Ada
yang membuat saya tergelitik beberapa jam setelah Panitia Nobel di Stockholm
merilis peraih Nobel Kimia 2015, Rabu 7 Oktober kemarin. Tiga nama ilmuwan Tomas
Lindahl (Swedia), Paul Modrich (Amerika) dan Aziz Sancar (Turki) pun
dipentaskan sebagai ilmuwan yang berhak menerima hadiah paling bergengsi yang
dipunyai jagat bumi ini. Mereka bertiga dinilai telah berjasa kepada kemanusiaan
(benefit to humankind) karena proyek
yang mereka tekuni ihwal mechanistic studies of DNA repair yang secara signifikan memberikan
kontribusi terhadap proses penyembuhan penyakit-penyakit kanker.
Sebagaimana terjadi di berbagai negara di mana ada
anak bangsa mereka mendapatkan pengakuan tertinggi di pentas internasional
seperti Nobel, ucapan-ucapan selamat dan rasa bangga ditunjukkan baik oleh publik
internasional ataupun bangsa mereka sendiri. Tak jarang pula, khususnya oleh keluarga
dekat si ilmuwan, ada semacam perayaan dan pesta kecil sebagai wujud syukur atas
prestasi dan pengakuan tersebut.
Namun di Turki saya menemukan panorama yang berbeda
dan bahkan lebih agresif. Perdebatannya bukan lagi ihwal proyek keilmuan yang dikembangkan
oleh Sancar, tetapi justru banyak yang nyinyir tentang isu etnisitas di balik
latar belakang Sancar. Twitter resmi The Nobel Prize yang memposting ucapan selamat khusus kepada Aziz Sancar dipenuhi perdebatan,
klaim dan ejekan berbau etnosentris baik dengan bahasa Inggris ataupun Turki.
Kita bisa scrolling @NobelPrize yang menjadi lahan dan dipenuhi mention
perdebatan dan ejekan-ejekan di antara mereka. Di samping itu, isu etnis seakan
menemukan momentum tepat yang terus menggelinding liar di tengah-tengah publik Turki
hari ini.
Sancar lahir pada 8 September 1946 di Savur,
Mardin, Turki, ke arah utara dari pusat kota Mardin. Daerah yang dikenal sebagai
dataran luas Mesopotamia itu mayoritas berpenduduk Kurdi, Arab, Assyrian
(Suryani) dan Turki. Sebagai provinsi dengan penduduk mayoritas suku Kurdi, orang-orang
dari rumpun etnis yang sama baik warga Turki ataupun negara-negara tetangga (seperti
waarga Kurdi di Irak, Iran dan Suriah yang terus menjaga nasionalisme berbais etnik
demi membentuk negara sendiri) secara masif melontarkan klaim-klaim secara
terbuka bahwa Sancar bukan orang Turki, tetapi Kurdi atau Arab. Klaim-klaim
seperti ini terus ramai di tengah-tengah perbincangan publik Turki saat ini.
Naifnya, mereka tidak peduli terhadap apa yang
disampaikan sendiri oleh Sancar ketika pertama kali mendapatkan telepon ucapan
selamat dari panitia. Padahal Sancar dengan jelas mengucapkan terima kasih dan mengatakan:
I am of course honoured to get this recognition for all the work I've done
over the years, but I'm also proud for my family and for my native country and
my adopted country, and especially for Turkey it's quite important. Di
kesempatan lain, media nasional Turki seperti Anadolu Agency (AA) secara
cepat mewawancarai Sancar yang saat ini tinggal di North Carolina, US. Kepada AA
Sancar mengatakan: "En çok ülkem için sevindim. Türkiye’ye bilim lazım,
katkı sunduğum için çok sevinçliyim" (Saya sangat bahagia untuk negara
saya. Turki butuh ilmu pengetahuan, saya sangat senang karena sudah
berkontibusi).
Secara geografis Mardin adalah daerah yang bisa
disebut paling homogen dan multikultur di daerah Turki Tenggara. Di samping itu,
Mardin boleh disebut sebagai daerah di mana umat Kritiani hidup berdampingan
secara damai sejak sebelum negara Turki ada. Di Mardin sendiri ada sebuah
Kampung Suryani bernama Kıllıt di Dereiçi, Savur yang dihuni oleh mayoritas
umat Kristen dan pusat-pusat peninggalan Syriac Christianity masih
lestari, misalnya di Midyat yang sudah dihuni sejak abad I SM.
Pada musim panas tahun 2014 kemarin, saya mendapati dengan mudah orang-orang berbahasa Arab, Kurdi dan Turki di jalanan di kota Mardin. Di samping itu, dalam konteks eskalasi konflik etnis bersenjata Mardin dapat dibilang provinsi yang tidak banyak bergolak, meskipun daerah-daerah tetangganya menjadi target operasi oleh pasukan kemanan Turki.
Pada musim panas tahun 2014 kemarin, saya mendapati dengan mudah orang-orang berbahasa Arab, Kurdi dan Turki di jalanan di kota Mardin. Di samping itu, dalam konteks eskalasi konflik etnis bersenjata Mardin dapat dibilang provinsi yang tidak banyak bergolak, meskipun daerah-daerah tetangganya menjadi target operasi oleh pasukan kemanan Turki.
Meski begitu, bagi saya adalah sebuah pemakluman bila isu etnis kembali
memanas di Turki, khususnya setelah konflik bersanjata antara pasukan keamanan
Turki dengan PKK (kelompok radikal suku Kurdi yang menuntut merdeka) terjadi sejak
akhir bulan Juli kemarin. Tragedi bom bunuh diri yang dilakukan oleh pentolan
kelompok ISIS di provinsi Sanliurfa, tetangga Mardin, pada 20 Juli telah memupus
proses perdamaian yang sudah dimonitor secara aktif oleh pemerintah Turki sejak
2012. Pemerintah Turki kemudian membombarir titik-titik gerakan kelompok teroris
ISIS di daerah Suriah dan “sekalian” menghujani bom kamp-kamp pelatihan PKK di Irak
Utara. Atas kejadian tersebut, kelompok PKK yang selama ini berkonsentrasi di
gunung-gunung di Provinsi Timur dan Tenggara Turki (khususnya di Provinsi Hakkari)
pun bangun dan melakukan perlawanan hingga hari ini. Korban berjumlah ratusan dari
kedua belah pihak sudah berjatuhan. Selama dua bulan lebih hingga sekarang, serangkaian
pemutihan terhadap kelompok PKK yang dicap teroris oleh Turki, Uni Eropa dan
Amerika terus dilakukan secara intens setelah secara tegas P.M. Turki Ahmet Davutoglu
memerintahkan pasukan Khusus-Terlatih Turki turun demi membersihkan PKK di
Turki. Dan konflik bersenjata yang sudah berusia 30 tahun ini pun kembali
menganga.
Dus, momentum bagus berskala internasional ihwal penganugerahan Hadiah
Nobel kepada Aziz Sancar pun dijadikan kesempatan oleh kelompok pro-Kurdi untuk
menunjukkan identitas mereka. Namun sayangnya mereka terjebak kepada tindakan nyinyir
belaka dengan mengklaim Sancar atas isu etnosentris, sementara Sancar sendiri
secara sadar mengatakan kepada media-media internasional ucapan terima kasih
dan kebanggaannya sebagai warga Turki.
Aziz Sancar adalah peraih Nobel kedua bagi Turki dan ketujuh bagi negara
mayoritas Muslim setelah Najib Mahfouz, Mohamed Mustafa El-Baradei, Ahmed
Hassan Zewail (Mesir), Abdus Salam, Malala Yousafzai (Pakistan), dan Orhan
Pamuk (Turki). Resepsi publik kepada dua Nobelis Turki mempunyai sejarah dan
intrik masing-masing. Pamuk menjadi sosok yang paling kontroversial hingga mendapatkan
ancaman pembunuhan dan hukuman pengadilan (yang akhirnya ditebus dengan
sejumlah uang) karena satu tahun sebelumnya berani berkoar kepada media internasional
tentang tragedi “genosida” terhadap bangsa Armenia yang terjadi pada masa-masa
Ottoman menjelang kolap tahun 1915.
Bahkan ketika membandingkan kedua Nobelis di atas masih ada kelompok
khususnya dari sayap nasionalis-kanan yang mengatakan bahwa Sancar menjadi
kebanggan Turki, sementara Pamuk tetap menjadi pengkhianat karena telah melukai
negara dan bangsa Turki. Meski pelan-pelan Pamuk sudah mendapatkan “ampun
sosial” dari bangsa Turki, tapi tidak sedikit yang tetap berdiri melawan cara pikir
dan pendirian Pamuk yang katanya “menjual negara” ke pentas internasional.
Akhirnya, kelompok nasionalis-kanan ini mengakui Sancar sebagai
kebanggaan (gurur) tetapi di kutub
yang berlawanan (kelompok pro-Kurdi)
yang jelas-jelas menjadi musuh mereka juga membuat klaim bahwa Sancar bukan dari
suku Turk. Sementara kita akan menyambut Aziz Sancar yang telah dilahirkan
untuk kemansuiaan tanpa melihat jenis kulit dan agamanya.
Tebrik ederim Aziz Sancar!
Sumber foto: 1. Dr. Ach. Maimun Syamsuddin (Annuqayah); 2. Nabila (Sampang)
Versi Cetak Tulisan ini dimuat di JAWA POS, 9 Oktober 2015
Versi Cetak Tulisan ini dimuat di JAWA POS, 9 Oktober 2015
0 comments:
Post a Comment