Sunday, November 22, 2015
Surat Motivasi Aplikasi Program MEP-Australia
(Setelah ada beberapa teman ingin membaca surat mutivasi atau dokumen untuk kegiatan MEP (Muslim Exchange Program) yang saya ikuti tahun 2011 di Australia, saya berpikir file ini perlu diselamatkan sebelum hilang atau tertumpuk lapuk. Jika teman-teman merasa perlu membaca sebagai pengkayaan perspektif, dengan senang hati dipersilahkan. Semoga bermanfaat.)
Sebagai
pertimbangan mengapa saya melamar dan berminat program ini, secara
komprehensif-kronologis, berikut saya ceritakan tentang “kegelisahan dan
pergulatan” intelektual saya sejak pendidikan menengah pertama di pondok
pesantren, perguruan tinggi, hingga aktivitas saat ini yang sedang saya geluti.
Sejak saya belajar di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, saya
mulai bersinggungan dengan beberapa komunitas diskusi tentang isu-isu keagamaan
secara luas. Saya beruntung langsung terlibat dengan banyak organisasi bersama
santri-santri senior yang bisa memberikan inspirasi dan sharing pengalaman yang akhirnya melecutkan kreativitas dan minat
belajar saya.
Semasih
duduk di Pondok Pesantren Annuqayah, periode MTs-MA, saya bisa menyebutkan beberapa
organisasi, lingkaran diskusi, dan media penerbitan yang telah menjadi bagian dari
proses panjang dalam pergulatan intelektual saya, seperti IKSAPATRA sebagai Seksi
Pengembangan Intelektual, Koordinator Diskusi RADIAN ALMERSERY, Forum Malam
Selasa, Koordinator Perkumpulan Santri-Penulis Annuqayah, dan menjadi Pimpinan
Redaksi Mading ARENA, Pimpinan Umum Jurnal PENTAS, dan Staff Redaksi Majalah
PERMAI di salah satu penerbitan LSM ternama di Madura, Jawa Timur, yaitu BIRO
PENGABDIAN MASYARAKAT (BPM) PP. Annuqayah.
Di
BPM-PPA ini, saya mulai bertemu dengan orang-orang dari luar “area” latar
belakang saya. Mereka adalah dari kalangan pemerintahan, jaringan LSM nasional
mauppun internasional, dan tamu-tamu penting yang sedang melakukan penelitian.
Saya beberapa kali diutus mengikuti workshop dan pelatihan tentang isu-isu
sosial dan lingkungan di luar Madura mewakili BPM-PPA. Di BPM pula, saya
menemani dua volunteers dari
Australia (Margaret Rolling dan John Rolling) yang mempunyai program mengajar
Bahasa Inggris di pondok pesantren. Saya kerap bertukar pikiran bersama dua
orang ini, dan mereka pula yang telah melecutkan semangat saya untuk terus
belajar dan belajar.
Selama
proses tersebut, saya beruntung tetap bergelut dengan buku-buku bacaan dan
menulis. Saya menjadi ketua dan pembina Perpustakaan Annuqayah dan Kepala
Bidang Pengembangan Kepustakaan di BPM-PPA. Di bidang penerbitan, saya bersama
teman menginisiasi penerbitan Buletin KEJORA di lingkungan pondok pesantren sebagai
media yang mewadahi kreativitas santri. Kedekatan saya dengan buku dan
kreativitas menulis akhirnya mengantarkan saya kepada banyak kesempatan. Sejak
Madrasah Aliyah (sederajat SMA) saya sudah banyak memenangkan lomba karya tulis
di tingkat kabupaten, dan tulisan-tulisan saya sudah mulai dimuat di media lokal
ataupun nasional.
Tahun
2006 saya datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan S1. Namun sebelum kuliah, saya
harus dihadapkan dengan pembiayaan yang harus saya tanggung sendiri karena
orang tua saya (tinggal Ibu sendiri) sudah tidak sanggup lagi membiayai. Saya harus
bekerja serabutan dulu. Alhamdulilah
saya bertemu dengan sosok kiai muda dan penulis produktif bernama (alm) K.H.A.
Zainal Arifin Thaha. Saya diizinkan oleh beliau agar tinggal di gubuk sederhana
bernama Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari. Di Yogyakarta, saya bisa
lebih bebas lagi berkomunitas baik keseniaan, agama, filsafat, sosial, dsb. Di
sini saya terlibat dengan banyak organisasi dan komunitas: pembina di Ikatan
Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta, koordinator Komunitas KUTUB, Koordinator
Program Sastra di Tetaer ESKA UIN Sunan Kalijaga, salah satu Person in Charge Youth
Program komunitas Peace Generation yang bekerja sama dengan Pusat Studi Keamanan
dan Perdamaian (PSKP) UGM, American Friends Services Committee (AFSC), Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dll. Kebersamaan saya dengan mereka telah
membuka ruang toleransi, multikultural, dan solidaritas sosial antara umat beragama
dengan latar belakang yang beragam. Di sini pula saya bisa ikut terlibat di
berbagai seminar dan konferensi
nasioanal ataupun internasional.
Sejak
di Yogyakarta saya sudah menemukan “mini Indonesia” yang merepresentasikan
multikulturalisme dan pluralisme. Di sini saya bisa membuka pemikiran dan
perspektif saya yang lebih inklusif melalui pertemuan dan terlibat secara
langsung dengan orang-orang dari berbagai latar belakang baik agama, ras,
etnis, dan bangsa. Semangat pluralisme ini telah menjadi landasan saya dalam
praktik keberagamaan lebih lanjut ke depan. Kantong-kantong keberagamaan yang
radikalis, ekstremis, fundemintalis, dan militan coba saya masuki demi membangun
jembatan komunikasi dengan nilai-nilai Islam yang substantif dan holistik,
mencari arah solusi terhadap praktik keberagamaan yang mereka jalani sejauh
ini, untuk kehidupan manusia yang harmonis dan rahmatul lil ‘alamin. Spirit seperti ini telah menjadi bagian
terpenting dalam proses kehidupan saya ke depan dengan komunitas yang saya
gawangi, bersama orang-orang yang saya temui di setiap saat. Semua ini saya
lakukan demi restorasi dan spirit kebangsaan yang secara prinsipil membutuhkan ruang-ruang
diskursus yang beragam dan multikultur.
Keran
pemahaman tentang multikultarilme dan spirit kebangsaan itu saya temukan secara
lebih spesifik ketika bulan Juni-Juli 2010 saya mendapatkan beasiswa dari The Indonesian International Education
Foundation (IIEF) dan US Embassy untuk belajar bahasa dan budaya ke Amerika
Serikat. Saya tinggal di negara bagian South Carolina, belajar di University of
South Carolina, bertemu dan berinteraksi dengan mahasiswa asing,
mempresenitasikan budaya Indonesia. Arti keberagamaan dan kebangsaan saya semakin
menemukan jawabannya secara holistik ketika saya banyak berkomunikasi dan
bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar bangsa di dunia.
Jika
saya terpilih dalam program ini, saya akan memanfaatkan pertemuan saya dengan
berbagai pihak baik personal orang maupun lembaga-lembaga dan organisasi yang
ada di Australia; saya akan sharing lebih dalam tentang pengelolaan organisasi
dan penguatan jaringan dengan lembaga-lembaga luar. Program Pertukaran Tokoh Muslim
Muda Indonesia-Australia 2011 ini tentu akan memberikan ruang yang lebih luas
lagi bagi saya untuk berbagi pemahaman dan praktik-praktik riil di lapangan
dari pengalaman banyak orang maupun organisasi dari perspektif yang lebih luas.
Setelah
terpilih dari program ini, saya akan berbagai pengalaman dengan memberikan
suatu perspektif baru tentang organisasi maupun nilai-nilai pemahaman yang overseas sebagai landasan bagi
pengembangan organisasi saya di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari dan
organisasi lain yang sedang saya geluti. Program ini sangat membantu saya dalam
proses transfer pengalaman dan transformasi pemahaman kepada lembaga dan
komunitas masing-masing yang saya geluti sekarang. Proses interaksi dialogis
yang lebih luas melalui program ini akan memberikan spirit dan nutrisi baru
bagi keberlangsungan organisasi.
Masyarakat
Indonesia yang saya rancang sebagai tujuan komunikasi dan gerakan setelah
program ini adalah para pemuda (youth)
karena mereka inilah yang akan meneruskan dan menentukan masa depan bangsa dan
negara Indonesia. Saya akan mengajak para pemuda untuk berbagi dan sharing
pemahaman tentang keberagamaan masing-masing demi restorasi kebangsaan. Saya
melakukan kunjungan ke organisasi dan lembaga-lembaga pemuda yang ada di
Yogyakarta. Sebagai contoh adalah ketika saya dan komunitas Peace Generation melalui
kegiatan DO.Ci.Reng (Dolanan Cerita Bareng) melakukan assessment terhadap anak-anak korban
erupsi Merapi di Magelang ataupun kegiatan Peace
Camp, semacam program immerse yang mempertemukan mini Indonesia dalam satu
kegiatan. Saya menemukan banyak pelajaran di sini bahwa pemuda harus menjadi elan-vital
yang harus dipupuk kreativitasnya demi masa depan Indonesia.
Jika
saya diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegaitan MEP kali ini, organisasi/personal
yang ingin saya kunjungi:
1. Chaaban
Omar, dari FAMSY Federation of Australian Muslim Student & Youth.
2. Chair
and Administrator of the Australian Federation of Islamic Council
3. Dr
Samina Yasmeen, the University of Western Australia
4. Fadi
Rahman, Muslim Youth Leader, ICRA (Independent Centre of Research Australia)
5. Professor
Abdullah Saeed, Sultan of Oman and Chair of Arab & Islamic Studies and
Director of the Centre for the Study of Contemporary Islam.
6. Ahmed
Youssef, President of the Islamic Centre of Canberra
7. Anna
Halafoff, Inter-religious & Intercultural Relations– Asia Pacific and
Global Terrorism Research Centre at Monash University.
8. Silma
Ihram, Founder & Principal, Noor Al Houda Islamic College.
Thursday, November 12, 2015
Ayah
Dunia bermain adalah kehidupan utama bagi anak-anak
seusiaku. Segala jenis permainan bersama, mulai dari
permainan tradisional turun-temurun hingga permainan yang kami buat sendiri,
selalu menandai masa-sama bahagia yang sederhana tak terlupakan bersama anak-anak tetangga.
Suatu hari menjelang sore, aku dan beberapa teman bermain sembunyi-sembunyian,
semacam polisi-polisian. Di tengah berlangsungnya
permainan, seorang ibu penjaja jajanan mampir ke halaman rumah nenek. Kami,
seperti biasa, langsung mengerumininya. Tak peduli ada uang
atau tidak. Biasanya kami serentak teriak “beliiii…..” dan menunjuk ini-itu.
Aku lalu langsung merangsek ke dapur, menemui Ayah, Ibu dan sepertinya
ada paman atau bibi di sana—yang sedang menemani Ayah. Tanpa ba-bi-bu, aku
merengek minta uang kepada Ibu untuk beli jajan. Sedikit berteriak, memaksa dan tentu rewel.
Ayah, yang sedang tergolek di lincak memanggilku, “sini, nak.” Aku segera mendekat. Dan plak! Sebuah tamparan
mendarat di pipiku.
“Ayah sedang sakit, cong.” Aku mendengar kalimat ini dari Ayahku sebelum berlari menangis ke halaman rumah. Ibu, atau nenekku, lalu mengejarku dan membelikan jajan.
“Ayah sedang sakit, cong.” Aku mendengar kalimat ini dari Ayahku sebelum berlari menangis ke halaman rumah. Ibu, atau nenekku, lalu mengejarku dan membelikan jajan.
Ini salah satu kenangan terindah bersama Ayah yang paling
kuingat. Beberapa bulan setelahnya beliau meninggalkan kami karena sakit yang
dideritanya, hanya berselang sekitar 37 hari setelah kedatangannya dari Tanah Suci (semoga Ayah damai selalu di sisiNya).
Saat itu, aku masih belum cukup umur untuk sekolah SD di
kampungku. Juga belum disunat.
Ayahku, semoga anakmu ini segara menjadi ayah yang mencintai anak-anaknya kelak dengan hati dan jiwa yang dalam. Selamat Hari Ayah. Doa selalu kupanjatkan setiap tarik nafasku....
Ayahku, semoga anakmu ini segara menjadi ayah yang mencintai anak-anaknya kelak dengan hati dan jiwa yang dalam. Selamat Hari Ayah. Doa selalu kupanjatkan setiap tarik nafasku....
Turki, 12 November 2015
Tuesday, November 03, 2015
Drama Kemenangan Partai Penguasa Turki
Pada 1
November kemarin pemilu ulang di Turki dihelat. Meskipun ada 16 partai politik
yang ikut bertarung demi mengirimkan wakil di parlemen, hanya ada 4 parpol (AKP,
CHP, MHP, HDP) yang mempunyai tempat signifikan di percaturan politik negara
bekas Ottoman ini. Partai-partai sisanya tak lebih hanya sebagai penggembira setidaknya
dalam satu dekade terakhir.
Di antara 4 besar
tersebut, satu parpol baru HDP (Partai Demokrasi Rakyat) yang berdiri sejak
Agustus 2012 boleh dibilang fenomenal. Mereka dapat menembus ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) di
atas 10% pada pemilu nasional pertamanya. Hal tersebut tentu prestasi istimewa
untuk sebuah parpol baru dari kelompok minoritas suku Kurdi.
Menurut
hasil hitung cepat oleh media nasional seperti Anadolu Ajinsi dan Cihan
Ajinsi, pemilu ulang kali ini menunjukkan hasil yang sangat menguntungkan
bagi partai penguasa: AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan) 49%, CHP (Partai
Rakyat Republik) 25%, HDP (Partai Demokrasi Rakyat) 10% dan MHP (Partai Gerakan Nasionalis) 11%. Coba bandingkan dengan hasil pemilu
7 Juni lalu: AKP 40.86%, CHP 24.96%, MHP 16.29% dan dan HDP 13.12%.
Berkaca pada data
di atas, suara dari partai nasionalis anjlok hingga lebih 5 persen dan suara
dari komunitas suku Kurdi hanya berkurang sekitar persen. Sementara itu, partai
warisan Mustafa Kemal Ataturk CHP menunjukkan bahwa mereka mempunyai konstituen
paling loyal dengan hasil yang selalu sama, yaitu di angka 25 persen.
Kecemasan dan Harapan
Sejak hasil pemilu
7 Juni lalu situasi internal Turki penuh drama dan pelan-pelan merangkak ke
arah kekerasan masif, di samping juga konflik laten bersenjata antara pasukan keamanan Turki versus PKK (Partai Pekerja Kurdi) di Turki timur dan tenggara terus berlanjut hingga hari ini. Salah satu kekerasan tak terkendali itu adalah ledakan
bom bunuh diri yang terjadi di Suruc, Sanliurfa pada 20 Juni 2015. Ledakan
pertama setelah pemilu 7 Juni itu memakan korban sekitar 30 orang. Puncaknya
adalah ketika kembali ada ledakan bom bunuh diri di ibukota Ankara (10/10) yang
memakan korban lebih dari 100 orang.
Menurut hasil
investigasi otoritas setempat, pelaku, pola dan motif kedua ledakan di atas mirip-mirip: dilakukan oleh ISIS dan menyasar kepada “kelompok kiri” yang berafiliasi
dengan massa HDP. Bedanya, bom bunuh diri yang pertama meledak di daerah mayoritas
suku Kurdi sendiri di Sanliurfa, di tengah-tengah massa pemuda yang tengah berkumpul menggalang dukungan untuk pengiriman bantuan ke Kobani, daerah perbatasan Suriah-Turki yang pernah
diluluhlantakkan ISIS selama musim panas 2014 dan sekaligus menjadi perhatian
serius suku Kurdi yang merasa sebagai saudara-suku. Sementara ledakan bom di Ankara
terjadi juga di tengah-tengah massa HDP yang ikut meramaikan pertemuan puncak
nasional untuk persiapan dan konsolidasi pemilu ulang.
Kata kunci yang
menarik di sini adalah: ledakan bom di ibukota, pusat pemerintahan dan aktivitas lintas negara diperagakan. Bagi saya, seperti juga dirasakan oleh rakyat Turki sendiri, ledakan tersebut telah menjadi lampu kuning
kecemasan. Semacam ancaman yang mendatangkan kekhawatiran demi kekhawatiran bagi mereka. Kecemasan, sebuah drama paling ampuh yang dimainkan oleh kepentingan
politik untuk mengocok emosi rakyat. Sebab, rakyat pada umunya tentu akan mengkhawatirkan
terjadinya situasi chaos.
Meskipun posisi
PKK sangat urgen dalam manuver politik Turki sejak 30
tahun terakhir, di sini saya tidak akan memaparkan konflik bersenjata PKK, kelompok
yang dicap sebagai teroris oleh Uni Eropa, Amerika dan Turki sendiri. Meski operasi
militer yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok yang menuntut kemerdekaan suku
Kurdi ini ditengarai sebagai “mainan” pemerintah Turki karena suaranya dari
komunitas Kurdi banyak hilang diserap HDP, perseteruan konflik berdarah selama
30 tahun terakhir mempunyai aspek historis tersendiri yang tak mudah
disimpulkan begitu saja. Sebagai otoritas negara sah demi menjaga stabilitas nasional,
Turki bisa kapan saja melakukan operasi kepada kelompok-kelompok separatis yang
ingin memecah-belah Turki, termasuk PKK.
Lebih lanjut, bom bunuh diri di
Ankara, bagi saya, menjadi titik balik dan sekaligus shock therapy bagi rakyat Turki dalam situasi menunggu kepastian
pemerintahan yang belum terbentuk. Dari banyak opini dan suara-suara lokal
rakyat Turki, situasi pasca-bom di Ankara tidak boleh dibiarkan berlarut dan stabilitas internal negara yang sudah terkelola baik di bawah AKP akhirnya menjadi semacam common sense dan harapan mayoritas.
Karena bagaimana pun juga, ledakan di
ibukota sebuah negara seperti Turki yang dikenal dengan sistem keamanaan tangguh akhirnya memunculkan banyak spekulasi dan kecurigaan. Kelompok anti-pemerintah dengan terang-terangan mengutuk bahwa bom
di Ankara adalah proyek pemerintah dengan memanfaatkan kekerasan struktural
demi meraih kembali tampuk kekuasaan.
Sebaliknya dari
kelompok pro-pemerintah sendiri, opini yang terdedah adalah ledakan tersebut
merupakan provokasi PKK. Apalagi ada kicauan di Twitter yang pada semalam
sebelumnya menuturkan bahwa di Ankara besok akan ada ledakan bom. Usut-punya
usut, akun Twitter tersebut adalah milik salah satu simpatisan HDP.
Sementara
itu, dalam situasi mengambang dengan tensi emosi yang dimainkan oleh aktor-aktor khusus, komunikasi politik yang digagas AKP untuk membentuk interim government (pemerintah sementara) dengan menjembatani semua
wakil dari empat partai besar tidak berhasil. CHP menolak mentah-mentah tawaran
dari penguasa untuk membentuk pemerintahan. Meski sempat ramai dan penuh
intrik, secara resmi MHP menolak.
Namun, ada
salah satu terbaik tokoh dari partai nasionalis bernama Tuğrul Türkeş, yang
kemudian menjadi salah satu penentu hilangnya jutaan suara konstituennya,
menyeberang ke AKP dan menjadi calon anggota DPR dari partai penguasa.
Sebaliknya HDP
menerima tawaran interim government
dengan mengirimkan dua delegasi, Ali Haydar Konca dan Üslüm Doğan. Tapi, di
tengah perjalanan, ketika perseteruan antara pemerintah melawan PKK semakin
terbuka mereka melepas jabatannya pada 22 September kemarin. Akhirnya interim government pun cuma dihuni
oleh partai penguasa plus Türkeş yang memang sudah
siap bersama AKP.
Dalam
situasi seperti di atas, sempurna nian kegamangan dan kecemasan rakyat Turki. Drama
politik internal mereka berhasil mengocok emosi melalui sentimen-sentimen kekerasan.
Di samping itu, ada isu yang tiba-tiba menjadi bola liar di tengah masyarakat bahwa
ada kelompok-kelompok tertentu di Turki (termasuk PKK) yang ingin mengembalikan
Turki ke era 1990, situasi terpuruk secara ekonomi dan politik. Serentak rakyat
Turki di dua benua tersebut meradang, termasuk mereka yang tinggal di luar
negeri.
Karena itu,
tak ada jalan lain bagi rakyat Turki selain mempersiapkan diri untuk kembali dan
melanjutkan arus pembangunan ekonomi dan keamanan yang sudah bagus di bawah kendali AKP.
Rakyat Turki dari daerah Anatolia Tengah, sebuah kelompok masyarakat yang percaya
sebagai representasi asli Turki baik
secara budaya ataupun cara pikir, yang rata-rata hidup sebagai petani dan
pedagang menjadi kunci kemenangan AKP. Meski kelompok masyarakat Anatolia
Tengah ini kerap diledek oleh orang-orang kiri CHP sebagai “kepala tertutup”—karena
jauh dari pantai dan selalu menjadi basis partai Islam—faktanya tidak bisa
dikesampingkan bahwa harapan untuk Turki justru lahir dari kelompok mereka.
Akhirnya,
kemenangan AKP harus diakui lahir dari drama politik yang dimainkan secara
ciamik. Dengan keyakinan dan strategi politik penguasa, suara anjlok pada pemilu
7 Juni silam mampu diputarbalik secara mengejutkan sehingga dalam empat tahun
ke depan AKP akan kembali memimpin Turki.
Ada dua kubu
suara yang secara telanjang diambil AKP. Pertama adalah kelompok Islam
nasionalis, massa yang rata-rata bernaung di bawah MHP. Suara kelompok ini paling
mudah diambil oleh partai-partai Islam setidaknya sejak Necmatin Erbakan
mendirikan partai Islam. Kedua adalah dari suku Kurdi. Dukungan terang-terangan
HDP untuk PKK dan ajakan terbuka PKK kepada mayoritas suku Kurdi agar tidak
memilih AKP justru menjadi keuntungan besar bagi partai penguasa untuk
melanjutkan kekuasaan di Turki. Anjloknya suara 3 persen partai pro-Kurdi ini adalah
bukti bahwa masyarakat Kurdi sendiri menginginkan proses perdamaian yang sudah
dirintis pemerintah Turki.
*versi cetak tulisan ini di Jawa Pos, 3 November 2015
**terima kasih kepada Nabila dan Rasyidi atas kiriman fotonya