This book review was published at Kompas newspaper on April 22, 2007.
Hadiah Nobel Sastra tahun 2006, yang dianugerahkan kepada
Ferit Orhan Pamuk, penulis kelahiran Istanbul, Turki, 7 Juni 1952, menemukan
posisi yang unik dan potensial untuk ditelisik.
Seperti diakui banyak pengamat sastra dunia sekaligus panitia penganugerahan Nobel Sastra Norwegia, bahwa yang menjadi latar belakang Pamuk menerima hadiah paling bergengsi di dunia kesusastraan dunia itu adalah karena keberaniannya melebur nilai-nilai dan karakteristik Barat dan Timur dan disajikan secara memukau lewat novel-novelnya.
Seperti diakui banyak pengamat sastra dunia sekaligus panitia penganugerahan Nobel Sastra Norwegia, bahwa yang menjadi latar belakang Pamuk menerima hadiah paling bergengsi di dunia kesusastraan dunia itu adalah karena keberaniannya melebur nilai-nilai dan karakteristik Barat dan Timur dan disajikan secara memukau lewat novel-novelnya.
Perang yang belakangan terus berkecamuk antara Barat (baca: Eropa/Kristen) dan Timur (Arab-Islam) mempunyai misteri yang tak kunjung selesai dikuak. Dunia Barat dan Timur terus meruncingkan senjata dan kekuatan tersembunyi yang sama- sama tak mau dikendalikan dan diatur oleh siapa pun. Hal ini terbukti dengan fenomena senjata nuklir Iran (wakil dari Timur) yang terus dicap sebagai pengembang bahan aktif bom nuklir. Juga pihak (negara) Barat yang mengembangkan senjata nuklir baik secara sembunyi- sembunyi atau yang transparan, seperti Amerika.
Berbagai antitesis yang menentang clash of civilization-nya Samuel Huntington sebagai cikal bakal kekeruhan pemahaman tentang Barat dan Timur yang dikotomis mulai muncul, tetapi semuanya masih dalam diskursus dan wacana yang minor. Secara transparan, tidak ada satu pihak pun yang menentang kedua magnet dan merentang jembatan dialogis antarkeduanya demi mencapai kedamaian dunia yang dicita-citakan.
Novel Benim Adım Kırmızı (My Name is Red) karya Orhan Pamuk menawarkan sebuah pendekatan dan (kalau boleh dibilang) terobosan lewat dunia kesenian sastra yang mencerahkan semua segmen peradaban (Barat dan Timur). Pamuk mencoba menawarkan sebatang lilin untuk menyinari kerunyaman Barat dan Timur dalam jalinan cerita yang apik dan memukau dalam novel ini. Dalam novel yang membawa diri Pamuk memenangi anugerah Hadiah Nobel Sastra 2006, menyusul Nagiub Mahfouz sebagai penerima penghargaan sastra paling bergengsi dari bangsa Arab, mencoba bagaimana benang yang sudah kusut itu bisa dipertalikan menjadi jembatan dialogis antarperadaban. Karena bagi Pamuk, karya seni yang baik merupakan kesatuan visi yang melebur dengan segala jenis budaya bangsa mana pun—tak terikat satu lokalitas yang ekstrem.
Sebagai keturunan orang Timur, hadirnya Pamuk ke pentas khazanah kesusastraan internasional mempunyai warna yang mengubah pandangan dunia secara signifikan. Apalagi novel My Name is Red ini mempunyai terobosan yang tak terpikirkan sebelumnya oleh siapa pun, khususnya sastrawan bangsa Timur sendiri.
Di tengah ketegangan dan kemarahan bangsa Timur karena merasa dilecehkan oleh Barat, Pamuk muncul bagai sosok "nabi" yang mau meleburkan dua kutub itu menjadi satu yang saling bergandengan tangan. Uniknya, media yang mencoba mendialogkan itu adalah media kesastraan. Inilah sisi prestisius Pamuk dalam berkiprah dengan multidimensional peradaban Barat dan Timur.
Seni sebagai jembatan
Bagi Pamuk, seni adalah jembatan yang mencoba mencari formulasi terbaik untuk menyambungkan peradaban dunia sebagai kekayaan dan khazanah kebudayaan universal. Sajian Pamuk dalam novel My Name is Red menunjukkan konsistensi itu. Meskipun novel ini tidak menohok kepada benturan peradaban Barat dan Timur seperti halnya terangkum dalam novel terbaru Pamuk, Kar (Salju, 2002—dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Snow), tetapi novel ini pada akhirnya akan bermuara pada keriskanan dua kutub itu.
Di akhir novel ini Pamuk berteriak dengan puisi yang dilagukan: "hatiku yang bimbang mendamba Barat ketika aku berada di Timur dan mendamba Timur ketika aku di Barat…aku hanya ingin menghibur diri sendiri dari depan sampai belakang, untuk menjadi Timur sekaligus Barat" (hal 620).
Berkesenian gaya Pamuk mencoba membangun jembatan untuk mempertemukan Barat dan Timur sekaligus kebudayaan dan peradabannya masing-masing. Tesis yang diusung Pamuk tentu kontra dengan pernyataan penyair Inggris, Rudyard Kipling, yang menulis bahwa "East is east and west is west and never the twain shall meet" (timur adalah timur dan barat adalah barat, keduanya tidak akan pernah bertemu).
Dalam wawancara tentang novel yang ditulisnya selama enam tahun ini, Pamuk menegaskan pandangannya tentang betapa perbedaan hendaknya tidak dijadikan alasan untuk bertikai dan saling membunuh, "dalam novel saya, mereka bahkan saling membunuh karena pertentangan Barat dan Timur ini. Namun, tentu saja, saya berharap pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya pada konflik ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan beragam hal yang berasal dari aneka akar budaya."
Cerita indah dan menarik ini bermula di Istanbul—simbol kejayaan khalifah Islam yang terakhir—di ujung abad XVI. Saat itu ada sebuah "proyek" tertutup dan tak biasa yang ditugaskan sang Sultan untuk merekam dan merayakan kejayaannya, dihiasi dengan ilustrasi para seniman, yaitu Tuan Osman, sebagai miniaturis terkemuka saat itu dengan kelompok kerja bengkel seni lukisnya yang terdiri dari beberapa orang.
Dalam proses penyusunan buku itu ada sebuah tragedi pembunuhan misterius yang terjadi pada salah satu miniaturis. Berbagai jalinan cerita berkelindan dalam mencari dan mengungkap misteri pembunuhan tersebut. Karakter tokoh yang unik dan tak biasa yang dihadirkan Pamuk bergantian dengan tidak jelas. Tidak boleh tidak misteri pembunuhan itu pun menjadi makin hitam dan tak terjejak.
Ada salah seorang pelukis ditugasi sang Sultan untuk mengusut misteri pembunuhan itu. Lelaki dengan wajah muram dengan identitasnya yang tak jelas pula menambah kerunyaman misteri itu. Akhirnya tidak ada orang yang bisa mengungkap misteri itu. Meskipun ada seorang—sebagai si "aku" dalam bab 58 (hal 669)—yang mengaku sebagai pembunuhnya, tapi si "aku" yang muncul di situ terus bertalian satu sama lain, antara Hitam, Osman, atau bahkan tokoh berkarakter Bangau, Merah, dan Kupu-kupu.
Melacak tokoh dan karakter yang diramu Pamuk tidak mudah dan bahkan seperti komentar Goenawan Mohamad tentang novel ini, memang tidak harus seratus persen dimengerti. Semua tokoh dalam novel ini menjadi "aku-aku" yang banyak dan bergantian menceritakannya kepada pembaca. Kekuatan meramu teknik dan imaji yang tidak biasa ini membuat Pamuk menjadi unggul dan muncul sebagai pencerita ulung yang menjadi sumbangan bagi khazanah kesusastraan dunia.
Kemasan cerita cinta dan pembunuhan dengan bumbu misteri yang diramu Pamuk dengan meyakinkan dalam novel ini menjadi sangat perlu dinikmati oleh siapa pun sebagai pengayaan khazanah sastra Nobel dunia sekaligus khazanah sastra Arab-Islam modern.
Nilai religiositas
Dibandingkan dengan penulis Muslim-Arab modern lainnya, Pamuk termasuk sosok novelis yang mengeksplorasi di ranah keagamaannya sangat kuat. Nilai- nilai keislaman universal yang terkandung dalam Al Quran tentang semesta yang lebur tanpa ada sekat Barat dan Timur digali dan dihadirkan secara khusus oleh Pamuk.
"Timur dan Barat adalah kepunyaan Allah" adalah ungkapan Pamuk yang mencerminkan sebuah ayat Al Quran tentang kepemilikan langit dan bumi hanya milik Tuhan yang Mahasatu. Tidak ada orang yang jadi penguasa di Barat ataupun di Timur.
Pemakaian simbol huruf hijaiah, seperti alif, ba, dan ta, yang menjadi bagian jalinan penyambung cerita Pamuk dalam novel ini mengingatkan kita betapa penting melihat simbol-simbol kecil religius yang jarang disadari oleh penganutnya sendiri. Pamuk mencoba menerobos hal sepele semacam itu menjadi suatu yang unik dan luar biasa. Di sisi itulah yang membuat Pamuk hadir dengan sosoknya yang dingin dan novelnya sangat penting untuk dinikmati siapa pun.
0 comments:
Post a Comment