from Suara Karya |
S Yoga mensinyalir
stimulus tidak langsung dari tradisi intelektual mengkaji kandungan Qur'an di
satu sisi, dan kebiasaan tilawatil Qur"an yang mirip seni baca puisi dan
kebiasaan barzanji di pesantren pada kelahiran penyair - yang dianggapnya sejajar
dengan tradisi macapat pada masyarakat pedesaan lainnnya. Secara spesipik S
Yoga menyinggung eksistensi dan sumbangsih dari Ponpes Al Amin di Prenduan dan
Annuqayah di Guluk-Guluk. Tetapi siapa penyair Madura yang di-bangkitkan oleh
tradisi sastra klasik Jawa macapat?
Dalam sebuah esei budaya
di Suplemen Jawa Timur Kompas [tanggalnya lupa, terbit tiap Sabtu] S Yoga
menginpentarisasi permasalahan sastra Madura. Yakni sastra yang diungkapkan
dengan media bahasa Madura, yang terkendala oleh fakta tiadanya media massa
cetak berbahasa Madura dan langkanya generasi muda Madura yang terpanggil
berkesusastraan dalam bahasa Madura. Sehingga eksistensinya tak terdeteksi dan
tak mungkin dirangsang oleh kehadiran Hadiah Rancage - yang disediakan bagi
sastra Sunda, Jawa dan Bali.
Indikasi itu menandakan
kalau sastra Madura lebih efisien diungkapkan dalam bahasa Indonesia dan dengan
Ponpes sebagai basis - mungkin itu lebih dikarenakan keberadaan ustadz yang
punya minat sastra dan memobilisasi santrinya. Dalam beberapa kesempatan D
Zawawi Imron selalu bilang restu kiai yang menyebabkan ia tidak merasa salah
berpuisi di pesatren, dan mengembangkan bakat berpuisinya. Sebagai alat untuk
mandiri secara ekonomi, dan sekaligus alat untuk berdakwah.
Tapi, dalam beberapa segi,
keberadaan seorang Timur Budi Raja [Bangkalan] tidak dalam track yang
diandaikan S Yoga. Timur Budi Raja, ketika SMA merasa berbakat menjadi penyair
dan didorong orang tuanya untuk belajar berpuisi, dalam tradsisi ngenger, di
rumah penyair L Machali di Gresik. Setelah matang ia dimo-dali - dengan menjual
kebun mangga - orang tuanya untuk menerbitkan buku puisi yang dilaunching di
Surabaya. Kematangannya sebagai penyair muda terbukti de-ngan keikutsertaanya
dalam antologi Kakilangit Sastra Pelajar [Horison , Kakilangit dan Ford
Foundation, 2002]. Sebuah pencapaian yang tidak gratis.
Apa arti semua itu?
Seorang penyair senior
yang kini bermukim di Prabumulih, Sumatra Selatan, Sutan Iwan Soekri Munaf,
mensinyalir upaya menulis puisi hanya sebagai kegenitan mengolah bahasa tanpa
kesuntukan memahami apa yang ingin diungkapkan-nya [lihat, "Haruskah Jadi
Penyair Korbankan Jenjang Sekolah, Sripo, 8/4. 2007]. Seakan-akan berpisi itu
hanya upaya konsentris menutup diri, sibuk dengan perasaan diri sendiri, dan karenanya
tak merasa perlu menambah wawasan dan referensi intelektual. Padahal seorang
Sapardi Joko Damono matang sebagai penyair setelah lulus kuliah dan bahkan
menyelesaikan S-3-nya. Dan seterusnya.
Sementara seorang Bernando
J Sujibto, salah satu penyair Muda Madura, yang kini kuliah di Yogyakarta,
berteori tentang perlunya "pencarian [keberadaan] kreativitas-imajinatif
yang konsisten dalam tataran selalu mencari kebaruan [concern with newness] -
lihat "Kritik [Sastra] Pembuka Tahun", Lampung Post, 4/2. 2007. Sebuah
kesadaran yang merujuk ke menulis itu tak sekedar menghadirkan yang umum dan
sesuai dengan asumsi orang banyak - meski dalam tulisan itu ia bebih berbi-cara
tentang kritik yang harus menemukan aspek alternatif dalam teks yang ada, yang
secara sadar atau tak sadar dihadirkan oleh si kreator.
Sebuah keberanian untuk
menyatakan, bila yang digulati oleh kebanyakan penyair itu kebanyakan cuma
bahasa, media ekspresi dan alat untuk mempertontonkan estetika orsinil. Padahal
yang lebih menentukan itu - sehingga puisi mempunyai bobot - justru apa yang
diungkapkannya.
Lebih tepatnya, bukan
hanya apanya, yang maknanya bisa dalam atau dangkal, yang wawasannya bisa luas
dan sempit tergantung referensi yang dimilik si penyair. Tetapi juga bagaimana
ia menghadirkan teks komparasi sebagai realitas yang mengungkapkan apa yang
ingin diungkapkan, informasi yang juga tergantung dari bacaan dan referensi
yang dimilikinya.
Sebuah pesantren, sebuah
sistim pendidikan yang mendorong penguasaan teks [baca; al-Quir'an] dan
pemahaman akan teks yang menyeluruh dengan komparasi atas berbagai tafsir
mendorong sikap multikultur yang menyebabkan seseorang tak fanatik pada satu
nilai. Dari generasi Kakilangit Horison, suplemen yang disediakan untuk
menampung sastrawan pelajar di Indonesia, kita menemukan seorang Faisal
Kamandobat yang semakin matang. Dengan latar belakang SMU Islam Cipasung -
dengan atmosfir berkesussatraan yang digalakkan kiai H Acep Zamzam Noor di
Tasikmalaya - ia merasuk ke dunia kesusastraan Indonesia dengan meniti jenjang
tangga pendidikan secara lebih optimis. Sama seperti Timur Budi Raja.
Meski kesuntukan itu akan
jadi sesuatu yang sia-sia bila tidak ada dukungan dan restu dari orang tua.
Sebuah keyakinan kalau menjadi manusia itu tidak harus menjadi PNS atau kerja
profesional yang berlimpah materi.
0 comments:
Post a Comment