Di tengah proses mencermati dan belajar tentang perkembangan manusia dengan segala kompleksitasnya, saya semakin menyaari ada ruang diskursif yang benar-benar sudah sekarat di tengah masyarakat kita. Ruang yang sama maksud ini adalah suatu arena di mana gagasan, ide, wacana dan pengetahuan bisa dinegosiasikan, diperdebatkan dan sekaligus dihargai sebagai gagasan dari seorang manusia! Bagi saya ini esensial. Karena di "ruangan" ini manusia harus membuka topeng, menaruh semua status, dan mengesampingkan semua hierarki, sehingga yang muncul dan bertarung adalah ide dan diskusi. Orang tidak boleh lagi mundur dan bersembunyi di balik statemen dan sikap yang ditunjukkan, karena di saat bersamaan argumentasi sebagai basis penting bagi reasoning harus dikedepankan.
![]() |
[Gambar hanya pemanis. Saya comot dari media sosial yang liar] |
Di mana ruangan dan arena yang bisa menjadi alternatif? Saya terus coba mencarinya, hingga akhirnya saya menemukan di mana saya bisa melakukannya secara langsung, yaitu ruang kelas di sebuah universitas!
Jika sebagian pembaca menakar ada ambisi yang berlebihan dari statemen ini, jawaban saya terletak pada abtraksi begini: Saya mendapati suatu kecenderungan semakin masifnya "polisi moral", "tekanan moral", "standar aturan", "hierarki standar dan selera," dan sebagai dalam kehidupan sosial kita. Dalam konteks bernegara, kita sedang mengalami pendisiplinan pikiran dan daya pikir sekaligus: Orang-orang mau demo harus sopan, mau mengkritik harus dengan solusi, dan sebagainya. Semua itu diproduksi oleh apara negara, oleh mereka yang berkuasa, mereka yang punya power dan bahkan status qou dan sifatnya masif-sistematis. Akhirnya menjadi tekanan besar yang sedemikian rupa.
Pembungkaman terhadap diskursus begini sangat berbahaya. Karena logika dan rasionalitas bisa payah dalam situasi demikian.
Tapi naifnya, beberapa pengalaman dan praktik media sosial--hanya karena bisa anonim, menjadi influencer, dan sebagainya--menjadikan media sosial sebagai kendaraan yang sporadik dan chaos. Orang bisa bertindak apa saja, dengan tanpa kesadaran logis! Kemudian minta maaf sedekian rupa setelah mendapat tekanan dan teguran. Ini juga berbahaya. Kita jadi barbar. Tidak punya landasar logika dan kesadaran. Musian bisa punah kalau begini terus-menerus.
Untuk itu, mulai semester ini, secara tegas saya sampaikan ke teman-teman mahasiswa di depan kelas secara radikal: (1) kalian bebas bisa kuliah atau tidak, karena presensi tidak saya hitung. Saya hanya ingin belajar bersama dengan orang-orang yang ingin belajar dan berpikir; (2) kalian tidak perlu menghormati saya hanya karena saya dosen Anda. Tunjukkan stance, sikap, attitude, dan moral yang Anda pegang dan Anda yakini. Bahwa saya menghormati orang lain adalah sikap dan moral saya. Tapi, kalian harus punya reasoning, mampu memberikan rasionalisasi terhadap apa yang Anda tunjukkan dalam praktik hidup Anda (saya pastikan bahwa saya akan membuka diskusinya di kelas soal ini). Saya bisa di-WA kapan saya Anda mau, pakai salam, selamat hormat dll,, saya tidak butuh dan tidak memperhatikan itu.
Belum selesai menyampaikan itu, seorang mahasiswa yang duduk palin depan di kelas tiba-tiba berdiri dan mengambil HP yang berdering dan sedang dicas, lalu mengobrol dengan suara orang di ujung jaringan sana. Tanpa pamit dan izin kepada saya sebagai dosen yang berdiri tepat hanya sekitar satu meter! Saya terdiam dan tersenyum senang. Karena saya mendapati contoh yang bagus terhadap apa yang saya sampaikan (tapi orang ini adalah sosok yang menarik dan kompleks, di pertemuan kedua semakin saya mendapatkan konfirmasinya). Setelah selesai teleponan, saya minta segera duduk.
Saya secara verbatim tidak ingat pasti obrolan dengan sosok mahasiswa yang satu ini. Tapi kira-kira begini....
"Mas, terima kasih kamu sudah menawarkan suatu praktik dan contoh menarik."
Dia diam dengan tatapan yang kosong.
"Saya mau bertanya, apakah kamu sudah biasa melakukan hal begini. Di depan guru kamu biasa tidak memperhatikan atau bicara sendiri; di depan keluargamu yang sedang mengobrol suatu hal serius tapi kamu main HP atau ngerjain yang lain? Apakah begitu itu sudah menjadi kehidupanmu?"
Dia masih diam. Saya khawatir dia belum paham. Untuk itu, saya tegaskan lagi.
"Mas, kamu tidak salah melakukan itu. Saya tidak punya hak menyalahkan kamu. Santai ya. Saya dan mungkin teman-teman yang lain ingin mendengarkan kenapa kamu melakukan itu? Apakah sudah kebiasaan begitu atau gimana?"
Dia akhirnya membuka suara, "Maaf, Pak, saya salah."
Saya langsung bilang ke depan kelas secara umum. "Bukan itu jawaban yang saya harapkan. Yang saya harapkan adalah kalian dengan kokoh bisa memberikan alasan, berargumentasi dan mempertahankan sikap yang kalian ambil dan lakukan, jika itu adalah ekspresi dan praktik yang berdasarkan pada kesadaranmu, atau dari basis habitus yang kalian lakukan. Saya dengan senang hati akan mendengarnya, standar mana dan ukuran apa yang kalian gunakan."
Mungkin karena ini kelas angkatan 2025, mahasiswa semester satu, diskusinya masih sepi. Tapi saya, karena memilih ingin membangun ruang diskursif, ingin terus menstimulasi bagaimana mereka mendapatkan pengetahun, seperti apa caranya, dan bagaimana aplikasinya.
Terima kasih, mahasiswaku semua. Saya belajar kepada kalian! Di kelas saya kita bangun diskursif karena di luar sana kalian sudah dijinakkan oleh sedemikian rupa sistem, struktur dan institusi.
0 comments:
Post a Comment