Tuesday, November 29, 2011

Andai Ia Tak di Jalanan…

Liburan memang tidak selamanya sesuai dengan rencana awal. Adakalanya di tengah perjalanan, sesuatu bisa terjadi dan memberikan banyak pelajalan (lesson learned) dari peristiwa itu. Bahkan kejadian-kejadian di luar rencana membuat liburan menjadi semakin memorable dan sangat impresif. Dan itu aku temukan di sini, saat aku dan teman-teman ramai-ramai menikmati liburan weekend bersama setumpuk kawan dari Jakarta yang liburan di Yogyakarta, 27-28 Nov 2011.

Langit masih menumpahkan gerimis,dan Malioboro dalam surup hari. Aku dan teman-teman tetap semangat menembus rintik gerimis demi menikmati Malioboro di senja hari, di samping itu mereka akan belanja oleh-oleh untuk kerabatnya. Saya, Seto, Dila, Doni dan tiga teman dari Ibu kota: Ita, Tya, dan B’de berjalan bergerombolan setelah check-in di salah satu hotel di belakang Malioboro.

Perjalanan kali ini memang tidak seasyik sebelumnya karena ada satu teman, Dila, tengah terkilir urat pergelangan kakinya, cedera sewaktu turun dari tangga candi Borobudur sore harinya. Namun kami tetap asyik menyusuri jalanan ramai Malioboro meski sesekali aku merasa kurang enak ketika melihat Dila pincang dan meregang kesakitan. Inginnya sih biar Dila naik becak tapi karena demi kehangatan kebersamaan, sakit pun tidak kerasa.

Tas batik dan kaos Jogja adalah tujuan utama kami menyusuri trotoar Malioboro. Gerimis masih ritmis membasahi jalanan. Seperti biasa, laiknya kota-kota ramai di Indonesia, para pengamen dan pengemis juga berseleweran di jantung kota gudeg ini. Persolanan pengemis dan anak-anak jalanan yang homeless adalah sengkurat-runyam kenyataan yang tak kunjung terselesaikan. Kemiskinan sudah menjadi bagian yang melekat, usaha-usaha pemerintah belum juga membawa berkat, atau jangan-jangan memang negara sudah melalaikan tugas wajibnya terhadap orang-orang yang kehilangan rumah dan masa depannya di jalanan.

Aku tahu orang itu. Seorang perempuan—mungkin berkepala tiga atau bahkan lebih muda—sedang meminta-minta dengan botol plastik di tangan kirinya, berjarak sekitar 5-7 meter dari tempat aku dan dua teman yang tengah memilih tas dan kaos. Dia berlalu tepat di belakangku. Namun tiba-tiba terdengar gedebruk orang jatuh. Aku menoleh, ternyata si perempuan tadi yang terpelanting jatuh. Aku kontan melepaskan tas dan mengangkat perempuan tadi. Awalnya ada empat orang yang merubunginya, namun kami tidak kuat mengangkat tubuhnya yang sedang hamil tua. Lalu ada seorang yang berteriak minta tolong agar tubuh lemas perempuan hamil tua itu diangkat oleh lebih banyak orang. Dia jatuh apakah karena sudah waktunya melahirkan atau karena kecapaian—atau mungkin karena lapar—kami tidak tahu, dan juga orang-orang di trotoar itu: tukang becak, pedagang kaki lima, dan juru parkir sama-sama tak banyak bergemim. Sebagian orang menyeruput, “mungkin dia mau melahirkan”. Selebihnya orang-orang tercengang!

Ya aku tahu, perempuan itu memang benar-benar sendiri; tak ada yang tahu siapa keluarga dan di mana rumahnya. Yang pasti perempuan itu ada di depanku kali ini, dan tentu juga ada di depan orang-orang yang berjubel di jalanan Malioboro. Dalam kondisi seperti ini aku merasa bahwa hubungan darah, kerabat, famili dan sebagainya sungguh tidak penting karena perempuan ini benar-benar sendiri. Yang diuji adalah bagaimana kita merasa sebagai manusia, sebagai sesama makhluk, yang diberikan rasa kemanusiaan dengan wujud saling tolong menolong. Dan ternyata saya temukan pelajaran itu dari beberapa orang yang sedang membantu mengangkatnya ke dalam mobil. Jika aku sendiri, atau Anda yang sedang sendiri, lalu jatuh seperti perempuan itu, apa bedanya?

Perempuan itu memang sudah di mobil dan bersiap berangkat ke PKU Muhammadiyah. Beberapa teman saling bertanya siapa yang mau ikut serta mengantarnya. Aku bingung dan tersedak diam, tidak cepat mengambil keputusan. Akhirnya ada dua anak muda: satu perempuan 20-an yang menghentikan mobil di jalan raya tadi, dan seorang pemuda berambut gondrong, seperti rambut Giring Nidji atau mungkin lebih keriwil lagi, yang mengambil alih dan masuk ke dalam mobil.

“Biar kami yang mengantarnya.” Mereka berdua masuk ke mobil. Deg, aku menatap dua anak muda ini: spiritnya yang bergelora untuk membantu sesama. Dan aku kalah sama mereka berdua!

Mobil berderum melaju, aku terdiam tanpa kata. Aku merasa aneh, kenapa aku tidak ikut dalam mobil padahal aku sudah berada dalam mobil. Aku tahu bahwa urusan administrasi perempuan hamil tua itu akan sangat sulit, apalagi sekarang harga orang sakit begitu mahal, sehingga banyak orang bilang bahwa orang miskin dilarang sakit di negara ini! Aku dan teman-teman yang tadi ikut menggotongnya hanya bisa saling tatap, kosong.

Ada temanku Tya, yang sedari tadi ikut mengangkat perempuan itu, merembeskan bulir air mata. Ia banyak diam setelah kejadian tadi. Memang seperti tidak ada yang mau memulai percakapan karena di dalam diri kita, teman-temanku yang berada di tempat itu, mempunyai pengalaman masing-masing tentang anak jalanan, pengemis, dan mereka yang hidup di jalanan.

“Aku tahu dia akan sangat sulit mengurus admistrasi, karena dia sendirian, tanpa ada lembaga yang membantunya. Aku pengalaman mengurus anak jalanan di Jakarta. Aku tahu dia akan sulit mengurusnya karena dia sendirian.” Tya bergumam begitu saja.

Ada seorang bertanya, kenapa dia hamil? Aku tidak suka pertanyaan macam itu. itu pertanyaan yang cenderung mengklaim benar dan salah bagi dia sebagai orang yang hidup di jalanan. Kita tidak penting tahu siapa yang menghamilinya, tapi yang terpenting bagaimana menyelamatkan nyawanya. Syahdan, ada tukan parkir yang menerangkan sedikit tentang perempuan tadi.

“Dia orangnya “idiot”, kerjanya minta-minta gitu. Hamil karena digarap konco-koncone.”

Aku tidak tahu apa maksud Pak Juru Parkir bilang dia “idiot”. Mungkin saja dia lahir sebagai perempuan dengan disability, lahir dari masa lalu yang curam dan dilahirkan kepada riuh jalanan di trotoar Malioboro? Tapi, siapa yang mau dilahirkan kepada jalanan?

Ehm… Andai dia tidak di jalanan!

0 comments: