versi cetak ada di sini 
SEJAK terbongkarnya kamp pusat pelatihan teroris tahun lalu di Aceh,  kekhawatiran dan peringatan banyak pengamat tentang berkembang biaknya  cara-cara teroris dalam melaksanakan aksi mereka di Indonesia kini  benar-benar terbukti. Bom buku yang sempat menggegerkan masyarakat, yang  hingga hari ini polisi belum sanggup mengidentifikasi pelakunya, adalah  salah satu cara yang perlu diawasi secara cermat.
Bukan tidak  mungkin kelompok teroris terus mengembangkan aksi mereka dan  berekspansi secara masif dengan cara-cara yang bahkan bisa mengancam  siapa pun, di mana pun. Lihat misalnya serangan bom bunuh diri di masjid  di Kompleks Polres Cirebon Kota, Jumat, 15 Maret 2011. Banyak orang,  bahkan polisi dan badan intelijen sekalipun, tidak mengira peristiwa itu  akan terjadi.  
Fenomena terorisme di Indonesia ingin  menegaskan eksistensi mereka yang harus diperhitungkan, khususnya  setelah tokoh-tokoh penting teroris dilenyapkan oleh polisi seperti: Dr  Azahari, Noordin M Top, Dulamatin, dan Amrozi. Terbunuhnya tokoh-tokoh  yang telah mengelola dengan rapi tetek bengek kegiatan terorisme di  Indonesia itu bukan lantas melenyapkan akar-akar kekerasan terbuka yang  dilakukan anak buah atau anggota kelompok mereka.
Adagium  “mati satu tumbuh seribu" juga berlaku bagi kelompok teroris. Hal ini  bisa dilihat dari beberapa bukti ancaman teror terhadap polisi sendiri,  instansi pemerintah, maupun lembaga yang dianggap musuh oleh gerakan  terorisme di Indonesia. Tak ayal, fakta itu menimbulkan ketakutan di  kalangan masyarakat luas.  
Saya secara spesifik tertarik pada fenomena reproduksi gerakan terorisme dengan pola-pola yang berbeda, dan gerakan “rekruitment underground" yang jarang sekali diidentifikasi secara sadar oleh masyarakat dan bahkan oleh polisi.  
Reproduksi Teroris  
Ada dualisme ancaman yang sangat urgen diperhatikan oleh posisi.  Pertama, reproduksi tentang paham dan praktik terorisme yang makin  masif. Penanaman paham terorisme dengan berbagai macam cara dan upaya  pun terus disebarkan secara masif. Cara-cara apa pun, seperti: mencuci  otak calon baru dengan janji “jihad" dan surga atau mungkin  mengiming-imingi dengan uang dan materi lainnya, bisa saja dilakukan di  tengah ketertekanan kelompok teroris di Indonesia.  
Harus  dipahami, kelompok teroris yang berada di bawah ancaman dan tekanan  banyak pihak, baik oleh kutukan masyarakat maupun tekanan polisi yang  terus memburu mereka, akan makin menguatkan jaringan mereka secara lebih  militan. Sebab, identitas dan eksistensi para teroris yang makin  terancam cenderung akan menyublim menjadi gerakan antiklimaks yang tetap  saja membahayakan.
Eksistensi dan identitas gerakan para  teroris adalah suatu konstruksi sosial yang dibentuk lewat proses  ketidaksamaan visi tentang suatu hal. Misalnya: gerakan jihad untuk  membentuk negara Islam, atau untuk memerangi simbol Amerika. Aksi teror  mereka bisa dikatakan sebagai semacam bentuk “proklamasi‘ tentang  eksistensi dan identitas mereka kepada publik. Melalui aksi teror,  mereka berupaya menemukan kekuatan diri mereka sebagai eksistensi yang  hendak ditunjukkan di tengah ancaman dan tekanan kepada kelompok komunal  mereka.
Proses menemukan eksistensi dan identitas diri yang  ditunjukkan lewat kekerasan muncul ketika ruang pencarian eksistensi  dibatasi atau berada di bawah tekanan-tekanan. Sehingga, kekerasan pun,  seperti dikatakan sosiolog James Scott, menjadi senjata paling ampuh  bagi mereka yang berada di bawah tekanan.
Membongkar Akar 
  
Kedua, polisi harus mampu membongkar titik-titik khusus atau  wilayah-wilayah yang telah menjadi praktik dasar gerakan terorisme dalam  mencari calon-calon baru dalam kelompok mereka. Setelah polisi  mengetahui cara dan praktik yang dilakukan kelompok teroris dalam  merekrut anggota secara rigid dan komprehensif, langkah preventif bisa  dilakukan secara pelan-pelan dengan menggunakan kekuatan masyarakat  bangsa ini. Bangsa kita adalah bangsa besar yang bisa mengatasi masalah  apa pun dengan kekuatan mereka sendiri. Sayang sekali, polisi belum  sampai pada titik ini. Tak ayal, akar-akar berkembangnya gerakan teror  di Indonesia terus tumbuh berkembang.
Ada fenomena menarik  bahwa gerakan terorisme di Indonesia tumbuh karena faktor dakwah Islam  dengan paham radikal dan fundamental yang telah menguasai. Benarkah?  Pertanyaan ini memang perlu dijawab melalui investigasi akurat oleh  badan intelijen dan masyarakat sendiri demi mengetahui sejauh mana  efektivitas cara ini. Sebab, sejauh ini, mereka yang telah meledakkan  diri sebagai mortir berasal dari pengajian masjid atau kelompok-kelompok  dakwah di musala.
Para kelompok dakwah yang berjubel di ranah  ini patut ditengarai sebagai mereka yang secara substansial tidak paham  Islam. Bahkan, mereka jarang sekali mengetahui agama Islam secara kaffah  (holistik). Mereka hanya berbekal pemahaman tentang agama yang parsial,  yang didapatkan dari para imam yang telah menggodok otak mereka secara  militan dan radikal. Jika ini benar terjadi, berarti secara prinsipiil  ada masalah di tengah transformasi dakwah di Indonesia.
Lalu bagaimana peran para kiai, dai,  dan juru dakwah yang benar-benar paham agama secara holistik, serta  menguasai Al Quran dan Hadis secara komprehensif dengan alat tafsir  mereka? Apakah mereka sudah kehilangan peran di ruang publik bangsa  kita? Di sinilah hal-hal mendasar yang harus diperhatikan secara serius  oleh pemerintah dan kaum agamawan sebelum dakwah keagamaan di Indonesia  menjadi centang-perentang tertanami gerakan terorisme
 





 
 
 

0 comments:
Post a Comment