Digunting dari sini
“SEORANG filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib
terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan
tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda,” tulis Shoe Hok Gie
dalam Catatan Seorang Demonstran. Ungkapan Gie ini kiranya tepat
untuk mengenangkan Gus Zainal Arifin Thoha yang meninggal di usia yang relatif
muda, 35 tahun.
Tanpa isyarat apapun, Gus Zainal
pamit kepada semua yang mencintainya dan segala yang dicintainya selepas salat
Isya berjamaah pada Rabu (14/3) lalu. Gema zikir yang meraung dari aula
pesantren Hasyim Asy’ari bersama puluhan santri seolah-olah ritual penyambutan
Izrail yang datang untuk segera mengajaknya mikraj seraya membisikinya,
“Kekasihmu yang sejati telah menanti di alam keabadian.”
Gus Zainal
pun berangkat dengan sangat damai. Saya yang dipercaya ikut memandikannya
merasa seakan-akan Gus Zainal tidak ke mana-mana. Dalam lubuk hati yang paling
dalam, saya yakin ia masih di sini. Ia seperti tidur saja melepas penat.
Wajahnya sangat teduh. Seutas senyum menggantung di bibirnya. Aura kewibawaan
terus melekat. Tubuhnya tak kunjung dingin, tetapi masih hangat.
Selama
hidupnya, Gus Zainal telah menorehkan prestasi luar biasa, terutama dalam ranah
kepenulisan dan melahirkan para penulis muda berbakat. Muhammadun AS, Ahmad
Mukhlish Amrin, Salman Rusydie Anwar, Gugun el-Guyanie, M. Yunus BS, A.
Yusrianto Elga, Bernando J. Sujibto, adalah sedikit tamsilnya. Mereka dengan
penuh kesabaran dibimbing Gus Zainal dalam Pesantren Hasyim Asy’ari. “Kalau kau
bukan anak raja, kalau kau bukan anak pejabat, maka jadilah penulis,” demikian
pesan Gus Zainal dengan mengutip al-Gazali yang terus terngiang.
Obsesi Gus
Zainal memang ingin mengangkat kembali dunia kepenulisan di pesantren.
Pesantren Hasyim Asy’ari sendiri yang dirintisnya bersama D. Zawawi Imron
adalah proyek akbar untuk merealisasikan obsesi itu—sebagaimana dikisahkan
Zawawi di Kediri setelah prosesi pemakaman Gus Zainal. Maka tak heran bila Gus
Zainal memberi apresiasi yang istimewa kepada para santrinya yang berhasil
menembus media massa, baik berupa opini, puisi, esai sastra, cerpen, dan
resensi buku.
Karena
itulah, iklim kompetisi kepenulisan tumbuh sangat dinamis. Apalagi Gus Zainal
pun mengikhlaskan segudang bukunya “diacak-acak” para santri untuk menggali ide
dan inspirasi sewaktu menulis. Bahkan Gus Zainal juga menyediakan fasilitas
komputer untuk kepentingan itu. Hasilnya sungguh mengagumkan. Hampir setiap
minggu tulisan mereka muncul di berbagai media massa di seluruh Indonesia.
Obsesi Gus
Zainal diwujudkan juga dalam kegiatan kampanye kepenulisan ke berbagai
pesantren. Ketika mendampinginya touring ke berbagai pesantren yang tersebar di
sejumlah kota di Jawa Timur bersama Ahmad Tohari, Cak Munif, dan Evi Idawati,
saya tahu persis betapa berapi-apinya semangat Gus Zainal membakarghirrah para santri untuk menekuni lagi
tradisi menulis yang mulai diabaikan. Dengan kesadaran penuh, Gus Zainal
merekam seluruh proses kreatif kepenulisannya dalam buku Aku
Menulis Maka Aku Ada.
Bisa
dikata, buku itu adalah manifesto Gus Zainal untuk menggelorakan potensi
menulis. Di sana Gus Zainal memaparkan dengan sangat gamblang kenapa ia harus
menulis. Bagi Gus Zainal, tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu
bersama derai angin (scripta
manent verba volant). Tapi yang paling inti, semua yang dilakukan
Gus Zainal adalah untuk mengangkat citra pesantren. Hal ini dipertegas saat ia
menghadiahi saya buku Runtuhnya Singgasana Kiai dengan menorehkan pesan: “Ful,
mari kita angkat dunia pesantren!”.
Keberhasilan
Gus Zainal dalam menuntaskan obsesi itu memang tidak terlepas dari
eksistensinya sendiri sebagai seorang penulis yang sangat produktif. Tak kurang
dari 50-an buku telah dipublikasikan. Belum lagi tulisan-tulisan, baik
berbentuk opini, cerpen, dan puisi yang tercecer di berbagai media massa tak
terhitung lagi berapa jumlahnya. Pikiran-pikirannya yang nakal namun arif
bijaksana kerapkali menyurukkan pembacanya untuk berinstrospeksi sekaligus
merefleksikan diri sendiri di tengah carut marut kehidupan.
Hal serupa
juga terasa ketika membaca cerpen-cerpennya, seperti Kanjeng
Sunan, Kiai Anom, Kiai Wangi, Mbah Imam, Mbah Bilal, Mbah Kiai Fa’ala, Mbah Wo
Ethek, Mbah Wo Juki, Piaraan Kiai Hamid, dan Pertemuan
Mistis. Dalam menulis cerpen, Gus Zainal tidak sekadar bermain-main
dengan imajinasi. Ide cerpennya diangkat dari kisah-kisah nyata yang dialami
sendiri. Bahkan ia menuturkan sendiri kepada saya, acapkali ia harus
mengendapkan suatu ide sebab mesti menunggu teka-teki pengalamannya akan
terjawab kelak. Setelah itu, baru mengabadikan dalam sebuah cerpen. Karenanya
proses permenungan yang dibutuhkan sangat panjang. Sebab ia berharap pembaca
cerpen nanti bisa berjamaah bersamanya dalam proses pencarian hakikat makna
kehidupan yang agung.
Proses
permenungan inilah yang diajarkan Gus Zainal. Bukan saja kepada seluruh santri
tetapi juga kepada para jamaah dan setiap orang yang datang bersilaturrahmi
kepadanya. Sikap bersahaja dan senantiasa membuka diri terhadap pergaulan dari
pelbagai lapisan masyarakat telah menjadikan Gus Zainal termasuk sedikit figur
yang layak dicintai dari beragam perspektif. Gus Zainal tak enggan berbagi,
meski untuk hal sepele seperti segelas kopi dan sebatang rokok yang diminum dan
dihisap bergantian.
Gus Zainal
telah mewariskan jejak kearifan dan keteladanan yang mulia. Tradisi menulis
harus terus dipancangkan dan kesediaan untuk berbagi mesti dikencangkan. Itulah
secuil wasiat yang belum sempat dikatakan, namun bisa diterjemahkan dari
seluruh pengabdian selama hidupnya.
Pergilah
dengan tenang. Para santrimu ini akan berada di barisan terdepan melanjutkan
perjuanganmu: ya ayyatuhan nafsul muthmainnah. Irji’i
ila rabbiki radliatan mardliyah.Fadkhuli fi ibadi. Wadkhuli jannati.
Selamat
jalan, Gus Zainal!
*)
Penulis adalah Saiful Amin Ghofur, Guszainalian, tinggal di Krapyak, Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment