Petang hari, kami bertiga biasa bermain dan bercengkrama. Sejak awal, saya dan istri memang sengaja memperhatikan dan menandai perubahan-perubahan Ef setelah tahu bahwa adiknya akan segera lahir. Kami menceritakan berulang-ulang tentang adiknya yang sedang dikandung di perut ibunya. Kami mengajak Ef untuk menyapa adiknya, atau membacakan salawat dan sebagainya. Satu di antara respon Ef adalah menolak dengan alasan adik sedang tidur di perut ibu dan tidak boleh diganggu.
Di awal-awal usia kandungan masih sekitar lima bulan,
kondisi kehamilan istri belum terlihat, Ef menunjukkan ketidaksukaanya ketika
ibunya bercerita ada adik di dalam perut. Masa-masa ini, di usia Ef yang menjelang 30 bulan, dia cenderung agresif seperti memukul dan menerjang perut ibunya. Ketidaksukaannya mulai terlihat sejak itu.
Respon lain yang paling kentara adalah sikap manja Ef yang
tidak ketulungan. Apa-apa memaksa ibunya yang mengerjakan: menemani ke toilet,
membikinkan susu dan sebagainya. Bagian ini, saya nyaris tidak bisa masuk dan
bernegosiasi, meski kadang bisa menggantikan peran ibunya agar saya bisa
menangani dan menemani Ef. Tapi itu porsinya sedikit. Saya minta istri harus lebih sabar menghadapi pengalaman unik begini.
Petang itu, ada satu kalimat yang membuat saya
terperangah, diucapkan di sela-sela kami bermain. “Bah, ibu buang aja ya ke belakang!”
Saya terhenyak, diam dan berpikir keras. Apa gerangan makna di balik kalimat
itu? Saya memeluk Ef lebih erat dan mengobrolkan kenapa ibu mau diubang? Bukannya
Ef sayang sama ibu, seperti sayang Babah kepada ibu dan Ef? Jawabnya masih
ketus, “Ya, buang aja!
Dalam situasi demikian, saya memainkan kode mata
dengan istri. Saya merasakan betul secara alamiah bagaimana anak pertama begitu susah menerima calon adiknya. Karena secara pengalaman banyak orang, ini momen di mana seorang kakak harus menghadapi kenyataan kasih sayang yang akan terbagi—tidak
lagi bercurah kepada anak pertama, Eftalya Ruhum. Tetapi berkali-kali pula saya membisikkan kata
sayang, cinta dan bahagia bersama-sama untuk mensugesti bahwa kami tetap seperti sedia kala.
Tetapi saya sangat senang Ef melontarkan ekspresi
demikian. Saya menjadi tahu bagaimana rasa dan perasaan dia dalam situasi seperti
ini. Dengan begitu kami harus lebih sadar dan awas menjelang kehadiran anak
kedua kami, yang insya Allah laki-laki.
Doakan kami, handai tola dan seluruh semesta, atas keselamatan
proses bersalin istri kami Desember nanti!
Tobratan, 08/11/2021: 12:34
0 comments:
Post a Comment