Sunday, March 03, 2013

(Tidak) Pentingnya Ulang Tahun

hari yang kembali
pada sunyinya belati
sebelum mengiris
buah manggis di garis
tanganku
(bje, 2013)

Tanggal 20 Februari 2013 saya pulang kampung untuk menjenguk nenek yang sedang sakit: stroke, juga karena kadar gula yang tinggi di usianya yang menjelang 80-an. Saya menyegerakan pulang meski di Jogja masih ada beberapa kerjaan yang belum selesai. Alasannya cuma satu: saya ingin menikmati ulang tahun di rumah—ulang tahun kesunyian. Saya lebih suka menyebutnya "ulang tahun kesunyian" ketika saya bersama dengan Ibu atau berada di kampung setiap ulang tahun, dan saya sudah menyiapkan diri untuk menghadapi ulang tahun seperti yang terjadi 15 tahun silam.

Bagi saya, ulang tahun di tempat di mana saya dilahirkan adalah kado yang tak tertandingi. Saya yakini itu sejak awal saya merencanakan kepulangan. Saya menanyakan kepada Ibu di sebelah mana saya pertama kali mencium tanah! Kata Ibu saya lahir di sebuah ruang tamu (serupa emperan) di dalam rumah, sebelah kanan pintu kamar selatan, di atas lantai semen. Saat ini, tempat itu dipasangi lincak dan menjadi tempat tidur nenek yang dalam setengah tahun terakhir kesehatannya benar-benar semakin menurun. Kata Ibu lagi, saya lahir hari Kamis Manis sekitar pukul 3 lebih, pagi dini hari. 

Malam hari sebelum tanggal 24 Februari, saya menyiapkan diri untuk berada di sekitar tempat di mana saya pertama kali mencium aroma kehidupan bernama dunia, berupa semen dan tentu tangan ibu, juga keringat-keringatnya yang bercucuran karena rasa sakit yang tak terhingga. Karena tidak mungkin tidur di bawah lincak tempat nenek isterahat, saya akhirnya memutuskan tidur di samping lincak yang sudah dihampari perlat dan alas untuk tidur Ibu, cucu-cucu nenek, atau kerabat dari kampung sebelah yang datang menjenguk dan menginap di rumah. Di sana saya tidur dengan Ibu yang setiap malam menjaga nenek untuk menemani pipis ataupun minta makan.

Menjelang subuh saya bangun bersamaan dengan Ibu yang sedang mengangkat nenek yang mau buang air kecil. Jam menunjukkan sekitar pukul 3 dini hari. Saya berdiri tertegun sambil menatap tempat di mana saya lahir 27 tahun silam. Tak ada tanda apa-apa, tak terbersit apapun dalam pikiran. Saya terus meyakinkan bahwa saat itu, saat ini, saya dilahirkan di tempat yang sama: yang sedang saya tatap, di bawah lincak. Tapi tetap tak ada spirit apa pun dalam jiwa saya. Saya menatap Ibu berkali-kali yang sedang bersama nenek. Lalu saya berbegas cepat membantu Ibu untuk mengangkat tubuh nenek yang habis pipis dengan pispot alami, mengembalikan nenek ke dalam posisi tidur.

Setelah nenek kembali tidur, Ibu beranjak ke kamar mandi dan ambil air udhu, lalu ke langgar. Saya kembali rebahan: antara mengingat arti kelahiran dan mempertanyakan arti perayaan! Menurut tanggal yang tercatat dalam dokumen resmi di Akte Kelahiran (yang baru dibikin setelah usia 22 tahun), KTP, SIM dan Passport, saya dilahirkan pada tanggal 24 Februari 1986. Tapi ketika ditanyakan kepada Ibu, beliau bungkam dan tidak pernah tahu tanggal dan tahun berapa saya lahir. Yang Ibu ingat adalah saya lahir hari Kamis bulan Mandiwal (Jumadil Awal). Tahun tidak terekam.

Pagi hari sambil membantu memasak di dapur, saya mengobrol dengan Ibu.

“Epuh, saya lahir hari ini menurut data di KTP.”

Ibu diam sejenak. Tak ada yang berubah dari ekspresinya. Saya paham betul, bagi Ibu tak penting perayaan atau pesta ulang tahun. Dalam sejarah keluarga kami tidak pernah ada perayaan ulang tahun. Hanya ulang tahun kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW saja yang berhak mendapatkan perayaan. Sementara perayaan ulang tahun yang lain hanyalah untuk menegasikan ketiadaannya. Itu kesimpulan saya sementara ini.

“Bukannya hari Kamis? Sekarang kan hari Ahad. Kamu lahir hari Kamis.”

Saya diam. Saya paham tidak perlu mendebat Ibu. Kalau Hari Ulang Tahun tentu Hari Kamis, kalau Tanggal Ulang Tahun mungkin tanggal 24 Ferbruari. Saya katakan “mungkin” karena memang tanggal lahir saya direkayasa. Atau lebih tepatnya dikira-kira oleh (alm.) paman, di sesuaikan dengan tanggal dan bulan kelahiran anaknya yang ketiga, sepupu saya: Hasan Budiarto. Saya lebih tua tiga bulan dari Hasan yang tanggal lahirnya tercatat dengan benar di lembaran Kalender PNS, pemberian dari Presiden Soeharto untuk para PNS.

Sambil lalu membantu nyorong apoi (merapikan kayu ke dalam tungku agar menyala), saya melanjutkan obrolan dengan Ibu. “Ibu, saya pulang agak diundur sampai sekarang karena saya ingin menikmati ulang tahun kelahiran yang saya tahu menurut KTP. Saya ingin menikmatinya dengan cara yang sudah Ibu tunjukkan sejak saya lahir hingga pun lulus Aliyah.”

Ibu diam sambil mengulek sambal petis untuk dimakan bareng singkong rebus hasil sedekah dari tetangga. Karena saat itu Ibu tidak punya singkong sementara saya selalu minta singkong rebus atau singkong bakar setiap kali pulang kampung.

Saya merasakan sekali bahwa ulang tahun kelahiran bagi saya adalah ulang tahun kesunyian. Saya sangat menyukai itu. Ibu tidak pernah mengucap “Selamat Ulang Tahun”, “Selamat Molang Are”, Happy Birthday” atau apapun sebutannya untuk setiap ulang tahun kelahiran putra-putrinya. Tapi jangan disangsikan bahwa dari kedalaman tatapannya tak ada sebongkah harapan atau selamat demi selamat berupa doa kepada kami, anak-anaknya. Justru penghayatan makna kelahiran dengan cara seperti itu saya bisa menemukan arti kelahiran yang murni: sebuah perayaan dari kesunyian. Karena di sanalah rumah penghayatan yang sepenuhnya.

Sejak meninggalkan kampung halaman ulang tahun saya selalu dirayakan dengan cara “ramai-ramai”, mulai traktiran plus doa, ucapan-ucapan dan kado, hingga disiram air dan diceploskan telur di kepala. Itu sama sekali tidak saya suka. Sukanya paling karena saya bisa bersama teman-teman dan mereka senang. Di hati saya memilih perayaan ulang tahun seperti yang Ibu ajarkan: kadonya adalah doa dan harapan. Hanya ada satu momentum ultah yang sangat terkesan, karena pertama kali ultah saya diucapin “happy birthday” dan sekaligus dihadiahi kartu ucapan, yaitu ketika Margaret dan John Rolling, keduanya adalah guru bahasa Inggris saya dari Australia di pesantren Annuqayah, mengajar di Pondok Pesantren di mana saya belajar dan menghabiskan masa MTs dan MA.

Saya menghayati betul bagaimana arti perayaan ulang tahun yang tak-dianggap berarti oleh Ibu. Betul, perayaan ulang tahun tidak penting ketika itu hanya selesai dalam perayaan--tak menyentuh sama sekali substansi. Tapi ketidakberartian perayaan ulang tahun, jika boleh disebut begitu, bukan lantas mengurangi arti perjuangan dan pengorbanan sebagai seorang Ibu kepada anak-anaknya yang bisa saja melebihi arti ulang tahun itu sendiri. Perayaan dari seorang Ibu kepada anaknya adalah perayaan cinta tanpa batas ruang dan waktu. Semuanya spesial, tak surut oleh momentum sekaligus tak lekang oleh pantangan. Doa seoarang Ibu selamanya adalah doa dan sekaligus harapan yang tak perlu batas dan tirani waktu.

Tanggulun, 24 Februari - 03 Maret 2013

0 comments: