(Setelah ada beberapa teman ingin membaca surat mutivasi atau dokumen untuk kegiatan MEP (Muslim Exchange Program) yang saya ikuti tahun 2011 di Australia, saya berpikir file ini perlu diselamatkan sebelum hilang atau tertumpuk lapuk. Jika teman-teman merasa perlu membaca sebagai pengkayaan perspektif, dengan senang hati dipersilahkan. Semoga bermanfaat.)
Sebagai
pertimbangan mengapa saya melamar dan berminat program ini, secara
komprehensif-kronologis, berikut saya ceritakan tentang “kegelisahan dan
pergulatan” intelektual saya sejak pendidikan menengah pertama di pondok
pesantren, perguruan tinggi, hingga aktivitas saat ini yang sedang saya geluti.
Sejak saya belajar di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, saya
mulai bersinggungan dengan beberapa komunitas diskusi tentang isu-isu keagamaan
secara luas. Saya beruntung langsung terlibat dengan banyak organisasi bersama
santri-santri senior yang bisa memberikan inspirasi dan sharing pengalaman yang akhirnya melecutkan kreativitas dan minat
belajar saya.
Semasih
duduk di Pondok Pesantren Annuqayah, periode MTs-MA, saya bisa menyebutkan beberapa
organisasi, lingkaran diskusi, dan media penerbitan yang telah menjadi bagian dari
proses panjang dalam pergulatan intelektual saya, seperti IKSAPATRA sebagai Seksi
Pengembangan Intelektual, Koordinator Diskusi RADIAN ALMERSERY, Forum Malam
Selasa, Koordinator Perkumpulan Santri-Penulis Annuqayah, dan menjadi Pimpinan
Redaksi Mading ARENA, Pimpinan Umum Jurnal PENTAS, dan Staff Redaksi Majalah
PERMAI di salah satu penerbitan LSM ternama di Madura, Jawa Timur, yaitu BIRO
PENGABDIAN MASYARAKAT (BPM) PP. Annuqayah.
Di
BPM-PPA ini, saya mulai bertemu dengan orang-orang dari luar “area” latar
belakang saya. Mereka adalah dari kalangan pemerintahan, jaringan LSM nasional
mauppun internasional, dan tamu-tamu penting yang sedang melakukan penelitian.
Saya beberapa kali diutus mengikuti workshop dan pelatihan tentang isu-isu
sosial dan lingkungan di luar Madura mewakili BPM-PPA. Di BPM pula, saya
menemani dua volunteers dari
Australia (Margaret Rolling dan John Rolling) yang mempunyai program mengajar
Bahasa Inggris di pondok pesantren. Saya kerap bertukar pikiran bersama dua
orang ini, dan mereka pula yang telah melecutkan semangat saya untuk terus
belajar dan belajar.
Selama
proses tersebut, saya beruntung tetap bergelut dengan buku-buku bacaan dan
menulis. Saya menjadi ketua dan pembina Perpustakaan Annuqayah dan Kepala
Bidang Pengembangan Kepustakaan di BPM-PPA. Di bidang penerbitan, saya bersama
teman menginisiasi penerbitan Buletin KEJORA di lingkungan pondok pesantren sebagai
media yang mewadahi kreativitas santri. Kedekatan saya dengan buku dan
kreativitas menulis akhirnya mengantarkan saya kepada banyak kesempatan. Sejak
Madrasah Aliyah (sederajat SMA) saya sudah banyak memenangkan lomba karya tulis
di tingkat kabupaten, dan tulisan-tulisan saya sudah mulai dimuat di media lokal
ataupun nasional.
Tahun
2006 saya datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan S1. Namun sebelum kuliah, saya
harus dihadapkan dengan pembiayaan yang harus saya tanggung sendiri karena
orang tua saya (tinggal Ibu sendiri) sudah tidak sanggup lagi membiayai. Saya harus
bekerja serabutan dulu. Alhamdulilah
saya bertemu dengan sosok kiai muda dan penulis produktif bernama (alm) K.H.A.
Zainal Arifin Thaha. Saya diizinkan oleh beliau agar tinggal di gubuk sederhana
bernama Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari. Di Yogyakarta, saya bisa
lebih bebas lagi berkomunitas baik keseniaan, agama, filsafat, sosial, dsb. Di
sini saya terlibat dengan banyak organisasi dan komunitas: pembina di Ikatan
Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta, koordinator Komunitas KUTUB, Koordinator
Program Sastra di Tetaer ESKA UIN Sunan Kalijaga, salah satu Person in Charge Youth
Program komunitas Peace Generation yang bekerja sama dengan Pusat Studi Keamanan
dan Perdamaian (PSKP) UGM, American Friends Services Committee (AFSC), Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dll. Kebersamaan saya dengan mereka telah
membuka ruang toleransi, multikultural, dan solidaritas sosial antara umat beragama
dengan latar belakang yang beragam. Di sini pula saya bisa ikut terlibat di
berbagai seminar dan konferensi
nasioanal ataupun internasional.
Sejak
di Yogyakarta saya sudah menemukan “mini Indonesia” yang merepresentasikan
multikulturalisme dan pluralisme. Di sini saya bisa membuka pemikiran dan
perspektif saya yang lebih inklusif melalui pertemuan dan terlibat secara
langsung dengan orang-orang dari berbagai latar belakang baik agama, ras,
etnis, dan bangsa. Semangat pluralisme ini telah menjadi landasan saya dalam
praktik keberagamaan lebih lanjut ke depan. Kantong-kantong keberagamaan yang
radikalis, ekstremis, fundemintalis, dan militan coba saya masuki demi membangun
jembatan komunikasi dengan nilai-nilai Islam yang substantif dan holistik,
mencari arah solusi terhadap praktik keberagamaan yang mereka jalani sejauh
ini, untuk kehidupan manusia yang harmonis dan rahmatul lil ‘alamin. Spirit seperti ini telah menjadi bagian
terpenting dalam proses kehidupan saya ke depan dengan komunitas yang saya
gawangi, bersama orang-orang yang saya temui di setiap saat. Semua ini saya
lakukan demi restorasi dan spirit kebangsaan yang secara prinsipil membutuhkan ruang-ruang
diskursus yang beragam dan multikultur.
Keran
pemahaman tentang multikultarilme dan spirit kebangsaan itu saya temukan secara
lebih spesifik ketika bulan Juni-Juli 2010 saya mendapatkan beasiswa dari The Indonesian International Education
Foundation (IIEF) dan US Embassy untuk belajar bahasa dan budaya ke Amerika
Serikat. Saya tinggal di negara bagian South Carolina, belajar di University of
South Carolina, bertemu dan berinteraksi dengan mahasiswa asing,
mempresenitasikan budaya Indonesia. Arti keberagamaan dan kebangsaan saya semakin
menemukan jawabannya secara holistik ketika saya banyak berkomunikasi dan
bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar bangsa di dunia.
Jika
saya terpilih dalam program ini, saya akan memanfaatkan pertemuan saya dengan
berbagai pihak baik personal orang maupun lembaga-lembaga dan organisasi yang
ada di Australia; saya akan sharing lebih dalam tentang pengelolaan organisasi
dan penguatan jaringan dengan lembaga-lembaga luar. Program Pertukaran Tokoh Muslim
Muda Indonesia-Australia 2011 ini tentu akan memberikan ruang yang lebih luas
lagi bagi saya untuk berbagi pemahaman dan praktik-praktik riil di lapangan
dari pengalaman banyak orang maupun organisasi dari perspektif yang lebih luas.
Setelah
terpilih dari program ini, saya akan berbagai pengalaman dengan memberikan
suatu perspektif baru tentang organisasi maupun nilai-nilai pemahaman yang overseas sebagai landasan bagi
pengembangan organisasi saya di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari dan
organisasi lain yang sedang saya geluti. Program ini sangat membantu saya dalam
proses transfer pengalaman dan transformasi pemahaman kepada lembaga dan
komunitas masing-masing yang saya geluti sekarang. Proses interaksi dialogis
yang lebih luas melalui program ini akan memberikan spirit dan nutrisi baru
bagi keberlangsungan organisasi.
Masyarakat
Indonesia yang saya rancang sebagai tujuan komunikasi dan gerakan setelah
program ini adalah para pemuda (youth)
karena mereka inilah yang akan meneruskan dan menentukan masa depan bangsa dan
negara Indonesia. Saya akan mengajak para pemuda untuk berbagi dan sharing
pemahaman tentang keberagamaan masing-masing demi restorasi kebangsaan. Saya
melakukan kunjungan ke organisasi dan lembaga-lembaga pemuda yang ada di
Yogyakarta. Sebagai contoh adalah ketika saya dan komunitas Peace Generation melalui
kegiatan DO.Ci.Reng (Dolanan Cerita Bareng) melakukan assessment terhadap anak-anak korban
erupsi Merapi di Magelang ataupun kegiatan Peace
Camp, semacam program immerse yang mempertemukan mini Indonesia dalam satu
kegiatan. Saya menemukan banyak pelajaran di sini bahwa pemuda harus menjadi elan-vital
yang harus dipupuk kreativitasnya demi masa depan Indonesia.
Jika
saya diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegaitan MEP kali ini, organisasi/personal
yang ingin saya kunjungi:
1. Chaaban
Omar, dari FAMSY Federation of Australian Muslim Student & Youth.
2. Chair
and Administrator of the Australian Federation of Islamic Council
3. Dr
Samina Yasmeen, the University of Western Australia
4. Fadi
Rahman, Muslim Youth Leader, ICRA (Independent Centre of Research Australia)
5. Professor
Abdullah Saeed, Sultan of Oman and Chair of Arab & Islamic Studies and
Director of the Centre for the Study of Contemporary Islam.
6. Ahmed
Youssef, President of the Islamic Centre of Canberra
7. Anna
Halafoff, Inter-religious & Intercultural Relations– Asia Pacific and
Global Terrorism Research Centre at Monash University.
8. Silma
Ihram, Founder & Principal, Noor Al Houda Islamic College.
0 comments:
Post a Comment