Harıan Analisa, Kamis, 19 Mei 2016
Oleh: Anthony Limtan
[Foto Harian Analisa] |
Pekan lalu, media sosial maupun kumunitas
penulis Harian Analisa di facebook ‘ramai’ memperbincangkan seorang
penulis yang berstatus mahasiswa melakukan plagiat dalam beberapa tulisannya,
termasuk di rubrik Opini.
Penulis berinisial HKH, bisa dikatakan
pemula dan rajin mengirimkan berbagai buah pikirannya, soal politik, ekonomi
dan masalah sosial lainnya. Dan namanya juga sering mencuat di berbagai media
terbitan lokal.
Namun, seperti pepatah mengatakan,
sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga. Seperti itulah nasib HKH
yang namanya sempat mencuat di jajaran kaum intelek kampus dalam menyuguhkan
buah pikirannya, kini berakhir dengan sumpah serapah.
Kejadian seperti ini bukan hal baru lagi
yang terjadi di bidang akademis maupun non akademis. Dalam dunia akademis,
penjiplakan karya tulis, seperti makalah dan skripsi sudah jamak dilakukan.
Kurangnya kesadaran etika dalam mengutip suatu pendapat, sebagian atau
seluruhnya menyebabkan terjadinya plagiarisme di kalangan mahasiswa.
Ketika seorang plagiat diklarifikasi redaksi
soal keaslian tulisannya, masih saja bisa berdalih dengan mengatakan bahwa dia
hanya mengutipnya dari tulisan tertentu. Tapi, jelasnya sering terjadi
mengambil hampir seluruh tulisan milik orang lain dan tanpa menyebut sumbernya.
Di Harian Analisa, redaksi mengoleksi
sejumlah nama yang telah dibubuhi tinta hitam. Itu artinya, kejadian ini bukan
hal baru yang muncul ke permukaan. Seperti pernah diberitakan dalam media,
mereka yang pernah melakukan plagiat bukan hanya mahasiswa tapi juga sudah
merambah ke berbagai profesi disiplin ilmu, khususnya dunia akademik, seperti
dosen, dekan, maupun orang yang memiliki gelar terhormat Doktor.
Informasi Teknologi
Pemicunya adalah internet. Perkembangan
informasi teknologi yang progresif semakin memudahkan seseorang untuk melakukan
pembajakan dan tindakan plagiarisme. Hanya dengan melakukan copy paste tulisan
orang lain, ubah judul, ubah sedikit kalimat dalam paragraf, jadilah itu tulisan
miliknya.
Mudah sekali bukan ? Tapi berkat
perkembangan teknologi yang dapat menelusuri originalitas sebuah tulisan, dan
ribuan bahkan jutaan masyarakat pembaca sebagai juri, hal ini seharusnya
membuat para plagiat berpikir ulang melakukan perbuatan tercela itu.
Berbagai masukan disampaikan pembaca ke
redaksi, ada yang mengatakan, Analisa kecolongan sampai membiarkan seorang
plagiat berkarya. Masukan yang lain, mengatakan, sebaiknya tulisan yang akan
dimuat diuji dulu melalui sebuah website yang dapat memeriksa keaslian sebuah
tulisan.
Kami sampaikan terima kasih atas semua
masukan yang diberikan, tujuannya untuk mencegah terjadinya plagiarisme. Namun,
kami sampaikan, bukan kami tidak tegas dalam hal plagiarisme bila tidak
melakukan pengecekan kembali untuk setiap tulisan yang akan dimuat. Terlalu
banyak hal yang lebih penting yang dapat kami kerjakan di meja redaksi daripada
harus mencek satu persatu persatu keaslian sebuah tulisan. Ibarat belanja di
super market, pengelola membiarkan pembeli mengambil sendiri produk yang
diinginkan tanpa harus dikuntit, diawasi agar tidak terjadi pencurian.
Namun bila konsumen kedapatan mencuri, tentu
hukuman moralnya jauh lebih berat daripada sekadar mendapat sanksi fisik.
Demikian juga plagiarisme. Bila selama ini
nama seseorang itu begitu dikagumi karena buah pikiran yang dituangkan dalam
tulisan begitu menarik perhatian. Namun ternyata tulisan itu adalah hasil
plagiat, saya kira hukuman blacklist bagi penulis itu adalah hal biasa. Namun
hal yang mampu meruntuhkan martabat seseorang itu justru hukuman sosial dari
komunitas penulis, pembaca, lingkungan akademik. Kata orang, sanksinya biasalah
itu, tapi malunya ini mau letak dimana?
Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan
Analisa untuk penulis pemula untuk menuangkan buah pikirnya, menjadi kado
intimewa. Manfaatkanlah kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Bukan karena
Harian ini kekurangan narasumber sehingga peluang ini diberikan juga kepada
mahasiswa.Bukan!
Bisa saja Analisa membuat seleksi ketat
seperti koran ternama nasional terbitan Jakarta hanya memberikan kesempatan
pada para pakar berbagai disiplin ilmu, semisal dosen, praktisi hukum, pelaku
bisnis dan berbabai strata profesi. Namun, terus terang, bila kebijakan ini
kami terapkan, penulis pemula atau juga identik dengan mahasiswa akan
kehilangan kesempatan belajar menjadi penulis handal.
Harian Analisa berkomitmen memberikan
kesempatan itu bagi pemula tanpa mengedepankan status sosial yang dimiliki.
Siapapun boleh berpendapat selagi apa yang dituliskan itu bermanfaat bagi
banyak orang. Tentu redaksi memiliki kriteria tulisan yang diinginkan, semisal
yang lagi hangat dibicarakan (up date).
Namun terlepas dari semua itu, hal yang paling
penting adalah kejujuran diri seorang penulis. Kejujuran merupakan dasar untuk
menegakkan kebenaran, termasuk menegakkan dan membangun kebenaran ilmiah.
Suatu kejujuran yang hakiki hanya diketahui
secara pasti oleh dirinya sendiri, sedangkan orang lain hanya bisa mengetahui
ekpresi dari kejujuran itu. Saya yakin, di antara kita pasti ada yang pernah
melalukan plagiat, tapi karena takut akan Tuhan, masyarakat pembaca, hati
nurani, maka perbuatan tercela itu tidak berlanjut.
Redaksi Analisa memberikan sanksi atas
perbuatan plagiarisme, berupa mem-blacklist nama tersebut. Oleh karenanya, para
penulis mari berani jujur pada diri sendiri. Jika karya Anda yang selama ini
dikagumi pembaca namun pada akhirnya terkuak bahwasanya semua itu adalah palsu,
tentu kekaguman itu akhirnya berbuah sumpah serapah.
Jika demikian, masihkah Anda mau melakukan
plagiarisme?***
0 comments:
Post a Comment