Tuesday, May 08, 2007

Mengenang Gus Zainal Arifin Thoha

Digunting dari sini 


“SEORANG filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda,” tulis Shoe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran. Ungkapan Gie ini kiranya tepat untuk mengenangkan Gus Zainal Arifin Thoha yang meninggal di usia yang relatif muda, 35 tahun.

Tanpa isyarat apapun, Gus Zainal pamit kepada semua yang mencintainya dan segala yang dicintainya selepas salat Isya berjamaah pada Rabu (14/3) lalu. Gema zikir yang meraung dari aula pesantren Hasyim Asy’ari bersama puluhan santri seolah-olah ritual penyambutan Izrail yang datang untuk segera mengajaknya mikraj seraya membisikinya, “Kekasihmu yang sejati telah menanti di alam keabadian.”

Gus Zainal pun berangkat dengan sangat damai. Saya yang dipercaya ikut memandikannya merasa seakan-akan Gus Zainal tidak ke mana-mana. Dalam lubuk hati yang paling dalam, saya yakin ia masih di sini. Ia seperti tidur saja melepas penat. Wajahnya sangat teduh. Seutas senyum menggantung di bibirnya. Aura kewibawaan terus melekat. Tubuhnya tak kunjung dingin, tetapi masih hangat.

Selama hidupnya, Gus Zainal telah menorehkan prestasi luar biasa, terutama dalam ranah kepenulisan dan melahirkan para penulis muda berbakat. Muhammadun AS, Ahmad Mukhlish Amrin, Salman Rusydie Anwar, Gugun el-Guyanie, M. Yunus BS, A. Yusrianto Elga, Bernando J. Sujibto, adalah sedikit tamsilnya. Mereka dengan penuh kesabaran dibimbing Gus Zainal dalam Pesantren Hasyim Asy’ari. “Kalau kau bukan anak raja, kalau kau bukan anak pejabat, maka jadilah penulis,” demikian pesan Gus Zainal dengan mengutip al-Gazali yang terus terngiang.

Obsesi Gus Zainal memang ingin mengangkat kembali dunia kepenulisan di pesantren. Pesantren Hasyim Asy’ari sendiri yang dirintisnya bersama D. Zawawi Imron adalah proyek akbar untuk merealisasikan obsesi itu—sebagaimana dikisahkan Zawawi di Kediri setelah prosesi pemakaman Gus Zainal. Maka tak heran bila Gus Zainal memberi apresiasi yang istimewa kepada para santrinya yang berhasil menembus media massa, baik berupa opini, puisi, esai sastra, cerpen, dan resensi buku.

Karena itulah, iklim kompetisi kepenulisan tumbuh sangat dinamis. Apalagi Gus Zainal pun mengikhlaskan segudang bukunya “diacak-acak” para santri untuk menggali ide dan inspirasi sewaktu menulis. Bahkan Gus Zainal juga menyediakan fasilitas komputer untuk kepentingan itu. Hasilnya sungguh mengagumkan. Hampir setiap minggu tulisan mereka muncul di berbagai media massa di seluruh Indonesia.

Obsesi Gus Zainal diwujudkan juga dalam kegiatan kampanye kepenulisan ke berbagai pesantren. Ketika mendampinginya touring ke berbagai pesantren yang tersebar di sejumlah kota di Jawa Timur bersama Ahmad Tohari, Cak Munif, dan Evi Idawati, saya tahu persis betapa berapi-apinya semangat Gus Zainal membakarghirrah para santri untuk menekuni lagi tradisi menulis yang mulai diabaikan. Dengan kesadaran penuh, Gus Zainal merekam seluruh proses kreatif kepenulisannya dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada.

Bisa dikata, buku itu adalah manifesto Gus Zainal untuk menggelorakan potensi menulis. Di sana Gus Zainal memaparkan dengan sangat gamblang kenapa ia harus menulis. Bagi Gus Zainal, tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu bersama derai angin (scripta manent verba volant). Tapi yang paling inti, semua yang dilakukan Gus Zainal adalah untuk mengangkat citra pesantren. Hal ini dipertegas saat ia menghadiahi saya buku Runtuhnya Singgasana Kiai dengan menorehkan pesan: “Ful, mari kita angkat dunia pesantren!”.

Keberhasilan Gus Zainal dalam menuntaskan obsesi itu memang tidak terlepas dari eksistensinya sendiri sebagai seorang penulis yang sangat produktif. Tak kurang dari 50-an buku telah dipublikasikan. Belum lagi tulisan-tulisan, baik berbentuk opini, cerpen, dan puisi yang tercecer di berbagai media massa tak terhitung lagi berapa jumlahnya. Pikiran-pikirannya yang nakal namun arif bijaksana kerapkali menyurukkan pembacanya untuk berinstrospeksi sekaligus merefleksikan diri sendiri di tengah carut marut kehidupan.

Hal serupa juga terasa ketika membaca cerpen-cerpennya, seperti Kanjeng Sunan, Kiai Anom, Kiai Wangi, Mbah Imam, Mbah Bilal, Mbah Kiai Fa’ala, Mbah Wo Ethek, Mbah Wo Juki, Piaraan Kiai Hamid, dan Pertemuan Mistis. Dalam menulis cerpen, Gus Zainal tidak sekadar bermain-main dengan imajinasi. Ide cerpennya diangkat dari kisah-kisah nyata yang dialami sendiri. Bahkan ia menuturkan sendiri kepada saya, acapkali ia harus mengendapkan suatu ide sebab mesti menunggu teka-teki pengalamannya akan terjawab kelak. Setelah itu, baru mengabadikan dalam sebuah cerpen. Karenanya proses permenungan yang dibutuhkan sangat panjang. Sebab ia berharap pembaca cerpen nanti bisa berjamaah bersamanya dalam proses pencarian hakikat makna kehidupan yang agung.

Proses permenungan inilah yang diajarkan Gus Zainal. Bukan saja kepada seluruh santri tetapi juga kepada para jamaah dan setiap orang yang datang bersilaturrahmi kepadanya. Sikap bersahaja dan senantiasa membuka diri terhadap pergaulan dari pelbagai lapisan masyarakat telah menjadikan Gus Zainal termasuk sedikit figur yang layak dicintai dari beragam perspektif. Gus Zainal tak enggan berbagi, meski untuk hal sepele seperti segelas kopi dan sebatang rokok yang diminum dan dihisap bergantian.

Gus Zainal telah mewariskan jejak kearifan dan keteladanan yang mulia. Tradisi menulis harus terus dipancangkan dan kesediaan untuk berbagi mesti dikencangkan. Itulah secuil wasiat yang belum sempat dikatakan, namun bisa diterjemahkan dari seluruh pengabdian selama hidupnya.

Pergilah dengan tenang. Para santrimu ini akan berada di barisan terdepan melanjutkan perjuanganmu: ya ayyatuhan nafsul muthmainnah. Irji’i ila rabbiki radliatan mardliyah.Fadkhuli fi ibadi. Wadkhuli jannati.

Selamat jalan, Gus Zainal!

 *) Penulis adalah Saiful Amin Ghofur, Guszainalian, tinggal di Krapyak, Yogyakarta.

0 comments: