Pada 1
November kemarin pemilu ulang di Turki dihelat. Meskipun ada 16 partai politik
yang ikut bertarung demi mengirimkan wakil di parlemen, hanya ada 4 parpol (AKP,
CHP, MHP, HDP) yang mempunyai tempat signifikan di percaturan politik negara
bekas Ottoman ini. Partai-partai sisanya tak lebih hanya sebagai penggembira setidaknya
dalam satu dekade terakhir.
Di antara 4 besar
tersebut, satu parpol baru HDP (Partai Demokrasi Rakyat) yang berdiri sejak
Agustus 2012 boleh dibilang fenomenal. Mereka dapat menembus ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) di
atas 10% pada pemilu nasional pertamanya. Hal tersebut tentu prestasi istimewa
untuk sebuah parpol baru dari kelompok minoritas suku Kurdi.
Menurut
hasil hitung cepat oleh media nasional seperti Anadolu Ajinsi dan Cihan
Ajinsi, pemilu ulang kali ini menunjukkan hasil yang sangat menguntungkan
bagi partai penguasa: AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan) 49%, CHP (Partai
Rakyat Republik) 25%, HDP (Partai Demokrasi Rakyat) 10% dan MHP (Partai Gerakan Nasionalis) 11%. Coba bandingkan dengan hasil pemilu
7 Juni lalu: AKP 40.86%, CHP 24.96%, MHP 16.29% dan dan HDP 13.12%.
Berkaca pada data
di atas, suara dari partai nasionalis anjlok hingga lebih 5 persen dan suara
dari komunitas suku Kurdi hanya berkurang sekitar persen. Sementara itu, partai
warisan Mustafa Kemal Ataturk CHP menunjukkan bahwa mereka mempunyai konstituen
paling loyal dengan hasil yang selalu sama, yaitu di angka 25 persen.
Kecemasan dan Harapan
Sejak hasil pemilu
7 Juni lalu situasi internal Turki penuh drama dan pelan-pelan merangkak ke
arah kekerasan masif, di samping juga konflik laten bersenjata antara pasukan keamanan Turki versus PKK (Partai Pekerja Kurdi) di Turki timur dan tenggara terus berlanjut hingga hari ini. Salah satu kekerasan tak terkendali itu adalah ledakan
bom bunuh diri yang terjadi di Suruc, Sanliurfa pada 20 Juni 2015. Ledakan
pertama setelah pemilu 7 Juni itu memakan korban sekitar 30 orang. Puncaknya
adalah ketika kembali ada ledakan bom bunuh diri di ibukota Ankara (10/10) yang
memakan korban lebih dari 100 orang.
Menurut hasil
investigasi otoritas setempat, pelaku, pola dan motif kedua ledakan di atas mirip-mirip: dilakukan oleh ISIS dan menyasar kepada “kelompok kiri” yang berafiliasi
dengan massa HDP. Bedanya, bom bunuh diri yang pertama meledak di daerah mayoritas
suku Kurdi sendiri di Sanliurfa, di tengah-tengah massa pemuda yang tengah berkumpul menggalang dukungan untuk pengiriman bantuan ke Kobani, daerah perbatasan Suriah-Turki yang pernah
diluluhlantakkan ISIS selama musim panas 2014 dan sekaligus menjadi perhatian
serius suku Kurdi yang merasa sebagai saudara-suku. Sementara ledakan bom di Ankara
terjadi juga di tengah-tengah massa HDP yang ikut meramaikan pertemuan puncak
nasional untuk persiapan dan konsolidasi pemilu ulang.
Kata kunci yang
menarik di sini adalah: ledakan bom di ibukota, pusat pemerintahan dan aktivitas lintas negara diperagakan. Bagi saya, seperti juga dirasakan oleh rakyat Turki sendiri, ledakan tersebut telah menjadi lampu kuning
kecemasan. Semacam ancaman yang mendatangkan kekhawatiran demi kekhawatiran bagi mereka. Kecemasan, sebuah drama paling ampuh yang dimainkan oleh kepentingan
politik untuk mengocok emosi rakyat. Sebab, rakyat pada umunya tentu akan mengkhawatirkan
terjadinya situasi chaos.
Meskipun posisi
PKK sangat urgen dalam manuver politik Turki sejak 30
tahun terakhir, di sini saya tidak akan memaparkan konflik bersenjata PKK, kelompok
yang dicap sebagai teroris oleh Uni Eropa, Amerika dan Turki sendiri. Meski operasi
militer yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok yang menuntut kemerdekaan suku
Kurdi ini ditengarai sebagai “mainan” pemerintah Turki karena suaranya dari
komunitas Kurdi banyak hilang diserap HDP, perseteruan konflik berdarah selama
30 tahun terakhir mempunyai aspek historis tersendiri yang tak mudah
disimpulkan begitu saja. Sebagai otoritas negara sah demi menjaga stabilitas nasional,
Turki bisa kapan saja melakukan operasi kepada kelompok-kelompok separatis yang
ingin memecah-belah Turki, termasuk PKK.
Lebih lanjut, bom bunuh diri di
Ankara, bagi saya, menjadi titik balik dan sekaligus shock therapy bagi rakyat Turki dalam situasi menunggu kepastian
pemerintahan yang belum terbentuk. Dari banyak opini dan suara-suara lokal
rakyat Turki, situasi pasca-bom di Ankara tidak boleh dibiarkan berlarut dan stabilitas internal negara yang sudah terkelola baik di bawah AKP akhirnya menjadi semacam common sense dan harapan mayoritas.
Karena bagaimana pun juga, ledakan di
ibukota sebuah negara seperti Turki yang dikenal dengan sistem keamanaan tangguh akhirnya memunculkan banyak spekulasi dan kecurigaan. Kelompok anti-pemerintah dengan terang-terangan mengutuk bahwa bom
di Ankara adalah proyek pemerintah dengan memanfaatkan kekerasan struktural
demi meraih kembali tampuk kekuasaan.
Sebaliknya dari
kelompok pro-pemerintah sendiri, opini yang terdedah adalah ledakan tersebut
merupakan provokasi PKK. Apalagi ada kicauan di Twitter yang pada semalam
sebelumnya menuturkan bahwa di Ankara besok akan ada ledakan bom. Usut-punya
usut, akun Twitter tersebut adalah milik salah satu simpatisan HDP.
Sementara
itu, dalam situasi mengambang dengan tensi emosi yang dimainkan oleh aktor-aktor khusus, komunikasi politik yang digagas AKP untuk membentuk interim government (pemerintah sementara) dengan menjembatani semua
wakil dari empat partai besar tidak berhasil. CHP menolak mentah-mentah tawaran
dari penguasa untuk membentuk pemerintahan. Meski sempat ramai dan penuh
intrik, secara resmi MHP menolak.
Namun, ada
salah satu terbaik tokoh dari partai nasionalis bernama Tuğrul Türkeş, yang
kemudian menjadi salah satu penentu hilangnya jutaan suara konstituennya,
menyeberang ke AKP dan menjadi calon anggota DPR dari partai penguasa.
Sebaliknya HDP
menerima tawaran interim government
dengan mengirimkan dua delegasi, Ali Haydar Konca dan Üslüm Doğan. Tapi, di
tengah perjalanan, ketika perseteruan antara pemerintah melawan PKK semakin
terbuka mereka melepas jabatannya pada 22 September kemarin. Akhirnya interim government pun cuma dihuni
oleh partai penguasa plus Türkeş yang memang sudah
siap bersama AKP.
Dalam
situasi seperti di atas, sempurna nian kegamangan dan kecemasan rakyat Turki. Drama
politik internal mereka berhasil mengocok emosi melalui sentimen-sentimen kekerasan.
Di samping itu, ada isu yang tiba-tiba menjadi bola liar di tengah masyarakat bahwa
ada kelompok-kelompok tertentu di Turki (termasuk PKK) yang ingin mengembalikan
Turki ke era 1990, situasi terpuruk secara ekonomi dan politik. Serentak rakyat
Turki di dua benua tersebut meradang, termasuk mereka yang tinggal di luar
negeri.
Karena itu,
tak ada jalan lain bagi rakyat Turki selain mempersiapkan diri untuk kembali dan
melanjutkan arus pembangunan ekonomi dan keamanan yang sudah bagus di bawah kendali AKP.
Rakyat Turki dari daerah Anatolia Tengah, sebuah kelompok masyarakat yang percaya
sebagai representasi asli Turki baik
secara budaya ataupun cara pikir, yang rata-rata hidup sebagai petani dan
pedagang menjadi kunci kemenangan AKP. Meski kelompok masyarakat Anatolia
Tengah ini kerap diledek oleh orang-orang kiri CHP sebagai “kepala tertutup”—karena
jauh dari pantai dan selalu menjadi basis partai Islam—faktanya tidak bisa
dikesampingkan bahwa harapan untuk Turki justru lahir dari kelompok mereka.
Akhirnya,
kemenangan AKP harus diakui lahir dari drama politik yang dimainkan secara
ciamik. Dengan keyakinan dan strategi politik penguasa, suara anjlok pada pemilu
7 Juni silam mampu diputarbalik secara mengejutkan sehingga dalam empat tahun
ke depan AKP akan kembali memimpin Turki.
Ada dua kubu
suara yang secara telanjang diambil AKP. Pertama adalah kelompok Islam
nasionalis, massa yang rata-rata bernaung di bawah MHP. Suara kelompok ini paling
mudah diambil oleh partai-partai Islam setidaknya sejak Necmatin Erbakan
mendirikan partai Islam. Kedua adalah dari suku Kurdi. Dukungan terang-terangan
HDP untuk PKK dan ajakan terbuka PKK kepada mayoritas suku Kurdi agar tidak
memilih AKP justru menjadi keuntungan besar bagi partai penguasa untuk
melanjutkan kekuasaan di Turki. Anjloknya suara 3 persen partai pro-Kurdi ini adalah
bukti bahwa masyarakat Kurdi sendiri menginginkan proses perdamaian yang sudah
dirintis pemerintah Turki.
*versi cetak tulisan ini di Jawa Pos, 3 November 2015
**terima kasih kepada Nabila dan Rasyidi atas kiriman fotonya
0 comments:
Post a Comment