Versi cetak dari tulisan ini ada di Jurnal Nasional, 09 Desember 2011
TERMA “agama" agaknya akan menjadi ruang omong kosong di Republik ini, khususnya ketika agama sudah dipecundangi atas nama pelembagaan; ketika nilai-nilai luhur agama didistorsi demi klaim pembenaran beberapa kelompok; ketika agama hanya diperjuangkan sebagai ruang kosong di mana manusia seperti sosok asing di dalamnya. Dari situ pelembagaan agama kemudian melahirkan generasi kebencian dan hipokrit hanya karena salah kaprah orang-orang yang berdiam dan memperebutkan kuasa-legitimasi di dalamnya. Sudah banyak bukti yang menegaskan hal itu: kekerasan, pembunuhan, dan kebencian di antara umat beragama.
Secara lebih spesifik, lihat misalnya data Survei Integritas Sektor Publik Indonesia tahun 2011 yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menegaskan kembali bahwa lembaga pemerintah adalah sarang empuk para pelaku korupsi. Tiga kementerian disebut sebagai paling rawan korupsi: Kementerian Agama, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Koperasi dan UKM. Aneh, dalam konteks korupsi, lembaga yang berafiliasi dengan agama ternyata menjadi lembaga paling korup. Inilah omong kosong itu. Jargon dan ayat hanya berkeliar sebagai omong kosong, dan lembaga agama di kementerian menjadi sarang para koruptor.
Memang belum ada proposisi atau pun hasil penelitian yang menegaskan tentang peran (lembaga) agama yang secara aktif ikut andil dalam menciptakan maraknya korupsi. Tapi di Indonesia, ada indikasi tentang peran aktif lembaga agama dalam proses pelapukan negara dengan cara-cara abuse of power. Setidaknya, dilihat dari beberapa kasus korupsi di lembaga kementerian agama atau pun partai politik yang punya afiliasi dengan agama. Dari sini kemudian mulai terlihat jelas tentang wacana peran destruktif (lembaga) agama.
Memang belum ada proposisi atau pun hasil penelitian yang menegaskan tentang peran (lembaga) agama yang secara aktif ikut andil dalam menciptakan maraknya korupsi. Tapi di Indonesia, ada indikasi tentang peran aktif lembaga agama dalam proses pelapukan negara dengan cara-cara abuse of power. Setidaknya, dilihat dari beberapa kasus korupsi di lembaga kementerian agama atau pun partai politik yang punya afiliasi dengan agama. Dari sini kemudian mulai terlihat jelas tentang wacana peran destruktif (lembaga) agama.
Memang bukan hal kebetulan ketika kita menyelisik lebih jauh tentang ketua dan pemimpin lembaga kementerian yang disebut di atas. Ketiga kementerian tersebut dipimpin elite partai politik. Kementerian Agama dipimpin Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dikomandani Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), serta Kementerian Koperasi dan UKM dipimpin Syarief Hassan (anggota Dewan Pembina Partai Demokrat). Dua orang pertama di atas adalah dedengkot partai yang setidaknya membawa nama agama ketika melakukan kampanye di kalangan masyarakat lapisan bawah. Meski, ideologi PKB memang tidak berasas Islam an sich.
Dalam catatan KPK, kementerian yang bertugas mengurus moral masyarakat itu justru penuh sengkarut suap dan gratifikasi. Pengertian gratifikasi, menurut KPK, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Bukan tidak mungkin mereka--orang-orang pilihan yang mengerti tentang agama itu--mencari-cari alasan. Bahkan, mungkin memakai ayat suci untuk berijtihad membenarkan tindakan korupsi mereka. Atau, mencari hukum ringan di balik jargon keberagamaan mereka sendiri.
Corrupted Mind
Isu korupsi memang takkan pernah surut diperbincangkan di Republik ini. Korupsi ibarat epidemi akut yang menyusup ke dalam pikiran bangsa. Sehingga, realita corrupted mind--kejahatan korupsi yang sudah terbentuk sejak di dalam pikiran--terus menyemai menjadi perilaku-perilaku bejat dan hina-bina bagi keberlangsungan masa depan bangsa ini. Ketika persepsi koruptif sudah masuk ke dalam pola pikir, dan otak diserang virus akut korupsi, tentu sangat sulit membedakan di mana posisi yang bisa dibilang netral dan bersih dari praktik korupsi. Bahkan, agama yang selama ini ditengarai sebagai filter moral dan pengendali keserakahan tidak mampu membenam hasrat serakah.
Mulanya, korupsi adalah masalah integritas internal dari personalitas seseorang. Potensi abuse of power dalam segala macam wujud bisa hadir kepada siapa pun yang sedang punya posisi strategis di dalam pemerintahan atau pelayanan publik. Ketika dalam konteks personalitas tidak selesai, dan persona itu sendiri menjadi ladang masalah, maka perilaku serakah akan muncul karena kendali kesadaran internal sudah rapuh. Satu langkah sudah jebol. Praktiknya, akan mewujud dalam bentuk perilaku di institusi atau pun di lembaga yang sedang didudukinya.
Sebenarnya, jika mau jujur, peran agama sangat cocok dalam basis dan konteks ini. Agama sebagai ruang personal yang dinamis bisa menciptakan suatu pola pikir dan kesadaran imperatif untuk kemaslahatan bersama. Sebab, nilai-nilai agama mengajarkan tentang kesadaran personal pemeluknya agar bisa mengendalikan nafsu serakah. Namun, tidak semua pemeluk agama bisa melakukan hal ini. Ingat, yang melahirkan pemeluk agama yang teguh dan kaffah itu hampir pasti bukan lembaga-lembaga agama yang didirikan hanya untuk kepongahan dan popularitas belaka.
Ketika integritas personal sudah rapuh dan melepuh, maka kendali eksternal seperti lembaga penegak hukum (KPK, Jaksa, dan Polisi) harus mengambil alih persoalan ini secara serius, dan tidak kenal bulu dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Memang naf sekali ketika lembaga-lembaga yang diharapkan menjadi pemecah kebuntuan untuk memberantas korupsi itu justru dijangkiti praktik koruptif juga, terutama yang banyak terjadi di lembaga kejaksaan sendiri. Lihat misalnya kasus Sutiyoso yang tertangkap basah KPK, atau pun lembaga kepolisian sendiri.
Sejalan dengan impunitas supremasi hukum, absensia etika layanan publik, audit yang lemah, dan transparansi yang kacau balau membuat kasus-kasus korupsi semakin menggila di Republik ini. Pakar hukum pidana, yang juga merupakan Guru Besar Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, menilai, strategi pemberantasan model KPK yang mengutamakan penindakan tidak berhasil mengurangi angka korupsi di Indonesia. Maka itu, reformasi pola-pola baru perlu sekali diterapkan dalam upaya memberantas korupsi di negeri ini.
0 comments:
Post a Comment