Thursday, October 08, 2015

Sensitivitas Etnis dan Hadiah Nobel Kimia

Ada yang membuat saya tergelitik beberapa jam setelah Panitia Nobel di Stockholm merilis peraih Nobel Kimia 2015, Rabu 7 Oktober kemarin. Tiga nama ilmuwan Tomas Lindahl (Swedia), Paul Modrich (Amerika) dan Aziz Sancar (Turki) pun dipentaskan sebagai ilmuwan yang berhak menerima hadiah paling bergengsi yang dipunyai jagat bumi ini. Mereka bertiga dinilai telah berjasa kepada kemanusiaan (benefit to humankind) karena proyek yang mereka tekuni ihwal mechanistic studies of DNA repair yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap proses penyembuhan penyakit-penyakit kanker.

Sebagaimana terjadi di berbagai negara di mana ada anak bangsa mereka mendapatkan pengakuan tertinggi di pentas internasional seperti Nobel, ucapan-ucapan selamat dan rasa bangga ditunjukkan baik oleh publik internasional ataupun bangsa mereka sendiri. Tak jarang pula, khususnya oleh keluarga dekat si ilmuwan, ada semacam perayaan dan pesta kecil sebagai wujud syukur atas prestasi dan pengakuan tersebut.

Namun di Turki saya menemukan panorama yang berbeda dan bahkan lebih agresif. Perdebatannya bukan lagi ihwal proyek keilmuan yang dikembangkan oleh Sancar, tetapi justru banyak yang nyinyir tentang isu etnisitas di balik latar belakang Sancar. Twitter resmi The Nobel Prize yang memposting ucapan selamat khusus kepada Aziz Sancar dipenuhi perdebatan, klaim dan ejekan berbau etnosentris baik dengan bahasa Inggris ataupun Turki. Kita bisa scrolling @NobelPrize yang menjadi lahan dan dipenuhi mention perdebatan dan ejekan-ejekan di antara mereka. Di samping itu, isu etnis seakan menemukan momentum tepat yang terus menggelinding liar di tengah-tengah publik Turki hari ini.

Sancar lahir pada 8 September 1946 di Savur, Mardin, Turki, ke arah utara dari pusat kota Mardin. Daerah yang dikenal sebagai dataran luas Mesopotamia itu mayoritas berpenduduk Kurdi, Arab, Assyrian (Suryani) dan Turki. Sebagai provinsi dengan penduduk mayoritas suku Kurdi, orang-orang dari rumpun etnis yang sama baik warga Turki ataupun negara-negara tetangga (seperti waarga Kurdi di Irak, Iran dan Suriah yang terus menjaga nasionalisme berbais etnik demi membentuk negara sendiri) secara masif melontarkan klaim-klaim secara terbuka bahwa Sancar bukan orang Turki, tetapi Kurdi atau Arab. Klaim-klaim seperti ini terus ramai di tengah-tengah perbincangan publik Turki saat ini.

Naifnya, mereka tidak peduli terhadap apa yang disampaikan sendiri oleh Sancar ketika pertama kali mendapatkan telepon ucapan selamat dari panitia. Padahal Sancar dengan jelas mengucapkan terima kasih dan mengatakan: I am of course honoured to get this recognition for all the work I've done over the years, but I'm also proud for my family and for my native country and my adopted country, and especially for Turkey it's quite important. Di kesempatan lain, media nasional Turki seperti Anadolu Agency (AA) secara cepat mewawancarai Sancar yang saat ini tinggal di North Carolina, US. Kepada AA Sancar mengatakan: "En çok ülkem için sevindim. Türkiye’ye bilim lazım, katkı sunduğum için çok sevinçliyim" (Saya sangat bahagia untuk negara saya. Turki butuh ilmu pengetahuan, saya sangat senang karena sudah berkontibusi).

Secara geografis Mardin adalah daerah yang bisa disebut paling homogen dan multikultur di daerah Turki Tenggara. Di samping itu, Mardin boleh disebut sebagai daerah di mana umat Kritiani hidup berdampingan secara damai sejak sebelum negara Turki ada. Di Mardin sendiri ada sebuah Kampung Suryani bernama Kıllıt di Dereiçi, Savur yang dihuni oleh mayoritas umat Kristen dan pusat-pusat peninggalan Syriac Christianity masih lestari, misalnya di Midyat yang sudah dihuni sejak abad I SM. 

Pada musim panas tahun 2014 kemarin, saya mendapati dengan mudah orang-orang berbahasa Arab, Kurdi dan Turki di jalanan di kota Mardin. Di samping itu, dalam konteks eskalasi konflik etnis bersenjata Mardin dapat dibilang provinsi yang tidak banyak bergolak, meskipun daerah-daerah tetangganya menjadi target operasi oleh pasukan kemanan Turki.

Meski begitu, bagi saya adalah sebuah pemakluman bila isu etnis kembali memanas di Turki, khususnya setelah konflik bersanjata antara pasukan keamanan Turki dengan PKK (kelompok radikal suku Kurdi yang menuntut merdeka) terjadi sejak akhir bulan Juli kemarin. Tragedi bom bunuh diri yang dilakukan oleh pentolan kelompok ISIS di provinsi Sanliurfa, tetangga Mardin, pada 20 Juli telah memupus proses perdamaian yang sudah dimonitor secara aktif oleh pemerintah Turki sejak 2012. Pemerintah Turki kemudian membombarir titik-titik gerakan kelompok teroris ISIS di daerah Suriah dan “sekalian” menghujani bom kamp-kamp pelatihan PKK di Irak Utara. Atas kejadian tersebut, kelompok PKK yang selama ini berkonsentrasi di gunung-gunung di Provinsi Timur dan Tenggara Turki (khususnya di Provinsi Hakkari) pun bangun dan melakukan perlawanan hingga hari ini. Korban berjumlah ratusan dari kedua belah pihak sudah berjatuhan. Selama dua bulan lebih hingga sekarang, serangkaian pemutihan terhadap kelompok PKK yang dicap teroris oleh Turki, Uni Eropa dan Amerika terus dilakukan secara intens setelah secara tegas P.M. Turki Ahmet Davutoglu memerintahkan pasukan Khusus-Terlatih Turki turun demi membersihkan PKK di Turki. Dan konflik bersenjata yang sudah berusia 30 tahun ini pun kembali menganga.

Dus, momentum bagus berskala internasional ihwal penganugerahan Hadiah Nobel kepada Aziz Sancar pun dijadikan kesempatan oleh kelompok pro-Kurdi untuk menunjukkan identitas mereka. Namun sayangnya mereka terjebak kepada tindakan nyinyir belaka dengan mengklaim Sancar atas isu etnosentris, sementara Sancar sendiri secara sadar mengatakan kepada media-media internasional ucapan terima kasih dan kebanggaannya sebagai warga Turki.

Aziz Sancar adalah peraih Nobel kedua bagi Turki dan ketujuh bagi negara mayoritas Muslim setelah Najib Mahfouz, Mohamed Mustafa El-Baradei, Ahmed Hassan Zewail  (Mesir), Abdus Salam, Malala Yousafzai (Pakistan), dan Orhan Pamuk (Turki). Resepsi publik kepada dua Nobelis Turki mempunyai sejarah dan intrik masing-masing. Pamuk menjadi sosok yang paling kontroversial hingga mendapatkan ancaman pembunuhan dan hukuman pengadilan (yang akhirnya ditebus dengan sejumlah uang) karena satu tahun sebelumnya berani berkoar kepada media internasional tentang tragedi “genosida” terhadap bangsa Armenia yang terjadi pada masa-masa Ottoman menjelang kolap tahun 1915.

Bahkan ketika membandingkan kedua Nobelis di atas masih ada kelompok khususnya dari sayap nasionalis-kanan yang mengatakan bahwa Sancar menjadi kebanggan Turki, sementara Pamuk tetap menjadi pengkhianat karena telah melukai negara dan bangsa Turki. Meski pelan-pelan Pamuk sudah mendapatkan “ampun sosial” dari bangsa Turki, tapi tidak sedikit yang tetap berdiri melawan cara pikir dan pendirian Pamuk yang katanya “menjual negara” ke pentas internasional.

Akhirnya, kelompok nasionalis-kanan ini mengakui Sancar sebagai kebanggaan (gurur) tetapi di kutub yang  berlawanan (kelompok pro-Kurdi) yang jelas-jelas menjadi musuh mereka juga membuat klaim bahwa Sancar bukan dari suku Turk. Sementara kita akan menyambut Aziz Sancar yang telah dilahirkan untuk kemansuiaan tanpa melihat jenis kulit dan agamanya. 

Tebrik ederim Aziz Sancar!

Sumber foto: 1. Dr. Ach. Maimun Syamsuddin (Annuqayah); 2. Nabila (Sampang)
Versi Cetak Tulisan ini dimuat di JAWA POS, 9 Oktober 2015

0 comments: