Thursday, October 29, 2015

Taman Bunga Mawar Rumi dan Haidar Bagir

Versi lengkap dari tulisan termuat di sini (http://basabasi.co)

Dr. Haidar Bagir, pendiri dan pemilik Penerbit Mizan Group dan pengkaji yang sekaligus pemikir filsafat Islam dan penulis buku-buku tasawuf itu, berkunjung ke Konya dengan batas waktu yang cukup singkat. Cuma setengah hari, dari pukul 12.00 siang hingga malam pukul 11.15 Pertemuan intens saya—dalam artian bisa mengobrol dan sharing tentang filsafat Islam dan tasawuf denganya—tidak lebih dari enam jam, dan itu pun sambil lalu di jeda-jeda waktu.

Tetapi, seelok kita mensyukuri momentum, kualitas sebuah peristiwa pada akhirnya tidak pernah menunggu waktu khusus. Ia hadir kepada semua ruas-kejadian dengan orang-orang (tokoh-tokoh) yang dikirim oleh Allah, Sang Pencipta segala peristiwa. Dan konon, menurut ingatan yang berkembang dalam masyarakat China, a single conversation with a wise man… is better than ten years' mere study of books. Inspirasi dan ide bisa terus berhamburan dan berjalan ke sana ke mari, bersama orang-orang yang dianugerahi wawasan dan ilmu luas atau bersama mereka yang melampaui tetek-bengek kemayapadaan ini. Ya, bahkan mereka yang diangap tak-waras, tetapi di depan Allah, siapa yang tahu?

Kali ini saya diberikan kesempatan bertemu dengan salah satu habaib, dari keluarga al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan hingga Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang pernak-pernik pemikirannya sudah pernah saya kenal—dengan keterbatasan bahan bacaan kala itu di Pondok Pesantren Annuqayah—sejak mulai di bangku Madrasah Aliyah. Buku-buku terbitan Mizan dari tahun 1990-an hingga 2000-an cukup berlimpah dengan beragam jenisnya.

“Selamat datang di Konya, Pak Haidar,” sapaku ketika pertama kali jumpa di Konya Havalimanı, bandara yang difungsikan untuk sipil dan sekaligus militer termasuk pasukan NATO.

“Mau transportasi publik atau pribadi?”
“Kalau bus cuma sekali naik, saya pilih bus,” tukasnya santai. “Biar bisa menikmati suasana kota.”

Sejak di bus Havas, transportasi antar-jemput khusus bandara di Konya dan juga di daerah-daerah lain di Turki, obrolan kami bermula. Saya sejak awal sadar bahwa alumni master degree dari Harvard University pada The Center for Middle Eastern Studies di bawah pakar tasawuf Prof. Annemarie Schimmel ini akan menjadi guru dadakan, sebuah momentum menjadi pendengar. Saya hanya cukup menjadi penunjuk arah dan jalan selama Dr. Haidar Bagir ziarah di Konya: Shems Tebriz, Jalaluddin Rumi dan Sadraddin al-Qunawi, tiga tempat utama yang ingin dikunjunginya. Tentu saja di akhir ziarah nanti ada sajian spesial bernama Tari Darwish (Whirling Dervish), satu warisan budaya Rumi dan Mevlevi Order yang dicatat oleh UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2008. Tarian yang lebih dikenal dengan nama Tari Sema, yang sempat dilarang oleh Mustafa Kemal Ataturk sejak tahun 1923, ini akan menjadi puncak bagi ziarah Haidar Bagir di Konya.

“Al-Qonawi ini hidup sezaman dengan Rumi. Tapi mungkin di sini tidak akan banyak dikenal luas karena latar belakangnya berbeda. Ia seorang pemikir dan filsuf dan menulis syarah karya Ibnu Arabi. Dia adalah murid dan sekaligus anak tiri Ibnu Arabi karena ibunya dinikahi oleh Ibnu Arabi. Ia juga murid dari Nashruddin al-Tusi, seorang ilmuwan dan filsof pelanjut Ibnu Sina,” terang Haidar panjang lebar selama kami di bus, sembari mengambil beberapa jeda untuk menikmati taman-taman luas yang dibangun Pemerintah Provinsi Konya sepanjang jalan dari bandara.

Saya baru betul-betul sadar bahwa ilmuwan, ulama besar dan sufi yang didedahkan oleh Haidar Bagir di atas ternyata hidup di zaman yang bersamaan: al-Tusi (1201-1274), al-Qonawi (1207-1274) dan Rumi (1207-1273)! Masa itu, yang dikenang sebagai era kejayaan umat Islam, Tusi sebagai saintis dan filsuf dengan pandangan fiqh mazhab Syiah dan Qonawi yang Sunni berkorespondensi, menjadi guru dan murid satu sama lain. Ihwal dunia sufi yang tak banyak memikatnya itu kemudian ditulis oleh Tusi melalui perspektif filsafat dalam kitab Awsaf al-Ashraf  (The Attributes of the Illustrious).

Zaman itu, fase di mana produk pemikiran dan pengaruh dunia Islam sangat kuat, peradaban Islam dibangun dengan fondasi persaudaraan dari berbagai mazhab, hasil dialektika dan benturan kritik demi kritik pemikiran yang kemudian menyublim menjadi sebuah kekuatan dunia!

Di tengah perjalanan menuju makam Rumi dan al-Qonawi, saya juga tidak lupa menunjukkan Bilim Merkezi (Pusat Ilmu Pengetahuan), sebuah bangunan megah dengan arsitektur unik seperti galaksi bima sakti yang dipotong-separuh. Ihtiar untuk menghadirkan memori kebangkitan kembali kejayaan Islam bisa dinikmati di sebuah bangunan di atas luas tanah sekitar 600 m2. Bilim Merkezi adalah pusat ilmu pengetahuan terbesar di Turki yang dibangun di Konya. Di dalam bangunan canggih itu kita bisa menyaksikan pameran, peragaan sejarah dan miniatur-miniatur penemuan para ilmuwan yang pernah dipunyai oleh dunia Islam.
                                                              

                                                                ***
Waktu salat dzuhur sudah tiba. Saya meminta Bapak Haidar Bagir salat di halaman makam Jalaluddin Rumi. Sebenarnya kami bisa mendirikan salat di masjid makam Shems Tebriz, yang jaraknya hanya ratusan meter dari makam dan museum Rumi. Tapi, karena kedatangannya ke Konya adalah untuk menikmati dan mereguk aura Rumi, salat di kawasan makam Rumi akan mendapatkan kenangan khusus. Apalagi sejak akhir tahun kemarin, masjid di kawasan makam Rumi sudah dibuka untuk publik—tempat mengaji ataupun salat para peziarah.

“Kita salat di kawasan makam Rumi saja, Pak Haidar,” sekali lagi saya pastikan.

Seiring langkah menyusuri keramaian para peziarah ke tengah pusara Rumi, saya membiarkan Pak Haidar menikmati magnet dan aura di lautan keramaian yang sunyi oleh tiupan musik ney itu dengan caranya sendiri sambil sesekali saya tunjukkan makam-makam yang istirah bersama Rumi, termasuk ayahnya bernama Bahauddin Walad, sang alim ulama yang karena kealiman dan ilmu agamanya yang sangat luas diganjar dengan sebutan sultanul ulama semasa hidupnya di bawah Kerajaan Saljuk.

“Kita berdoa dan kirim al-Faatihah saja di depan makan, nanti kita ngaji Yaasiin di tempat shalat,” bisiknya.

Saya menyetujui sangat, karena ratusan orang yang menunggu giliran berdoa di dekat makam Rumi—sehingga penjaga keamanan selalu memperingatkan peziarah agar bergeser—terus berangsek dari belakang kami.

Mengantar ahli dan penelaah Mulla Sadra ini ambil wudhu, ingatan saya tiba-tiba mendengus gedebus dan hiruk-pikuk berita di Tanah Air (khususnya dalam sepuluh tahun terakhir) yang menyertai seorang tokoh di sampingku kali ini: Syiah! Ya, saya dengar hingar-bingar berita bahwa Haidar Bagir adalah seorang berhaluan Syiah, tapi saya sengaja (sejak dikontak kawan dari Istanbul agar sedia menemaninya selama di Konya) tidak ingin menanyakan kebenaran itu kepadanya.

Kenapa saya tidak penting menanyakan tetek bengek mazhab, sekte dan sejenisnya? Ilmuwan dan ulama besar seperti Tusi dan Qonawi menyontohkan ihwal keakuran dan harmoni: menjalin hubungan guru-murid dan saling memperkuat diskursus ilmu pengetahuan demi memupuk peradaban Islam yang besar dan kuat. Kenapa saya yang hidup jauh dari masa Rasullullah SAW ini harus mencoreng contoh-contoh bajik yang ditunjukkan oleh para ulama di atas, yang sejatinya mereka reguk dari jejak-jejak dan hikmah Sang Nabi?  

Lalu, apa yang terbayang di pikiran Anda—seandainya diri saya ini adalah produk adu domba yang berkembang di Indonesia saat ini—apabila saya memutuskan menjadi makmum salat dzuhur, tepat di musim gugur bulan Oktober begini? Lalu mengaji surah Yaasiin bersama yang akan kami tawassul-kan kepada para alim ulama yang telah membela, menjaga dan mewariskan Islam dari masa ke masa? Ataukah saya akan mencari-cari alasan untuk tidak menjadi makmum dari seorang yang masuk dalam daftar tokoh Syiah di Indonesia, dan menurut sebagian Anda dia sesat?

Saya yakin Qonawi tidak pernah berpikir bahwa Tusi, guru dan sekaligus sahabatnya yang berhaluan Syiah itu, adalah seorang yang sesat!

Wudhu pun selesai. Kami melangkah kembali menuju ruangan di dalam gedung pusara Rumi dengan irama ney yang terdengar halus mengalun dan sekaligus menyayat. Ruangan berkarpet dengan luas sekitar 20x15 meter dibatasi kayu ukir untuk memisahkan pria dan wanita. Setelah meletakkan tas dan barang-barang, kami berdua menghadap kiblat untuk mendirikan salat dzuhur.

Apa yang perlu dibimbangkan jikalau hati sudah teguh? Saya sudah lama bergaul dengan teman-teman Syiah asal Iran dan Afghanistan khususnya selama di studi Turki; melihat mereka salat dengan secuil Tanah Karbala di tempat sujudnya; menyaksikan sebagian yang lain salat tanpa menggunakan tanah itu; mendengarkan mereka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi yang mereka tolak dan tentang keistimewaan keluarga Nabi bernama Ahlul Bait.

Di tempat lain, saya salat bersama dengan orang-orang yang tidak bersedekap setelah takbir pertama misalnya… bersama mereka Mazhab Hanafi yang langsung salat setelah memegang anjing… bersama mereka yang pakai qunut dan yang tidak… dan sebagainya.

Itulah mazhab, sebuah lorong yang dilalui oleh kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang telah mereka dasari atas kerja ijtihad (dengan aturan yang ketat itu) dan interpretasi terhadap teks-teks agama; itulah beragam produk dari our understanding of religion yang jelas berbeda dengan religion itu sendiri, meminjam istilah Abdolkarim Soroush.

Siapa yang tahu hati mereka? Siapa yang tahu kadar keimanan dan ketakwaan kita? Sebatas mereka menyembah Allah, menghadap kiblat, membaca dan mengamalkan Al-Qur’an, percaya dan mengikuti hadis Rasulullah SAW, dan menjaga persaudaraan sesama umat Muslim, mereka adalah saudara seiman yang suatu waktu kelak di Padang Mahsyar akan berjumpa satu sama lain, berlindung kepada amal dan ibadahnya masing-masing.

Kemudian saya pun membaca iqamah dan menjadi makmum. Tak ada Tanah Karbala. Di sini adalah taman bunga mawar yang disirami cinta dan kasih sayang oleh Rumi. Sang Master Sufi itu kita tak henti-henti menyeru kepada semua agar meninggalkan semak berduri menuju taman-taman bunga mawar—mengetuk hati manusia dengan cinta dan kedamaian.

Setelah itu, kami bersama-sama membaca surah Yaasiin. Matahari terus merangkak, pelan-pelan menjadi malam. Selepas menonton Tari Sema yang berdurasi sekitar satu jam itu, dimulai sejak pukul 19.00 Sabtu 17 Oktober 2015, kami akan berpisah. Tapi pelajaran hidup dan obrolan hikmah dan intelektual akan terus menyemai…

Akhirnya, salam cinta dari tanah Rumi.

0 comments: