(Tulisan ini adalah serangkaian resume atau, lebih tepatnya, refleksi kecil-kecil dari penelitian yang saya lakukan tentang "Pola-Pola Peacebuilding Pemuda di Komunitas Peace Generation Yogyakarta" untuk skripsi saya yang sangat lambat selesainya. Posting sebelumnya berjudul Menakar Kekerasan Sipil adalah hasil pernik-pernik kecil dari skripsi saya juga. Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid Bisnis Indonesia edisi Jumat, 28 Oktober 2011 dengan judul Memacu Semangat Edukasi Damai. Sebagai share lebih lanjut, saya posting di sini dengan harapan semoga teman-teman dan pembaca sekalian bisa mengaksesnya secara lebih mudah. Demikian semoga bermanfaat terima kasih).
Foto hasil print screen, BI edisi 28 Oktober 2011 |
Kekerasan pemuda, kalangan pelajar SMA khususnya, mulai mencemaskan akhir-akhir ini. Awalnya, kekerasan yang dipraktekkan memang terfokus kepada lingkungan sekolah seperti bullying antar teman, kekerasan antar gank, hingga tawuran antar sekolah. Namun, kekerasan dan bentrokan pelajar SMA 6 Jakarta dengan wartawan adalah suatu fakta baru bahwa kekerasan pelajar kini mulai berimbas kepada ruang publik dengan akses warga sipil yang lebih luas.
Praktek-praktek kekerasan yang sudah terbentuk dari kultur kekerasan di sekolah dengan mudah akan menjadi sindrom perilaku (kekerasan) di tengah kehidupan masyarakat luas. Jadi tidak aneh ketika kemudian praktek-praktek kekerasan pelajar mulai merebak di luar lingkaran sekolah, misalnya dalam keluarga, dengan teman bermain, atau bahkan dengan anggota masyarakat lebih luas. Karena kekerasan bagi mereka sudah menjadi pembiasaan sehingga ia tidak terpikirkan lagi sebagai harm atau injury kepada orang lain.
Kekerasan pelajar atau bahkan kekerasan mahasiswa yang ditunjukkan melalui tawuran dan bentrok di lingkungan sekolah atau kampus misalnya, adalah sebentuk artikulasi sosial agar memudahkan kita mengidentifikasi konteks kekerasan. Padahal sejatinya, kekerasan yang sudah menjadi kultur sulit diredam dan dimobilisasi ke dalam suatu ruang dan ranah tertentu. Ia bisa tumpah di mana saja dengan sangat mudah ketika ruang eksitensi pribadi ataupun ruang-ruang personal seseorang merasa terancam. Pribadi-pribadi yang sudah dibentuk dengan kultur kekerasan sejak dini akan sangat mudah meluapkan pola-pola kekerasan mereka dalam kondisi seperti itu. Ruang tidak bisa lagi membatasi mereka untuk melakukan tindak kekerasan. Karena kekerasan adalah senjata paling utama bagi orang yang tidak mempunyai kekauatan lagi.
A painful peace
Pemikir keturunan Yahudi anti-kebijakan Amereka, Noam Chomsky (January, 1996), pernah memopulerkan istilah ini untuk mengejek kebijakan luar negeri Amerika yang menggembar-gemborkan tentang promosi perdamaian dunia tapi lewat cara-cara yang sepenuhnya melukai perdamaian itu sendiri. Konsep perdamaian sebenarnya sudah kita memahami secara baik di lingkungan sekolah khususnya. Namun cara dan pola tindakan aplikatif yang terujud dalam kultur pendidikan ataupun kurikulum tidak mendukung konsep dan prinsip perdamaian itu sendiri. Sehingga perdamaian menjadi suatu bayangan yang abstrak dan omong kosong. Padahal perdamaian sejati adalah tercermin dalam perilaku keseharian kita baik terhadap diri sendiri ataupun ketika berhubungan dengan orang lain.
Saya menemukan beberapa persoalan ketika melakukan riset tentang peacebuilding di lingkungan pemuda di Yogyakarta. Ada beberapa hal yang penting diwacanakan di sini sebagai suatu catatan atas konklusi riset tersebut agar menjadi perhatian kita bersama. Pertama, pemuda mulai jengah dan bahkan tidak akrab dengan obrolan tentang “damai” atau yang berkonotasi perdamaian dalam lingkungan mereka baik di sekolah maupun di kampus. Perdamaian mulai menjadi barang sakral dan antik yang tidak mempunyai porsi. Pikiran dan perilaku pelajar mulai didominasi oleh kultur-warisan (given culture) dari lingkungan keluarga ataupun kultur-bentukan (nurtured culture) dari lingkungan sosial yang semua itu notabene didominasi oleh memori kolektif tentang tindak kekerasan latent ataupun manifest dari praktik kekerasan struktur dan kekerasan sejarah yang sudah terbentuk.
Tak berlebihan ketika Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad dalam buku Roots of Violence in Indonesia (2002; 01) seolah menyimpulkan hepotesanya ketika meneliti tentang geneologi kekerasan di Indonesia dengan mengatakan bahwa Indonesia is a violent country. Mereka menyatakan dengan berani dan sarkastik dalam menelusuri akar-akar kekerasan di Indonesia bukan tanpa alasan. Lihat misalnya berbagai konflik kekerasan yang menimpa bangsa ini sejak awal berdiri. Lain lagi ketika kita kembali menelisik sejarah kolonial yang secara sempurna telah membentuk pola pikir dan kepribadian bangsa ini.
Ketika perdamaian sudah menjadi barang antik di lingkungan pendidikan kita, jarang dibicarakan dan bahkan dikalahkan oleh les-les privat dan ekstra-kurikuler yang cuma memilin otak kiri melulu tanpa memberikan ruang bagi terbentuknya kepribadian damai di antara mereka, para pelajar akan tumbuh dalam kekeringan rasa harmonis dan sikap respek kepada orang lain.
Peace culture
Kedua, pentingnya menggagas kultur damai (peace culture). Perdamaian harus selalu dimunculkan baik dalam bentuk obrolan, diskusi, pola perilaku keseharian ataupun kebijakan yang mendukung terbentuknya suatu kultur harmonis dan nir-kekerasan secara penuh sejak di lingkungan pendidikan. Perdamaian membutuhkan suatu proses dan dinamika, seperti juga kekerasan yang selalu mereproduksi diri dalam segala bentuknya. Perdamaian tidak sama dengan situasi “pasif, diam dan nrimo”. Perdamaian adalah suatu kultur yang harus dilahirkan setiap saat melalui perilaku keseharian.
Kultur damai dalam pemahaman Federico Mayor seperti dikutib dalam glosarium buku panduan University for Peace: Peace and No-Violent Transformation of Conflict di Kosta Rika (2004) adalah transisi dari logika kekuatan dan ketakutan menuju kekuatan pikiran dan cinta, ketika dialog dan respek kepada hak asasi menanggantikan kekerasan; pemahaman perbedaan latar belakang dan solidaritas menggantikan permusuhan; dan sharing berbagi informasi menggantikan kerasahasiaan (secrecy).
Edukasi damai (peace education) adalah suatu proposal yang perlu dipertimbangkan dalam sistem pendidikan kita di mana perdamaian menjadi suatu yang familiar, akrab dibicarakan dan applicable dalam keseharian para pelajar di dunia pendidikan. Ruang-ruang kreativitas dan inovasi yang seimbang antara intelegensia dan kepribadian harus dibuka seluas-luasnya dengan mengajak mereka agar merayakan perbedaan (viva la difference) baik potensi personal, kepribadian, budaya, suku dan agama. Kesadaran merayakan perbedaaan adalah bekal berharga bagi terbentuknya kultur-kultur damai di lingkungan pendidikan kita.
Mengutip Herbert H, Blumberg, edukasi damai bertujuan untuk (a) memahami kecenderungan manusia dalam menafikan (devalue) “mereka” (outgroups); (b) mempromosikan peaceful daripada resolusi konflik yang destruktif dan agresif; (c) mempelajari asal mula kekerasan (the origins of violence); dan (d) dalam konteks lain, melatih agen dan pemimpin suatu komunitas perdamaian (2006; 33) yang bisa dibentuk di sekolah sebagai wadah pembiasaan mengobrolkan tema-tema perdamaian dalam laku keseharian para pelajar. Edukasi damai bisa masuk ke dalam banyak aspek kegiatan di sekolah karena damai adalah cara sekaligus praktek yang bisa dilakukan dalam interdisiplin.
0 comments:
Post a Comment