Friday, August 02, 2013

"Saat Itu, Ibuku Menangis"

Buat kakakku Hermanto Junaidi ...
yang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat akan pergi sekalipun. Sulit membedakan apakah aku sedang pulang atau pergi--ketika semua risalah hidupku ditakdirkan untuk selalu pergi dan berjelajah, sehingga semua hal begitu asing dalam hidupku. Aku seperti sudah dipasrahkan menjadi anak panah bagi angin yang bergemuruh dari semua arah. Saat ini, aku tiba-tiba ingat semua hal tentang masa kecil, tentang Ibu, tentang (alm.) Ayah yang lamat-lamat kita gambar pada segumpalan benang bernama memori, saat aroma lebaran tiba-tiba menyeruak, yang kita bikin seru dengan tawa atau kebengalan kita masing-masing.....

Dari kamar kostku, di sebuah kota yang sangat kau pahami, aku duduk, berkemas; pikiranku berada di antara rumah, ibukota, pulang, pergi, negara orang, tanah kelahiran, rindu, cerita, Ibu--semua datang meringkusku tiba-tiba. Aku tidak bisa apa-apa selain menuliskannya saat ini, dan berharap engkau membacanya entah dengan cara apa. Pun aku yakin, Ibu sudah merasakannya, sebalum aku menuliskan catatan ini.

Kakakku, aku sebentar lagi akan pergi, lebih jauh lagi, eh bukan lebih jauh, tapi lebih lama, ke sebuah benua entah bagaimana aku bisa bercerita lagi kepadamu meski hanya dengan sepotong puisi, atau racauan-racauan. Tapi jangan khawatir, setiap kepergian, pengembaraanku yang tak berujung ini, adalah jalan pulang menuju rumah abadimu, juga. 

Kakakku, aku lupa saat itu kapan --hari, tanggal, bulan dan tahun-- tapi aku ingat ibuku menangis untuk anaknya yang bengal ini, tentu untukmu juga sepertinya. Saat itu, kira-kira aku tercatat sebagai siswa di awal Madrasah Tsanawiyah. Aku lupa. Tapi yang pasti kamu masih ada bersamaku, masih bisa tersenyum bersamaku, pada sebuah Hari Raya Idul Fitri di kampung kelahiran kita.

Beduk takbir sudah dikumandangkan di pagi itu. Kita siap-siap mandi di kali, lalu dengan pilihan masing-masing (tanpa ada cakap berarti sebelumnya) memakai "baju lebaran". Kakakku memakai baju yang usianya sulit ditebak dengan sarung yang tak kalah kusutnya; aku pun begitu dengan baju yang krahnya sudah berlobang dan jahitannya kelihatan. Sepertinya, baju yang kita pakai ini bekas warisan dari kakak kita, bukan?

Di tangah jalan menuju masjid untuk shalat id, kami hanya saling pandang. Adik sepupu yang waktu itu masih kecil, masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, hanya senyam-senyum. Dia mungkin tidak mengerti apa-apa. Atau tengah bahagia melihat kakak-kakaknya bertingkah aneh.

Di masjid kami ikut takbiran, shalat id, lalu salaman dengan orang-orang kampung sebagai bentuk silaturahim. Setelah itu berkunjung ke beberapa sanak sudara dan tetua kampung, lalu pulang dan ziarah ke makam--begitulah ritual lebaran di kampung. Sejak kamu pergi, berumah di bawah pohon ketapang itu, aku tidak akan lupa jalan pulang, juga jalan menuju rumah-rumah lain dari masa silamku.

Kakakku pasti ingat, sebenarnya ibuku sudah membelikan baju baru ala kadarnya buat dua anaknya yang sedang mengasing di sebuah pondok pesantren. Tapi baju dan sarung baru itu, sebagai rasa cinta seorang Ibu untuk anak-anaknya biar juga punya "baju lebaran" dan tak malu kepada tetangga, dilipat rapi di dalam lemari.

Selesai semua tradisi kami jalani, kita pulang ke rumah, bukan? Kamu tahu sedang ada apa di hati seorang Ibu? Beliau seperti menunggu kita pulang. Dari dapur beliau hanya bertanya kenapa kita memakai "baju lebaran" dari pakaian-pakaian lama? Itu pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Kami, anak bengal ini hanya diam. Dan kami tahu, ibuku menangis melihat anaknya yang hanya setahun sekali atau dua kali pulang kampung, di Hari Lebaran, berlebaran dengan "masa bodoh" bersama egonya sendiri.

Entah apa yang kakakku pikirkan. Kamu punya pikiran sendiri pastinya, semacam ide untuk menjawab pilihan bodohmu, dan juga aku. 

ziarah tahun 2013
Sejak itu aku berjanji, aku tidak akan mengecewakan Ibu--dalam bentuk apapun. Mungkin kita bangga bahwa itu cara (pemberontakan) paling ganjil yang bisa ditunjukkan di tengah tradisi konsumsi hebat menjelang lebaran, di mana pun, termasuk di kampung terpencil di rumahku. Tetapi apa itu memberikan hikmah pada seorang Ibu yang hanya hidup dan mengalir bersama tradisi, bernama bentangan sejarah, yang dijalaninya dalam kepasrahan?

Kakakku, mari kita saling memaafkan karena kita sepertinya sama-sama paham bahwa apa yang kita lakukan hanyalah pemberontaan kecil untuk tradisi-yang-telah-terbeli. Setelah nanti sampai di rumah, aku akan ceritakan kisah ini kepada Ibu, setelah itu aku akan minta maaf lagi, setelah itu, aku akan pergi lagi....

Kakakku, aku terperangkap pada sebuah tanya: sudah berapa nyeri "tangis" yang kita curahkan untuk Ibu?

Buat kakakku di surga...
Yogyakarta, 2 Agustus 2013 

0 comments: