Pamuk memulai karirnya sebagai penulis dengan bekal warisan buku-buku dari
keluarganya, khususnya dari sang Ayah yang telah mengoleksi ribuan buku di
perpustakaan pribadi, buku-buku yang dibeli bersama kakaknya Şevket Pamuk di
masa-masa mereka remaja, dan tentu sekopor buku misterius dari ayahnya yang
baru dibukanya (karena wasiatnya sendiri agar dibaca) setelah dia meninggal
tahun 2002!
Kali
ini saya ingin mengintip pergumulan Pamuk dengan buku dari hal-hal yang luput
dicatat oleh khalayak. Sungguh akan unik menapaktilasi masa-masa Pamuk muda,
suatu fase ketika dirinya berada dalam persimpangan pilihan hidup—antara
tuntutan keluarga dan passion yang
menjalar bebas dalam dirinya. Masa-masa muda inilah, menurut saya, menjadi turning point yang akhirnya menentukan
masa depan dan kesuksesan demi kesuksesan yang diraihnya hari ini.
Untuk itu, Pamuk jangan dilihat melulu hari ini sebagai peraih hadiah-hadiah bergengsi seperti Nobel Prize, International IMPAC Dublin Literary Award, Prix France Cultur, Sonning Prize, Orhan Kemal Novel Prize, Aydın Doğan Prize dan sederetan anugerah yang telah mencatatkan namanya dalam tinta emas sejarah sastra dunia. Mari bersama-sama menjelajahi jejak-jejak kecemasan, melankolis dan kekhawatiran pada dirinya, yang kemudian terselamatkan karena buku!
Untuk itu, Pamuk jangan dilihat melulu hari ini sebagai peraih hadiah-hadiah bergengsi seperti Nobel Prize, International IMPAC Dublin Literary Award, Prix France Cultur, Sonning Prize, Orhan Kemal Novel Prize, Aydın Doğan Prize dan sederetan anugerah yang telah mencatatkan namanya dalam tinta emas sejarah sastra dunia. Mari bersama-sama menjelajahi jejak-jejak kecemasan, melankolis dan kekhawatiran pada dirinya, yang kemudian terselamatkan karena buku!
Bila
harus jujur—sekedar mengingat seorang penulis dunia ihwal kegialaannya kepada
buku—Orhan Pamuk memang belum (dan mungkin tidak) segigih Jorge Luis Borges
ihwal pengabdiannya kepada dunia keperpustakaan yang ditunjukkan secara heroik
hingga akhir hayatnya, bahkan secara tersirat Borges ingin melanjutkan hidup di
Surga yang dibayanginya seperti perpustakaan. Tetapi keduanya mempunyai jalan
sendiri-sendiri yang pada akhirnya bertemu pada satu titik: bergumul di dunia
literasi.
Pamuk
kecil tumbuh dari keluarga pecinta buku, khususnya sang ayah. Imajinasi,
kreativitas dan kebebasan tumbuh di sana. Meski ia belum sanggup menghabiskan
buku-buku koleksi ayahnya—yang berjumlah lebih dari 1500 itu—setidaknya Pamuk muda sudah terbiasa dengan
dunia bacaan, yang mulai ditekuni secara lebih serius pada usia belasan tahun akhir.
Perpustakaan pertama bagi Pamuk adalah koleksi pustaka pribadi ayahnya. Ketika
ada waktu liburan baik dalam atau luar negeri, toko buku menjadi salah satu
tempat yang mereka kunjungi, di samping sang ayah biasa menambah koleksi buku-bukunya
dari toko bekas bekas di Istanbul.
Persentuhan
pertama Pamuk kecil dengan buku dan mimpi menjadi penulis tersemai di Ankara. Pada
suatu kesempatan bersama ibu dan kakaknya, Pamuk dihantar belanja buku yang
pada waktu bersamaan ada acara imza günü
(hari tanda tangan) bersama Aziz Nesin, penulis produktif dan penerjemah novel kontroversial Salman Rushdie Satanic Verses yang nyaris menjadi korban dalam tragedi demonstrasi ribuan orang yang berujung pembakaran sebuah hotel yang ditempati acara dari kelompok paham Alavi di Sivas pada 2 Juli 1993. Saat itu Pamuk masih berusia 8 tahun. Di antara kerumunan orang-orang yang
antri menunggu tanda tangan, Pamuk kecil berkhayal: İleride ben de bir yazar olacaktım (saya juga akan menjadi penulis
di masa depan) (Öteki Renkler, hal.
197). Dan mimpi itu telah menjadi kenyataan. Dalam 15 tahun terakhir,
keberadaan Pamuk ditunggu dan goresan tanda tangannya diburu oleh para
penggemarnya—sampai ribuan orang mengantre!
Dalam
literatur dan dokumen-dokumen wawancara bersama Pamuk, sependek yang saya baca,
momentum di Ankara bisa ditandai sebagai mimpi pertama menjadi penulis yang dititahkan
oleh dirinya. Pamuk remaja tumbuh dalam kultur dan ideologi Eropa dengan gelimang
imajinasi yang tumpah-ruah di antara kubangan buku-buku. Proyek modernitas dan
westernisasi yang menjadi tulang punggung didirikannya Republik Turki melebur
dalam keluarga Pamuk: mengisi liburan ke Prancis bersama ayahnya, rokok dan rakı (arak lokal) menjadi salah satu gaya hidup, dan keluarga
mereka pun dijalankan dalam kebebasan. Tetapi tentu dengan satu pattern yang sudah tertanam kuat dan
harus dicapai: kesuksesan! Apapun profesi yang dipilih, kesuksesan materi
adalah tujuan utama yang tergambar jelas dalam keluarga mereka.
Sementara itu, tujuan hidup Pamuk adalah untuk bahagia,
dengan ataupun tanpa materi! Maka jalan menulis, yang kata ibunya tidak akan
dibeli dan dibaca di Turki, ditempuh Pamuk dengan segala risikonya.
Persentuhan kedua Pamuk muda dengan buku di usia 17-18.
Tahun-tahun ini, di masa-masa awal menuju kuliah, ia mulai lebih serius menggeluti
buku-buku ayahnya. Semua koleksi buku-buku puisi Turki yang ada dalam perpustakaan
pribadi itu dilahap habis. Pada usia 18 Pamuk pertama kali memuplikasikan
puisinya di sebuah buletin sastra bernama Yeditepe
yang pada rentang tahun 1950-1984 getol memberi ruang kreativitas bagi para sastrawan
muda di Turki. Buletin sastra yang bernafas pendek itu diasuh oleh wartawan,
penulis dan pengelola penerbitan bernama Mehmet Hüsamettin Bozok (1916-2008).
Pada fase ini, Pamuk lalu bermimpi menjadi penyair dan
keinginan menjadi penulis yang sempat tercecap 10 tahun silam pun kembali
lahir. Tapi jangan lupa, Pamuk juga mempunyai mimpi lain yang tumbuh bersama
kesukaannya menggambar sejak di sekolah dasar: menjadi pelukis! Sebenarnya,
obsesi menjadi pelukislah yang paling mendominasi pikiran Pamuk muda, dari usia
7 hingga 22, dan bahkan ia sempat punya studio kecil untuk ekspresi melukisnya.
Atau lebih tepatnya, mimpi menjadi pelukis yang sekaligus penyair!
Dalam rentang usia sebelum 22, mimpi menjadi penyair atau
pelukis tak lebih dari sekedar letupan-letupan kecil tapi menggebu-gebu. Apakah
menjadi pelukis atau penyair? Dua-duanya gagal. Di tengah kecemasan pilihan
kreativitas anak muda seusianya, ada satu garis besar yang tidak pernah jauh
dari dirinya: mencintai seni sebagai jalan menemukan kebahagiaan!
Lagi, sebelum usia 22 Pamuk berada dalam ambiguitas
pilihan kreativitas ihwal dunia seni. Tetapi mujurnya, di tengah
pemberontakan-pemberontakan untuk mencari kebahagiaan melalui karya seni, Pamuk
tetap getol bergumul dengan buku-buku. Dalam sitauasi seperti itu, hanya
seorang ibu yang selalu menjadi teman bicaranya, tak segan-segan berdebat
denganya. Misalnya, ia secara terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya
pada jurusan kuliah yang tengah diambilnya (mimarlık/arsitektur)
dan sejak tahun kedua ia mulai meninggalkan pelajaran, sebelum akhirnya
benar-benar ditinggalkannya pada tahun ketiga.
Sementara
ayahnya sering tidak berada di rumah—entah kerja di luar kota,
di luar negeri atau sekedar liburan. Ketika liburan di Paris, Pamuk kerap
diceritain oleh ayahnya bahwa dirinya pernah melihat Jean-Paul Sartre dari jauh,
yang akhir-akhir ini Pamuk paham sendiri—khususnya setelah membuka kopor
misterius berisi manuskrip—bahwa ayahnya juga bermimpi menjadi seorang penulis.
Tetapi
sayangnya, sang ayah gagal menjadi penulis. Karena ayahnya, kata Pamuk, is a troubled optimism, scarred by the anger
of being consigned to the margins, of being left outside. Sementara
itu, menjadi penulis harus siap menghadapi semua ini: berhasil ataupun gagal!
Persentuhan ketiga Pamuk muda dengan buku dimulai sejak
usia 22, tahun 1974. Usia tersebut menjadi tolak ukur bagi pergumulan kreativitasnya
dan paling banyak disebut oleh khalayak; sebuah fase revolusioner. Saat itu
Pamuk memilih cara mengisolasi dirinya dalam kesunyian kamar dan buku-buku koleksi
ayahnya dengan tekad menjadi penulis. Orientasi Pamuk terhujam pada satu
bingkai filosofis: hidup mencari kebahagiaan dan seni-sastra adalah jalan yang
harus ditempuhnya. Untuk itu, di tengah ‘intimidasi’ keluarga yang mengkhawatirkan
masa depannya Pamuk mengurung diri dalam kamar. İa tidak sendiri. Tumpukan buku-buku
adalah teman setia yang menghiburnya. Di kamar itu ada meja dan kursi dekat
jendela, tumpukan kertas dan pena untuk menulis. Pamuk suka melihat sinar
matahari masuk kamarnya dan membentuk silhuet karena dari situ imajinasinya
terus hidup. Rokok, kopi, sekali-kali rakı
dan juga omelan sang ibu menyertai hari-hari berat dan keputusasaan yang
kadangkala datang mengancam dan menggoyahkan pikirannya selama 8 tahun. Ya,
selama 8 tahun Pamuk berkubang sunyi dengan buku-buku di kamarnya, sembari mulai
menulis novel perdananya, Cevdet Bey ve
Oğulları
(Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya).
Selama
8 tahun inilah Pamuk menjadi kutu buku. Ia melahap habis karya-karya sastra koleksi
ayahnya yang disebutnya sebagai perpustakaan pertama baginya; bergumul secara
intens dengan para sastrawan baik dari Turki ataupun luar negeri. Karya-karya sastrawan
Turki terkemuka seperti Yahya Kemal, Kemal Tahir, Oğuz Atay, Ahmet Hamdi
Tanpınar, Orhan Kemal, Yaşar Kemal, Nazım Hikmet, Aziz Nesin, Kemalettin Tuğcu
dan Fethi Naci ditimpas habis. Bahkan pun karya Jalaluddin Rumi, Nizami, Ibn
Arabi dan Imam Al-Ghazali menjadi santapan liar seorang gila-buku yang memenjarakan
diri dalam kamarnya sendiri.
Di
samping itu, Pamuk makin kesetanan menenggak saripati karya-karya sastrawan
dunia yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya. Sebutlah seperti Gabriel
García Márquez, Julio Cortázar, Jorge Luis Borges, William Faulkner, Thomas
Mann, James Joyce, Albert Camus, Virginia Woolf, Joseph Conrad, Stendhal, Dante
Alighieri, Jean-Paul Sartre, Guillermo Cabrera Infante, Salman Rushdie, Victor
Hugo, Milan Kundera, Philip Larkin, Gunter Grass, Patricia Highsmith, Mario
Vargas Llosa, Thomas Bernhard dan penulis-penulis dari Rusia seperti Leo Tolstoy
dan Fyodor Dostoyevsky. Barangkali karya-karya dari nama besar di atas tidak
semuanya Pamuk baca dari koleksi ayahnya selama 8 tahun mengurung, tetapi saya tidak
terkejut ketika melihat sendiri jejak-jekak gairah penerjemahan buku-buku
sastra dunia yang marak di Turki sejak tahun 1950-an. Di Turki Anda akan sangat mudah mendapati buku-buku terjemahan langsung dari bahasa pertama seperti Persia, Rusia, Jerman, Prancis, Italia, Portugis, Arab, dll. tanpa harus menunggu versi kedua dari bahasa Inggris, seperti biasa terjadi dalam dunia perbukuan kita di Indonesia hingga hari ini.
Sampai
di sini saya ingin berbisik kepada pembaca yang budiman bahwa Pamuk mengurung
diri dalam kamarnya selama 8 tahun adalah jalan wahyu sebagai novelis. Selama
masa inkubasi tersebut, ia adalah seorang yang kesepian, memilih jalan kesunyian.
Ia tidak suka keramaian—apalagi orang-orang yang tidak dikenal, makanan mewah
saat liburan lebaran, kantor-kantor dan orang-orang yang terlalu serius. “Turun
gunung” setelah 8 tahun, di usianya ke-30, Pamuk pun menerbitkan novel
perdananya, setelah selama 2 tahun ia harus pontang-panting mencari penerbit. Akhirnya
tahun 1982 Penerbit Karacan bersedia menerbitkan novel sebetal 641 halaman, Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya (ditulis
rentang tahun 1974-78).
Untuk
membaca sejarah Pamuk secara lebih detail saya rekomendasikan buku-buku
karangannya sendiri seperti Istanbul: Hatıralar
ve Şehir (Istanbul: Kenangan dan Kota), Öteki
Renkler: Seçme Yazılar ve Bir Hikaye (Warna-Warna Lain: Sebuah Cerita dan
Pilihan Tulisan), Manzaradan Parçalar:
Hayat, Sokaklar, Edebiyat (Fragmen-Fragmen Panorama: Kehidupan, Jalanan,
Sastra), Saf ve Düşünceli Romancı
(Novelis Naif dan Sintimentil), Babamın Bavulu (Kopor Ayahku), dan bahkan beberapa novel yang secara tersirat merekam jejak hidupnya sendiri, misalnya Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan
Anak-Anaknya), Sessiz Ev (Rumah
Sunyi) dan Masumiyet Müzesi (Museum
Kepolosan).
Akhirnya,
bagi yang ingin memilih menjadi penulis, seperti pesan Pamuk, keberanian tidak
cukup, tetapi ia harus terlunta-lunta dalam kesunyian. Dan Pamuk menemukan kebahagiaan
saat-saat seperti itu, saat di mana ia menciptakan dunia lewat kata-kata yang
ditulisnya. Karena baginya, menulis adalah balas dendam bagi kehidupan yang
tidak pernah terjadi!
Turki, 17
Agustus 2015
[i] “Apa kamu sedang menulis? Jangan merokok
sebanyak itu sekaligus. Kamu sudah mengerjakan sesuatu yang tidak penting, setidaknya
jangan tambah lagi penderitaanmu!”
Catatan:
Tulisan di atas bersumber dari buku:
1.
Istanbul:
Kenangan dan Kota
(Cet. 12/ 2014),
2.
Warna-Warna
Lain: Sebuah Cerita dan Pilihan Tulisan (Cet. 1, 2013),
3.
Fragmen-Fragmen
Panorama: Kehidupan, Jalanan, Sastra (Cet. 2, 2010),
4.
Novelis Naif dan
Sintimentil
(Cet. 1, 2011),
5.
Kopor Ayahku (Pidato Hadiah
Nobel),
6.
Beberapa
artikel dan wawancara terpisah di media-media lokal di Turki.
Thursday, October 08, 2015
Sensitivitas Etnis dan Hadiah Nobel Kimia
Ada
yang membuat saya tergelitik beberapa jam setelah Panitia Nobel di Stockholm
merilis peraih Nobel Kimia 2015, Rabu 7 Oktober kemarin. Tiga nama ilmuwan Tomas
Lindahl (Swedia), Paul Modrich (Amerika) dan Aziz Sancar (Turki) pun
dipentaskan sebagai ilmuwan yang berhak menerima hadiah paling bergengsi yang
dipunyai jagat bumi ini. Mereka bertiga dinilai telah berjasa kepada kemanusiaan
(benefit to humankind) karena proyek
yang mereka tekuni ihwal mechanistic studies of DNA repair yang secara signifikan memberikan
kontribusi terhadap proses penyembuhan penyakit-penyakit kanker.
Sebagaimana terjadi di berbagai negara di mana ada
anak bangsa mereka mendapatkan pengakuan tertinggi di pentas internasional
seperti Nobel, ucapan-ucapan selamat dan rasa bangga ditunjukkan baik oleh publik
internasional ataupun bangsa mereka sendiri. Tak jarang pula, khususnya oleh keluarga
dekat si ilmuwan, ada semacam perayaan dan pesta kecil sebagai wujud syukur atas
prestasi dan pengakuan tersebut.
Namun di Turki saya menemukan panorama yang berbeda
dan bahkan lebih agresif. Perdebatannya bukan lagi ihwal proyek keilmuan yang dikembangkan
oleh Sancar, tetapi justru banyak yang nyinyir tentang isu etnisitas di balik
latar belakang Sancar. Twitter resmi The Nobel Prize yang memposting ucapan selamat khusus kepada Aziz Sancar dipenuhi perdebatan,
klaim dan ejekan berbau etnosentris baik dengan bahasa Inggris ataupun Turki.
Kita bisa scrolling @NobelPrize yang menjadi lahan dan dipenuhi mention
perdebatan dan ejekan-ejekan di antara mereka. Di samping itu, isu etnis seakan
menemukan momentum tepat yang terus menggelinding liar di tengah-tengah publik Turki
hari ini.
Sancar lahir pada 8 September 1946 di Savur,
Mardin, Turki, ke arah utara dari pusat kota Mardin. Daerah yang dikenal sebagai
dataran luas Mesopotamia itu mayoritas berpenduduk Kurdi, Arab, Assyrian
(Suryani) dan Turki. Sebagai provinsi dengan penduduk mayoritas suku Kurdi, orang-orang
dari rumpun etnis yang sama baik warga Turki ataupun negara-negara tetangga (seperti
waarga Kurdi di Irak, Iran dan Suriah yang terus menjaga nasionalisme berbais etnik
demi membentuk negara sendiri) secara masif melontarkan klaim-klaim secara
terbuka bahwa Sancar bukan orang Turki, tetapi Kurdi atau Arab. Klaim-klaim
seperti ini terus ramai di tengah-tengah perbincangan publik Turki saat ini.
Naifnya, mereka tidak peduli terhadap apa yang
disampaikan sendiri oleh Sancar ketika pertama kali mendapatkan telepon ucapan
selamat dari panitia. Padahal Sancar dengan jelas mengucapkan terima kasih dan mengatakan:
I am of course honoured to get this recognition for all the work I've done
over the years, but I'm also proud for my family and for my native country and
my adopted country, and especially for Turkey it's quite important. Di
kesempatan lain, media nasional Turki seperti Anadolu Agency (AA) secara
cepat mewawancarai Sancar yang saat ini tinggal di North Carolina, US. Kepada AA
Sancar mengatakan: "En çok ülkem için sevindim. Türkiye’ye bilim lazım,
katkı sunduğum için çok sevinçliyim" (Saya sangat bahagia untuk negara
saya. Turki butuh ilmu pengetahuan, saya sangat senang karena sudah
berkontibusi).
Secara geografis Mardin adalah daerah yang bisa
disebut paling homogen dan multikultur di daerah Turki Tenggara. Di samping itu,
Mardin boleh disebut sebagai daerah di mana umat Kritiani hidup berdampingan
secara damai sejak sebelum negara Turki ada. Di Mardin sendiri ada sebuah
Kampung Suryani bernama Kıllıt di Dereiçi, Savur yang dihuni oleh mayoritas
umat Kristen dan pusat-pusat peninggalan Syriac Christianity masih
lestari, misalnya di Midyat yang sudah dihuni sejak abad I SM.
Pada musim panas tahun 2014 kemarin, saya mendapati dengan mudah orang-orang berbahasa Arab, Kurdi dan Turki di jalanan di kota Mardin. Di samping itu, dalam konteks eskalasi konflik etnis bersenjata Mardin dapat dibilang provinsi yang tidak banyak bergolak, meskipun daerah-daerah tetangganya menjadi target operasi oleh pasukan kemanan Turki.
Pada musim panas tahun 2014 kemarin, saya mendapati dengan mudah orang-orang berbahasa Arab, Kurdi dan Turki di jalanan di kota Mardin. Di samping itu, dalam konteks eskalasi konflik etnis bersenjata Mardin dapat dibilang provinsi yang tidak banyak bergolak, meskipun daerah-daerah tetangganya menjadi target operasi oleh pasukan kemanan Turki.
Meski begitu, bagi saya adalah sebuah pemakluman bila isu etnis kembali
memanas di Turki, khususnya setelah konflik bersanjata antara pasukan keamanan
Turki dengan PKK (kelompok radikal suku Kurdi yang menuntut merdeka) terjadi sejak
akhir bulan Juli kemarin. Tragedi bom bunuh diri yang dilakukan oleh pentolan
kelompok ISIS di provinsi Sanliurfa, tetangga Mardin, pada 20 Juli telah memupus
proses perdamaian yang sudah dimonitor secara aktif oleh pemerintah Turki sejak
2012. Pemerintah Turki kemudian membombarir titik-titik gerakan kelompok teroris
ISIS di daerah Suriah dan “sekalian” menghujani bom kamp-kamp pelatihan PKK di Irak
Utara. Atas kejadian tersebut, kelompok PKK yang selama ini berkonsentrasi di
gunung-gunung di Provinsi Timur dan Tenggara Turki (khususnya di Provinsi Hakkari)
pun bangun dan melakukan perlawanan hingga hari ini. Korban berjumlah ratusan dari
kedua belah pihak sudah berjatuhan. Selama dua bulan lebih hingga sekarang, serangkaian
pemutihan terhadap kelompok PKK yang dicap teroris oleh Turki, Uni Eropa dan
Amerika terus dilakukan secara intens setelah secara tegas P.M. Turki Ahmet Davutoglu
memerintahkan pasukan Khusus-Terlatih Turki turun demi membersihkan PKK di
Turki. Dan konflik bersenjata yang sudah berusia 30 tahun ini pun kembali
menganga.
Dus, momentum bagus berskala internasional ihwal penganugerahan Hadiah
Nobel kepada Aziz Sancar pun dijadikan kesempatan oleh kelompok pro-Kurdi untuk
menunjukkan identitas mereka. Namun sayangnya mereka terjebak kepada tindakan nyinyir
belaka dengan mengklaim Sancar atas isu etnosentris, sementara Sancar sendiri
secara sadar mengatakan kepada media-media internasional ucapan terima kasih
dan kebanggaannya sebagai warga Turki.
Aziz Sancar adalah peraih Nobel kedua bagi Turki dan ketujuh bagi negara
mayoritas Muslim setelah Najib Mahfouz, Mohamed Mustafa El-Baradei, Ahmed
Hassan Zewail (Mesir), Abdus Salam, Malala Yousafzai (Pakistan), dan Orhan
Pamuk (Turki). Resepsi publik kepada dua Nobelis Turki mempunyai sejarah dan
intrik masing-masing. Pamuk menjadi sosok yang paling kontroversial hingga mendapatkan
ancaman pembunuhan dan hukuman pengadilan (yang akhirnya ditebus dengan
sejumlah uang) karena satu tahun sebelumnya berani berkoar kepada media internasional
tentang tragedi “genosida” terhadap bangsa Armenia yang terjadi pada masa-masa
Ottoman menjelang kolap tahun 1915.
Bahkan ketika membandingkan kedua Nobelis di atas masih ada kelompok
khususnya dari sayap nasionalis-kanan yang mengatakan bahwa Sancar menjadi
kebanggan Turki, sementara Pamuk tetap menjadi pengkhianat karena telah melukai
negara dan bangsa Turki. Meski pelan-pelan Pamuk sudah mendapatkan “ampun
sosial” dari bangsa Turki, tapi tidak sedikit yang tetap berdiri melawan cara pikir
dan pendirian Pamuk yang katanya “menjual negara” ke pentas internasional.
Akhirnya, kelompok nasionalis-kanan ini mengakui Sancar sebagai
kebanggaan (gurur) tetapi di kutub
yang berlawanan (kelompok pro-Kurdi)
yang jelas-jelas menjadi musuh mereka juga membuat klaim bahwa Sancar bukan dari
suku Turk. Sementara kita akan menyambut Aziz Sancar yang telah dilahirkan
untuk kemansuiaan tanpa melihat jenis kulit dan agamanya.
Tebrik ederim Aziz Sancar!
Sumber foto: 1. Dr. Ach. Maimun Syamsuddin (Annuqayah); 2. Nabila (Sampang)
Versi Cetak Tulisan ini dimuat di JAWA POS, 9 Oktober 2015
Versi Cetak Tulisan ini dimuat di JAWA POS, 9 Oktober 2015