Versi
lengkap dari tulisan termuat di sini (http://basabasi.co)
Dr. Haidar Bagir, pendiri dan pemilik
Penerbit Mizan Group dan pengkaji yang sekaligus pemikir filsafat Islam dan
penulis buku-buku tasawuf itu, berkunjung ke Konya dengan batas waktu yang cukup
singkat. Cuma setengah hari, dari pukul 12.00 siang hingga malam pukul 11.15 Pertemuan
intens saya—dalam artian bisa mengobrol dan sharing
tentang filsafat Islam dan tasawuf denganya—tidak lebih dari enam jam, dan itu pun
sambil lalu di jeda-jeda waktu.
Tetapi, seelok kita mensyukuri momentum,
kualitas sebuah peristiwa pada akhirnya tidak pernah menunggu waktu khusus. Ia hadir
kepada semua ruas-kejadian dengan orang-orang (tokoh-tokoh) yang dikirim oleh Allah,
Sang Pencipta segala peristiwa. Dan konon, menurut ingatan yang berkembang dalam
masyarakat China, a single conversation
with a wise man… is better than ten years' mere study of books. Inspirasi dan
ide bisa terus berhamburan dan berjalan ke sana ke mari, bersama orang-orang
yang dianugerahi wawasan dan ilmu luas atau bersama mereka yang melampaui
tetek-bengek kemayapadaan ini. Ya, bahkan mereka yang diangap tak-waras, tetapi
di depan Allah, siapa yang tahu?
Kali ini saya diberikan kesempatan bertemu
dengan salah satu habaib, dari keluarga
al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan hingga Husein bin Ali bin Abi Thalib,
yang pernak-pernik pemikirannya sudah pernah saya kenal—dengan keterbatasan bahan
bacaan kala itu di Pondok Pesantren Annuqayah—sejak mulai di bangku Madrasah
Aliyah. Buku-buku terbitan Mizan dari tahun 1990-an hingga 2000-an cukup
berlimpah dengan beragam jenisnya.
“Selamat datang di Konya, Pak Haidar,”
sapaku ketika pertama kali jumpa di Konya Havalimanı, bandara yang difungsikan untuk
sipil dan sekaligus militer termasuk pasukan NATO.
“Mau
transportasi publik atau pribadi?”
“Kalau
bus cuma sekali naik, saya pilih bus,” tukasnya santai. “Biar bisa menikmati suasana
kota.”
Sejak di bus Havas, transportasi antar-jemput khusus bandara di Konya dan juga di
daerah-daerah lain di Turki, obrolan kami bermula. Saya sejak awal sadar bahwa
alumni master degree dari Harvard University pada The Center for Middle Eastern Studies di
bawah pakar tasawuf Prof. Annemarie Schimmel ini akan menjadi guru dadakan, sebuah
momentum menjadi pendengar. Saya hanya cukup menjadi penunjuk arah dan jalan selama
Dr. Haidar Bagir ziarah di Konya: Shems Tebriz, Jalaluddin Rumi dan Sadraddin
al-Qunawi, tiga tempat utama yang ingin dikunjunginya. Tentu saja di akhir
ziarah nanti ada sajian spesial bernama Tari Darwish (Whirling Dervish), satu warisan budaya Rumi dan Mevlevi Order yang dicatat oleh UNESCO
sebagai Masterpieces of the Oral and
Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2008. Tarian yang lebih dikenal
dengan nama Tari Sema, yang sempat dilarang oleh Mustafa Kemal Ataturk sejak tahun
1923, ini akan menjadi puncak bagi ziarah Haidar Bagir di Konya.
“Al-Qonawi ini hidup sezaman dengan
Rumi. Tapi mungkin di sini tidak akan banyak dikenal luas karena latar
belakangnya berbeda. Ia seorang pemikir dan filsuf dan menulis syarah karya Ibnu Arabi. Dia adalah murid
dan sekaligus anak tiri Ibnu Arabi karena ibunya dinikahi oleh Ibnu Arabi. Ia juga
murid dari Nashruddin al-Tusi, seorang ilmuwan dan filsof pelanjut Ibnu Sina,”
terang Haidar panjang lebar selama kami di bus, sembari mengambil beberapa jeda
untuk menikmati taman-taman luas yang dibangun Pemerintah Provinsi Konya
sepanjang jalan dari bandara.
Saya baru betul-betul sadar bahwa ilmuwan,
ulama besar dan sufi yang didedahkan oleh Haidar Bagir di atas ternyata hidup
di zaman yang bersamaan: al-Tusi (1201-1274), al-Qonawi (1207-1274) dan Rumi (1207-1273)!
Masa itu, yang dikenang sebagai era kejayaan umat Islam, Tusi sebagai saintis dan
filsuf dengan pandangan fiqh mazhab Syiah dan Qonawi yang Sunni berkorespondensi,
menjadi guru dan murid satu sama lain. Ihwal dunia sufi yang tak banyak
memikatnya itu kemudian ditulis oleh Tusi melalui perspektif filsafat dalam kitab
Awsaf al-Ashraf (The Attributes of the Illustrious).
Zaman itu, fase di mana produk pemikiran
dan pengaruh dunia Islam sangat kuat, peradaban Islam dibangun dengan fondasi
persaudaraan dari berbagai mazhab, hasil dialektika dan benturan kritik demi
kritik pemikiran yang kemudian menyublim menjadi sebuah kekuatan dunia!
Di tengah perjalanan menuju makam Rumi
dan al-Qonawi, saya juga tidak lupa menunjukkan Bilim Merkezi (Pusat Ilmu Pengetahuan), sebuah bangunan megah dengan
arsitektur unik seperti galaksi bima sakti yang dipotong-separuh. Ihtiar untuk menghadirkan
memori kebangkitan kembali kejayaan Islam bisa dinikmati di sebuah bangunan di
atas luas tanah sekitar 600 m2. Bilim
Merkezi adalah pusat ilmu pengetahuan terbesar di Turki yang dibangun di
Konya. Di dalam bangunan canggih itu kita bisa menyaksikan pameran, peragaan
sejarah dan miniatur-miniatur penemuan para ilmuwan yang pernah dipunyai oleh
dunia Islam.
***
Waktu salat dzuhur sudah tiba. Saya
meminta Bapak Haidar Bagir salat di halaman makam Jalaluddin Rumi. Sebenarnya kami
bisa mendirikan salat di masjid makam Shems Tebriz, yang jaraknya hanya ratusan
meter dari makam dan museum Rumi. Tapi, karena kedatangannya ke Konya adalah untuk
menikmati dan mereguk aura Rumi, salat di kawasan makam Rumi akan mendapatkan kenangan
khusus. Apalagi sejak akhir tahun kemarin, masjid di kawasan makam Rumi sudah
dibuka untuk publik—tempat mengaji ataupun salat para peziarah.
“Kita salat di kawasan makam Rumi saja,
Pak Haidar,” sekali lagi saya pastikan.
Seiring langkah menyusuri keramaian para
peziarah ke tengah pusara Rumi, saya membiarkan Pak Haidar menikmati magnet dan
aura di lautan keramaian yang sunyi oleh tiupan musik ney itu dengan caranya sendiri sambil sesekali saya tunjukkan makam-makam
yang istirah bersama Rumi, termasuk ayahnya bernama Bahauddin Walad, sang alim
ulama yang karena kealiman dan ilmu agamanya yang sangat luas diganjar dengan
sebutan sultanul ulama semasa
hidupnya di bawah Kerajaan Saljuk.
“Kita berdoa dan kirim al-Faatihah saja di depan makan, nanti
kita ngaji Yaasiin di tempat shalat,”
bisiknya.
Saya menyetujui sangat, karena ratusan
orang yang menunggu giliran berdoa di dekat makam Rumi—sehingga penjaga
keamanan selalu memperingatkan peziarah agar bergeser—terus berangsek dari
belakang kami.
Mengantar ahli dan penelaah Mulla Sadra
ini ambil wudhu, ingatan saya tiba-tiba mendengus gedebus dan hiruk-pikuk berita
di Tanah Air (khususnya dalam sepuluh tahun terakhir) yang menyertai seorang
tokoh di sampingku kali ini: Syiah! Ya, saya dengar hingar-bingar berita bahwa Haidar
Bagir adalah seorang berhaluan Syiah, tapi saya sengaja (sejak dikontak kawan dari
Istanbul agar sedia menemaninya selama di Konya) tidak ingin menanyakan
kebenaran itu kepadanya.
Kenapa saya tidak penting menanyakan tetek
bengek mazhab, sekte dan sejenisnya? Ilmuwan dan ulama besar seperti Tusi dan Qonawi menyontohkan
ihwal keakuran dan harmoni: menjalin hubungan guru-murid dan saling memperkuat diskursus
ilmu pengetahuan demi memupuk peradaban Islam yang besar dan kuat. Kenapa saya
yang hidup jauh dari masa Rasullullah SAW ini harus mencoreng contoh-contoh bajik
yang ditunjukkan oleh para ulama di atas, yang sejatinya mereka reguk dari
jejak-jejak dan hikmah Sang Nabi?
Lalu, apa yang terbayang di pikiran Anda—seandainya
diri saya ini adalah produk adu domba yang berkembang di Indonesia saat ini—apabila
saya memutuskan menjadi makmum salat dzuhur, tepat di musim gugur bulan Oktober
begini? Lalu mengaji surah Yaasiin bersama yang akan kami tawassul-kan kepada para alim ulama yang telah membela, menjaga dan
mewariskan Islam dari masa ke masa? Ataukah saya akan mencari-cari alasan untuk
tidak menjadi makmum dari seorang yang masuk dalam daftar tokoh Syiah di
Indonesia, dan menurut sebagian Anda dia sesat?
Saya yakin Qonawi tidak pernah berpikir
bahwa Tusi, guru dan sekaligus sahabatnya yang berhaluan Syiah itu, adalah
seorang yang sesat!
Wudhu pun selesai. Kami melangkah
kembali menuju ruangan di dalam gedung pusara Rumi dengan irama ney yang terdengar halus mengalun dan sekaligus
menyayat. Ruangan berkarpet dengan luas sekitar 20x15 meter dibatasi kayu ukir untuk
memisahkan pria dan wanita. Setelah meletakkan tas dan barang-barang, kami berdua
menghadap kiblat untuk mendirikan salat dzuhur.
Apa yang perlu dibimbangkan jikalau hati
sudah teguh? Saya sudah lama bergaul dengan teman-teman Syiah asal Iran dan
Afghanistan khususnya selama di studi Turki; melihat mereka salat dengan secuil
Tanah Karbala di tempat sujudnya; menyaksikan sebagian yang lain salat tanpa menggunakan
tanah itu; mendengarkan mereka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi yang
mereka tolak dan tentang keistimewaan keluarga Nabi bernama Ahlul Bait.
Di tempat lain, saya salat bersama dengan
orang-orang yang tidak bersedekap setelah takbir pertama misalnya… bersama
mereka Mazhab Hanafi yang langsung salat setelah memegang anjing… bersama
mereka yang pakai qunut dan yang tidak…
dan sebagainya.
Itulah mazhab, sebuah lorong yang
dilalui oleh kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang telah mereka dasari atas kerja
ijtihad (dengan aturan yang ketat itu) dan interpretasi terhadap teks-teks agama;
itulah beragam produk dari our
understanding of religion yang jelas berbeda dengan religion itu sendiri, meminjam istilah Abdolkarim Soroush.
Siapa yang tahu hati mereka? Siapa yang
tahu kadar keimanan dan ketakwaan kita? Sebatas mereka menyembah Allah,
menghadap kiblat, membaca dan mengamalkan Al-Qur’an, percaya dan mengikuti hadis
Rasulullah SAW, dan menjaga persaudaraan sesama umat Muslim, mereka adalah saudara
seiman yang suatu waktu kelak di Padang Mahsyar akan berjumpa satu sama lain,
berlindung kepada amal dan ibadahnya masing-masing.
Kemudian saya pun membaca iqamah dan menjadi makmum. Tak ada Tanah
Karbala. Di sini adalah taman bunga mawar yang disirami cinta dan kasih sayang
oleh Rumi. Sang Master Sufi itu kita tak henti-henti menyeru kepada semua agar meninggalkan
semak berduri menuju taman-taman bunga mawar—mengetuk hati manusia dengan cinta
dan kedamaian.
Setelah itu, kami bersama-sama membaca
surah Yaasiin. Matahari terus
merangkak, pelan-pelan menjadi malam. Selepas menonton Tari Sema yang berdurasi
sekitar satu jam itu, dimulai sejak pukul 19.00 Sabtu 17 Oktober 2015, kami
akan berpisah. Tapi pelajaran hidup dan obrolan hikmah dan intelektual akan
terus menyemai…
Akhirnya,
salam cinta dari tanah Rumi.
0 comments:
Post a Comment