Wednesday, September 15, 2010
Randai, Pergulatan Masyarakat Minang
Meskipun bukan terbilang hajatan besar, salah satu acara pertunjukan
kesenian kesenian, di malam akhir Mei 2009 itu, nampak cukup ramai. Di arena
lapang terbuka, nampak orang-orang berjejal, asyik menikmati sebuah pertunjukan
kesenian tradisional asal tanah Pariangan Padang Panjang Sumatra Barat, yaitu randai.
Randai juga dikenal oleh masyarakat di Provinsi Riau. Jika ada acara
besar khususnya di Sumatera Barat, dapat dipastikan randai akan mengambil
bagian. Hal ini agaknya cukup kondusif sebagai salah satu strategi untuk
mempertahankan khazanah tradisi lokal. Biasanya dimainkan pada perayaan pesta,
seperti: pernikahan, pengangkatan penghulu, atau pada hari besar tertentu.
Pemerintah Sumatera Barat pun sadar akan potensi randai sehingga mengemasnya
menjadi salah satu paket dan “icon” daerah untuk menarik para wisatawan.
Wednesday, June 02, 2010
Kisah Sepatu Kita #1
1
"Andre, apa yang bisa mempertemukan kita setelah dari tanah asing ini?"
"Bukankah kita bisa saling berkunjung? Kamu di Madura dan saya di Salatiga."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Aku ingin kita punya momentum ingatan, dan syukur jika itu bisa menjadi mimpi kita bedua."
Andre diam. Ia seperti tidak ingin melanjutkan obrolan di malam itu. Bulu matanya seperti sebuah pintu yang minta segera dikatupkan. Seperti juga mataku. Kantuk semakin mengeratkan jendela kamar apartemen. Mengunci suara-suara burung aneh yang berseleweran di luar kamar. Malam itu benar-benar senyap. Hanya bunyi kereta barang yang ketika jam dinding mematok angka 12 bagai serdadu perang.
"Kau sudah benar-benar mau tidur, Andre?"
Suaraku tidak digubris. Aku coba menatapnya dengan sisa tenagaku yang seharian kuperas untuk menikmati kota yang baru satu bulan lebih kutinggali. "Oh, sleep tight, bro!"
Kubiarkan tubuhku telentang pada sebuah ranjang seukuran dua tubuh orang dewasa. Ranjang kami hanya dipisahkan oleh meja kecil seperti lemari kotak tempat kami menaruh barang-barang penting untuk keperluan kampus, tentu dokumen-dokumen imigrasi yang harus kami jaga. Berseprei putih dengan dua bantal dan satu guling. Kamar ini selalu menjadi peraduan yang tak ada duanya ketika kami lelah karena aktivitas seharian yang tak kepalang. Tak jarang kami terlelap sebelum sempat mengobrol satu patah kata pun--tentang pengalaman hari ini atau tentang apapun yang mungkin menurut kami bisa diceritakan.
Posisi tidur kami aneh, begitu komentar si Rima, teman dari Indonesia yang sudah satu tahun studi di kampus yang baru kami kunjungin untuk short course. Setiap datang ke kamar untuk sekedar mengobrol atau bawa masakan Indonesia, Rima selalu bilang kenapa tidak tidur dengan arah yang sama. Aku tidak terlalu mengubrisnya meski terkadang ingin sekali tanya kenapa Andre selalu tidur dengan membelakangi jendela. Suatu ketika aku pernah bilang "coba tidur menghadap jendela mumpung bulan mau tenggelam" tapi Andre yang hanya diam seribu bahasa. Andre biasa tidur dengan membelakangi jendela (berarti ia menatap lemari kamar besar yang berisi koper dan tas kami, yang otomatis juga menatap pintu keluar). Sementara aku lebih suka menatap jendela, tepat di atas lemari kecil.
Meski rasa kantuk sudah menyerang sedari tadi, aku belum bisa memejamkan mata malam itu. Mataku semakin liar menjelajahi sela-sela reranting dan dedaunan pohon oak di luar kamar yang diterangi sinar bulan malam itu. Sinar bulan tanggal 19 hijriah masih cukup kuat untuk menerangi celah-celah pohon. Mataku tengah membayangkan ada seekor burung tertidur di salah satu rantingnya. Lalu aku dan teman-temanku mengendap-endap membawa senter dengan cahaya terang yang cukup untuk menyilaukan mata seekor burung. Cahaya itu lalu ditembakkan di matanya, dan aku dengan pelan memanjat pohon itu. Selama aku tidak menimbulkan gerak, burung itu pasti akan tertangkap. Itu sudah aku buktikan waktu aku masih kanak-kanak di kampung.
Tapi apakah aku akan melakukan itu sekarang? Apakah di pohon ini ada burung tidur? Atau jangan-jangan burung mempunyai apartemen seperti tempatku sekarang? Ah... pikiranku benar-benar meracau.
Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan mengambil balpen di atas meja kecil. Tak bantal yang sedari tadi sudah aku siapkan menyanggah kepala turut kubawa serta menuju ruang belajar di sebelah kamar tidurku. Di ruangan ini aku biasa menghabiskan waktu kesendirianku, baik ketika aku belajar, membaca, dan menulis ataupun ketika tidak bisa tidur. Ruangan ini rapi dengan sofa dan meja kaca yang cantik dan mengkilap. Ini cocok untuk ruang tamu sebenarnya. Tapi karena jarang ada tamu yang masuk ke apartemen kami, ruangan ini kami setting menjadi ruang belajar di mana buku dan laptop dibiarkan tergeletak di sana. Namun begitu, tak jarang aku terlelap di sana di atas sofa ketika kamar tidur tidak mampu meninabobokan mata dan pikiranku.
Kali ini aku inigin mencari kantukku di sana sembari membuka sebuah buku novel yang versi bahasa Indonesianya sudah pernah kubaca: The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway, sebuah novel hadiah dari conversation partner-ku yang kebetulan sangat menyukai karya-karya sastra dunia. Tonis merasa sangat beruntung karena bertemu denganku yang sama-sama penyuka karya-karya sastra. Dia bahkan minta karya-karya prosais Indonesia yang rekommended. Saya tidak segan menyebutkan nama seperti Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam. Tonis sudah pernah membaca sedikit informasi tentang Pram, tapi novel-novelnya belum pernah dia baca. Aku sudah menunjukkan beberapa novel Pram seperti tetralogi Pulau Buru yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dia begitu antusias untuk membeli empat novel berkelas itu.
Dua hari setelah mengobrol tentang buku Pram, Tonis tiba-tiba mengeluarkan novel Child of All Nations dari tas gendongnya. "Aku beli dari e-bay."
Aku hanya melongo. "Yeah, fantastik!" Tak ada lagi kata yang bisa kusodorkan untuk memberikan apresiasi kepada Tonis.
"Aku juga ingin beli punya Umar Kayam yang kamu maksud. Tapi belum aku temukan di Amozon."
Aku kembali melongo. "Saya bantu carikan, ya."
"Wow, terima kasih banyak, Eson."
"Sama-sama."
Mataku berkedip berat. Semakin berat. Wajah Tonis pelan-pelan menghilang dari ingatanku. Stiker bertuliskan Columbia University yang menempel pada laptopku perlahan mengawang bagai fatamorgana; mengombak dan semakin menjauh, sebelum semuanya benar-benar hitam dalam lipatan mataku.
Manhattan memang bukan sekedar kota biasa bagiku. Di sini semua menjadi serba mungkin. Ia seperti seperangkat kotak mimpi di mana aku bisa menikmati semua ketidakmungkinan menjadi mungkin. Aku mendapati hal-hal baru di luar pengalamanku. Orang-orang bisa begitu mudah menenteng botol alkohol dan menenggaknya sepanjang jalan mereka mau; mereka dengan mudah berciuman seperti sedang memulai sebuah percintaan menuju ranjang di malam hari. Begtiu panas. Dan yang membuatku selalu waspada adalah ancaman kriminal yang kapan saja bisa menghukumku.
Aku sadar, begitu juga Andre, untuk menghindari area-area rawan kriminal. Kami tidak ingin terlibat atau mendengar sedetik pun letusan pistol yang legal di sini.
Iya. Aku seorang anak kampung yang hidup dengan duniaku sendiri. Tapi di sini aku dipertaruhkan untuk sebisa mungkin belajar kepada pengalaman mereka.
Hari ini aku sendiri. Andre sedang bersama teman-temannya ke gereja. Aku memilih memunuhi sebuah undangan hang out bersama teman-teman baru dari Eropa yang se- program denganku. Untuk hari Minggu ini aku tidak ikut Andre ke gereja. Aku sudah pamit ingin ikut jalan-jalan bersama teman-teman baru. Kurasa sudah cukup selama tiga bulan kemarin aku tidak pernah absen bersama Andre ikut ke gereja. Meskipun aku tidak paham ritual yang mereka jalankan di gereja, aku hanya percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana dan aku bisa berdoa di mana pun. Di kota asing ini aku belajar melawan ketakutanku sendiri.
Sejak awal datang ke kota ini kita masing-masing sudah berkomitmen untuk saling membantu dan menyelamatkan. Karena kami di sini hanya berdua sebagai mahasiswa pertukaran. Mereka di luar sana adalah asing bagi kami. Kami sadar untuk saling menjaga diri kami masing-masing--sukses hingga program selesai selama satu semester ini.
Pengalaman bersama Andre adalah pelajaran yang sangat berharga bagiku. Agama tidak lagi menjadi sekat kami. Kami boleh berbeda keyakinan tapi jiwa kemanusiaan kami harus tetap saling dijaga, demi saling menyelamatkan. Aku juga sadar betapa baiknya Andre ketika dia bersedia menemaniku shalat Jum'at di sebuah masjid di tengah kota. Dia menawarkan diri agar bisa menemaniku ibadah di hari Jumat di minggu pertama aku sampai di Manhattan. Meski tidak masuk masjid, kesediaannya menemaniku ibadah sudah luar biasa. Dia Katolik taat yang mengerti agama sebagai ritual yang imbang antara kemanusiaan dan ketuhanan.
"Kring... kring.... kring...."
Bel kamar apartemen berdering. Tanpa pikir panjang aku segera membukakan pintu. Ternyata betul, mereka datang tepat waktu, seperti janji kami sebelumnya: pukul 3 pm.
"Hey man, bring your camera," sergap Susan ketika melihatku hanya dengan tangan kosong.
"Ohya, pasti dong. Mau masuk dulu?" pangkasku singkat.
"Tidak. Teman-teman sudah siap di bawah. Andre mana?"
"Okay. Beres. By the way, it's Sunday, Susan. Church time!"
Susan hanya melongo polos. Begitu juga si Thomas. Hanya senyum datar yang terpintal dari muka mereka. Tanpa banyak basa-basi, kami langsung menuju halaman apartemen.
Setelah masuk ke dalam mobil, Susan memperkenalkan dua teman barunya. Michael dan Kelly. Mereka bertiga adalah pemuda asli Manhattan, sepantaranku. Di jok belakang ada Stovak dari Rumania dan Muller dari Jerman. Mereka berdua sudah aku kenal. Mereka satu program bersama Susan, perempuan sintal dari Itali. Sementara dengan Thomas aku sudah kenal di kantin kampus saat makan bareng Susan.
"Dimana Andre?" tanya Stovak.
"Bareng teman-temannya ke gereja."
"Oh anak alim..."
"I think so."
"Ah kamu juga, Son."
"Itu bagian dari hidupku."
"Don't talk about it anymore!" Susan menyergap kami.
Kami hanya diam sebentar lalu tertawa lebar. Aku menikmati tawa mereka yang lepas dan menikmati juga ketika mereka tidak suka dengan segala urusan ibadah, seperti yang aku dan Andre lakukan.
"Kita mau kemana?"
"It's weekend, Eson. Time to hang out."
Susan benar-benar seperti seorang bos yang sudah mengatur semua rencana. Aku hanya mengangguk dan siap mengikuti arah perjalanan mereka.
Aku berada di jok belakang bersama Stovak dan Muller. Dengan suara kecil aku melanjutkan obrolan bersama mereka di tengah suara musik R&B yang mendominasi. Kami kadang lelah sendiri untuk mengobrol di tengah situasi seperti itu. Aku memilih menabur pandang menikmati suasana baru yang belum ketemui di sepanjang jalan yang kami lewati. Aku masih tidak tahu kemana tujuan kami.
"Sebenarnya kita mau kemana?" tanyaku seraya berbisik di telinga Muller.
"Saya tidak mengerti mau kemana ini." Muller lalu menggeleng.
"Ah, sudah. Ini weekend yang pasti bakal seru," Stovak ikut menenangkan pikiranku.
Aku masih tak habis pikir kenapa mereka berdua juga tidak tahu kemana akan hang-out. Saya curiga ini semua adalah skenario mereka bersama. Tapi aku percaya kepada Susan, Muller dan Stovak. Mereka adalah teman baik yang hangat dan akrab selama ini.
Sekitar 40 menit perjalanan, akhirnya mobil kami menepi dan mau parkir. Secara awas aku perhatikan sekeliling melalui kaca mobil yang terbuka. Aku tidak menemukan tempat istimewa untuk hang-out di sekitar. Kami pun keluar mobil. Susan sibuk mengeluarkan bungkusan plastik. Ada sekitar lima bungkus plastik bersama kami.
"Let's go!" suara Susan begitu nyaring terdengar di telinga kami.
Aku dan Muller membuntut dari belakang mengikuti langkah gontai mereka. Oh, di bawah sana ternyata ada taman luas dan orang-orang sedang ramai menikmati sore di musim panas. Ternyata tempat ini yang menjadi pilihan Susan untuk menghabiskan akhir pekan. Susan langsung mengeluarkan semacam piringan karet dari tasnya.
"Let's play Frisbee," ujar Susan
"Saya belum pernah main," akuku jujur kepada mereka.
"Jangan khawatir. Saya akan ajari," timpal Thomas.
Kami pun bermain Frisbee. Ternyata permainan ini tidak terlalu sulit bagiku dan aku pun langsung dengan baik bisa melempar dan menangkap piringan Frisbee. Kami membentuk lingkaran luas dengan tujuh orang.
Matahari sudah mulai tenggelam dan cahaya lampu taman menggantikan cahaya matahari. Kami sudah berhenti main Frisbee. Sebagian dari kami ada yang jogging ringan seperti kebanyakan orang-orang di taman ini. Aku, Muller dan Stovak hanya rebahan di atas rumput sambil menikmati air mancur buatan di sebelah kiri yang dibangun seperti sebuah bukit kecil. Taman Columbus ini sangat cocok untuk tempat jogging dan bermain di akhir pekan bagi masyarakat kota Manhattan. Mereka bisa menikmati akhir pekan dengan murah dan sehat. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, kami langsung mengambil tempat duduk. Susan mengeluarkan cola dan fast food: pizza dan kentang. Kami makan malam bersama-sama.
Perlahan mereka yang sedari tadi bermain di taman mulai berkumpul dan duduk-duduk santai di halaman yang sangat luas. Ada yang tiduran dengan alas seprai yang mereka bawa, ada pula yang membawa tempat duduk lipat dari kain yang mereka pasang di tengah taman. Di sore yang mulai remang itu, suasana seantero taman berubah menjadi semacam kafe-kafe kecil dengan hidangan masing-masing. Tanpa kusadari dari arah kananku ada sebuah panggung yang baru saja mereka pasang, panggung kecil dari lapak kayu dengan kain putih yang menutupi latarnya.
"Ada acara apa malam ini?" aku tanya kepada teman-temanku yang tengah menikmati kola.
"Nonton film bareng," jelas Thomas.
"Nonton bareng di taman begini?"
"Iya. Bagi yang suka silahkan. Saat musim panas begini kegiatan seperti ini pasti ada."
"Kita mau nonton?"
"Jelas dong!" timpal Susan.
Aku menatap wajah mereka sekilas. Mereka sepertinya sudah merencanakan nonton banreng di taman ini. Aku pun lalu mengangguk sembari pamit ke toilet.
Cara pamit ke toilet seperti ini sudah menjadi senjataku untuk menyempatkan diri shalat Maghrib. Aku tahu di kota ini tidak mudah mencari tempat ibadah. Masjid ada tapi itu pun jarang dan jaraknya cukup jauh. Menghadapi situasi seperti ini aku tidak hilang akal untuk selalu menyiapkan segala perlengkapan ibadah di bodybag: sejadah kecil, sarung dan peci. Meski tidak pasti aku pakai, tiga barang tersebut akan selalu ada di tasku. Aku khawatir bila celanaku kena najis dan sarung bisa menyelematkan ibadahku, begitu juga sejadah akan sangat bermanfaat bagiku bila harus melaksanakan shalat di tepian taman seperti ini.
Pengalaman seperti ini bukan hanya sekali dua kali aku lakukan selama di kota Manhattan. Aku sudah tidak ketar-ketir lagi dengan lirikan mata sinis mereka atau pertanyaan-pertanyaan yang mereka melontarkan sehabis aku selesai shalat. Pernah suatu waktu aku shalat di pojokan ruang baca perpustakaan di kampusku. Mereka pada awalnya memang banyak tanya dan penasaran mengapa aku hingga sebegitunya melaksanakan ibadah. Namun pelan-pelan mereka mengerti tentang kewajiban yang sudah jadi kepercayaan bagiku, juga umat agama lain. Menghadapi kenyataan seperti itu aku merasa punya kewajiban untuk memberikan pemahaman tentang Islam kepada mereka agar perkenalan mereka tentang Islam yang hanya lewat media tidak lagi menjadi dasar klaim atas apa yang belum dipelajari secara tekun dan benar. Mendengarkan cerita-cerita seperti itu, banyak teman-temanku mulai beranjak paham dan berpikiran terbuka. Aku sangat senang bila penjelasanku bisa mengantarkan pemahaman Islam yang lebih terbuka dan aspek-aspek sosial dalam agama tidak lagi terhalangi oleh praktik-praktik kekerasan yang mencoreng nama agama Islam.
Selesai shalat, aku pun kembali bersama mereka. Aku tidak terkejut lagi jika di hadapan kami ada botol bir seperti yang kulihat saat itu. Dan pemandangan di taman itu pun menjadi berubah saat temaram seperti itu. Pasangan muda mudi mulai sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Aku tidak terkejut lagi menyaksikan mereka bebas berciuman sepuasnya. Suasana taman terasa menjadi liar dan panas di saat senja seperti itu.
"Andre, apa yang bisa mempertemukan kita setelah dari tanah asing ini?"
"Bukankah kita bisa saling berkunjung? Kamu di Madura dan saya di Salatiga."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Aku ingin kita punya momentum ingatan, dan syukur jika itu bisa menjadi mimpi kita bedua."
Andre diam. Ia seperti tidak ingin melanjutkan obrolan di malam itu. Bulu matanya seperti sebuah pintu yang minta segera dikatupkan. Seperti juga mataku. Kantuk semakin mengeratkan jendela kamar apartemen. Mengunci suara-suara burung aneh yang berseleweran di luar kamar. Malam itu benar-benar senyap. Hanya bunyi kereta barang yang ketika jam dinding mematok angka 12 bagai serdadu perang.
"Kau sudah benar-benar mau tidur, Andre?"
Suaraku tidak digubris. Aku coba menatapnya dengan sisa tenagaku yang seharian kuperas untuk menikmati kota yang baru satu bulan lebih kutinggali. "Oh, sleep tight, bro!"
Kubiarkan tubuhku telentang pada sebuah ranjang seukuran dua tubuh orang dewasa. Ranjang kami hanya dipisahkan oleh meja kecil seperti lemari kotak tempat kami menaruh barang-barang penting untuk keperluan kampus, tentu dokumen-dokumen imigrasi yang harus kami jaga. Berseprei putih dengan dua bantal dan satu guling. Kamar ini selalu menjadi peraduan yang tak ada duanya ketika kami lelah karena aktivitas seharian yang tak kepalang. Tak jarang kami terlelap sebelum sempat mengobrol satu patah kata pun--tentang pengalaman hari ini atau tentang apapun yang mungkin menurut kami bisa diceritakan.
Posisi tidur kami aneh, begitu komentar si Rima, teman dari Indonesia yang sudah satu tahun studi di kampus yang baru kami kunjungin untuk short course. Setiap datang ke kamar untuk sekedar mengobrol atau bawa masakan Indonesia, Rima selalu bilang kenapa tidak tidur dengan arah yang sama. Aku tidak terlalu mengubrisnya meski terkadang ingin sekali tanya kenapa Andre selalu tidur dengan membelakangi jendela. Suatu ketika aku pernah bilang "coba tidur menghadap jendela mumpung bulan mau tenggelam" tapi Andre yang hanya diam seribu bahasa. Andre biasa tidur dengan membelakangi jendela (berarti ia menatap lemari kamar besar yang berisi koper dan tas kami, yang otomatis juga menatap pintu keluar). Sementara aku lebih suka menatap jendela, tepat di atas lemari kecil.
Meski rasa kantuk sudah menyerang sedari tadi, aku belum bisa memejamkan mata malam itu. Mataku semakin liar menjelajahi sela-sela reranting dan dedaunan pohon oak di luar kamar yang diterangi sinar bulan malam itu. Sinar bulan tanggal 19 hijriah masih cukup kuat untuk menerangi celah-celah pohon. Mataku tengah membayangkan ada seekor burung tertidur di salah satu rantingnya. Lalu aku dan teman-temanku mengendap-endap membawa senter dengan cahaya terang yang cukup untuk menyilaukan mata seekor burung. Cahaya itu lalu ditembakkan di matanya, dan aku dengan pelan memanjat pohon itu. Selama aku tidak menimbulkan gerak, burung itu pasti akan tertangkap. Itu sudah aku buktikan waktu aku masih kanak-kanak di kampung.
Tapi apakah aku akan melakukan itu sekarang? Apakah di pohon ini ada burung tidur? Atau jangan-jangan burung mempunyai apartemen seperti tempatku sekarang? Ah... pikiranku benar-benar meracau.
Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan mengambil balpen di atas meja kecil. Tak bantal yang sedari tadi sudah aku siapkan menyanggah kepala turut kubawa serta menuju ruang belajar di sebelah kamar tidurku. Di ruangan ini aku biasa menghabiskan waktu kesendirianku, baik ketika aku belajar, membaca, dan menulis ataupun ketika tidak bisa tidur. Ruangan ini rapi dengan sofa dan meja kaca yang cantik dan mengkilap. Ini cocok untuk ruang tamu sebenarnya. Tapi karena jarang ada tamu yang masuk ke apartemen kami, ruangan ini kami setting menjadi ruang belajar di mana buku dan laptop dibiarkan tergeletak di sana. Namun begitu, tak jarang aku terlelap di sana di atas sofa ketika kamar tidur tidak mampu meninabobokan mata dan pikiranku.
Kali ini aku inigin mencari kantukku di sana sembari membuka sebuah buku novel yang versi bahasa Indonesianya sudah pernah kubaca: The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway, sebuah novel hadiah dari conversation partner-ku yang kebetulan sangat menyukai karya-karya sastra dunia. Tonis merasa sangat beruntung karena bertemu denganku yang sama-sama penyuka karya-karya sastra. Dia bahkan minta karya-karya prosais Indonesia yang rekommended. Saya tidak segan menyebutkan nama seperti Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam. Tonis sudah pernah membaca sedikit informasi tentang Pram, tapi novel-novelnya belum pernah dia baca. Aku sudah menunjukkan beberapa novel Pram seperti tetralogi Pulau Buru yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dia begitu antusias untuk membeli empat novel berkelas itu.
Dua hari setelah mengobrol tentang buku Pram, Tonis tiba-tiba mengeluarkan novel Child of All Nations dari tas gendongnya. "Aku beli dari e-bay."
Aku hanya melongo. "Yeah, fantastik!" Tak ada lagi kata yang bisa kusodorkan untuk memberikan apresiasi kepada Tonis.
"Aku juga ingin beli punya Umar Kayam yang kamu maksud. Tapi belum aku temukan di Amozon."
Aku kembali melongo. "Saya bantu carikan, ya."
"Wow, terima kasih banyak, Eson."
"Sama-sama."
Mataku berkedip berat. Semakin berat. Wajah Tonis pelan-pelan menghilang dari ingatanku. Stiker bertuliskan Columbia University yang menempel pada laptopku perlahan mengawang bagai fatamorgana; mengombak dan semakin menjauh, sebelum semuanya benar-benar hitam dalam lipatan mataku.
***
Manhattan memang bukan sekedar kota biasa bagiku. Di sini semua menjadi serba mungkin. Ia seperti seperangkat kotak mimpi di mana aku bisa menikmati semua ketidakmungkinan menjadi mungkin. Aku mendapati hal-hal baru di luar pengalamanku. Orang-orang bisa begitu mudah menenteng botol alkohol dan menenggaknya sepanjang jalan mereka mau; mereka dengan mudah berciuman seperti sedang memulai sebuah percintaan menuju ranjang di malam hari. Begtiu panas. Dan yang membuatku selalu waspada adalah ancaman kriminal yang kapan saja bisa menghukumku.
Aku sadar, begitu juga Andre, untuk menghindari area-area rawan kriminal. Kami tidak ingin terlibat atau mendengar sedetik pun letusan pistol yang legal di sini.
Iya. Aku seorang anak kampung yang hidup dengan duniaku sendiri. Tapi di sini aku dipertaruhkan untuk sebisa mungkin belajar kepada pengalaman mereka.
Hari ini aku sendiri. Andre sedang bersama teman-temannya ke gereja. Aku memilih memunuhi sebuah undangan hang out bersama teman-teman baru dari Eropa yang se- program denganku. Untuk hari Minggu ini aku tidak ikut Andre ke gereja. Aku sudah pamit ingin ikut jalan-jalan bersama teman-teman baru. Kurasa sudah cukup selama tiga bulan kemarin aku tidak pernah absen bersama Andre ikut ke gereja. Meskipun aku tidak paham ritual yang mereka jalankan di gereja, aku hanya percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana dan aku bisa berdoa di mana pun. Di kota asing ini aku belajar melawan ketakutanku sendiri.
Sejak awal datang ke kota ini kita masing-masing sudah berkomitmen untuk saling membantu dan menyelamatkan. Karena kami di sini hanya berdua sebagai mahasiswa pertukaran. Mereka di luar sana adalah asing bagi kami. Kami sadar untuk saling menjaga diri kami masing-masing--sukses hingga program selesai selama satu semester ini.
Pengalaman bersama Andre adalah pelajaran yang sangat berharga bagiku. Agama tidak lagi menjadi sekat kami. Kami boleh berbeda keyakinan tapi jiwa kemanusiaan kami harus tetap saling dijaga, demi saling menyelamatkan. Aku juga sadar betapa baiknya Andre ketika dia bersedia menemaniku shalat Jum'at di sebuah masjid di tengah kota. Dia menawarkan diri agar bisa menemaniku ibadah di hari Jumat di minggu pertama aku sampai di Manhattan. Meski tidak masuk masjid, kesediaannya menemaniku ibadah sudah luar biasa. Dia Katolik taat yang mengerti agama sebagai ritual yang imbang antara kemanusiaan dan ketuhanan.
"Kring... kring.... kring...."
Bel kamar apartemen berdering. Tanpa pikir panjang aku segera membukakan pintu. Ternyata betul, mereka datang tepat waktu, seperti janji kami sebelumnya: pukul 3 pm.
"Hey man, bring your camera," sergap Susan ketika melihatku hanya dengan tangan kosong.
"Ohya, pasti dong. Mau masuk dulu?" pangkasku singkat.
"Tidak. Teman-teman sudah siap di bawah. Andre mana?"
"Okay. Beres. By the way, it's Sunday, Susan. Church time!"
Susan hanya melongo polos. Begitu juga si Thomas. Hanya senyum datar yang terpintal dari muka mereka. Tanpa banyak basa-basi, kami langsung menuju halaman apartemen.
Setelah masuk ke dalam mobil, Susan memperkenalkan dua teman barunya. Michael dan Kelly. Mereka bertiga adalah pemuda asli Manhattan, sepantaranku. Di jok belakang ada Stovak dari Rumania dan Muller dari Jerman. Mereka berdua sudah aku kenal. Mereka satu program bersama Susan, perempuan sintal dari Itali. Sementara dengan Thomas aku sudah kenal di kantin kampus saat makan bareng Susan.
"Dimana Andre?" tanya Stovak.
"Bareng teman-temannya ke gereja."
"Oh anak alim..."
"I think so."
"Ah kamu juga, Son."
"Itu bagian dari hidupku."
"Don't talk about it anymore!" Susan menyergap kami.
Kami hanya diam sebentar lalu tertawa lebar. Aku menikmati tawa mereka yang lepas dan menikmati juga ketika mereka tidak suka dengan segala urusan ibadah, seperti yang aku dan Andre lakukan.
"Kita mau kemana?"
"It's weekend, Eson. Time to hang out."
Susan benar-benar seperti seorang bos yang sudah mengatur semua rencana. Aku hanya mengangguk dan siap mengikuti arah perjalanan mereka.
Aku berada di jok belakang bersama Stovak dan Muller. Dengan suara kecil aku melanjutkan obrolan bersama mereka di tengah suara musik R&B yang mendominasi. Kami kadang lelah sendiri untuk mengobrol di tengah situasi seperti itu. Aku memilih menabur pandang menikmati suasana baru yang belum ketemui di sepanjang jalan yang kami lewati. Aku masih tidak tahu kemana tujuan kami.
"Sebenarnya kita mau kemana?" tanyaku seraya berbisik di telinga Muller.
"Saya tidak mengerti mau kemana ini." Muller lalu menggeleng.
"Ah, sudah. Ini weekend yang pasti bakal seru," Stovak ikut menenangkan pikiranku.
Aku masih tak habis pikir kenapa mereka berdua juga tidak tahu kemana akan hang-out. Saya curiga ini semua adalah skenario mereka bersama. Tapi aku percaya kepada Susan, Muller dan Stovak. Mereka adalah teman baik yang hangat dan akrab selama ini.
Sekitar 40 menit perjalanan, akhirnya mobil kami menepi dan mau parkir. Secara awas aku perhatikan sekeliling melalui kaca mobil yang terbuka. Aku tidak menemukan tempat istimewa untuk hang-out di sekitar. Kami pun keluar mobil. Susan sibuk mengeluarkan bungkusan plastik. Ada sekitar lima bungkus plastik bersama kami.
"Let's go!" suara Susan begitu nyaring terdengar di telinga kami.
Aku dan Muller membuntut dari belakang mengikuti langkah gontai mereka. Oh, di bawah sana ternyata ada taman luas dan orang-orang sedang ramai menikmati sore di musim panas. Ternyata tempat ini yang menjadi pilihan Susan untuk menghabiskan akhir pekan. Susan langsung mengeluarkan semacam piringan karet dari tasnya.
"Let's play Frisbee," ujar Susan
"Saya belum pernah main," akuku jujur kepada mereka.
"Jangan khawatir. Saya akan ajari," timpal Thomas.
Kami pun bermain Frisbee. Ternyata permainan ini tidak terlalu sulit bagiku dan aku pun langsung dengan baik bisa melempar dan menangkap piringan Frisbee. Kami membentuk lingkaran luas dengan tujuh orang.
Matahari sudah mulai tenggelam dan cahaya lampu taman menggantikan cahaya matahari. Kami sudah berhenti main Frisbee. Sebagian dari kami ada yang jogging ringan seperti kebanyakan orang-orang di taman ini. Aku, Muller dan Stovak hanya rebahan di atas rumput sambil menikmati air mancur buatan di sebelah kiri yang dibangun seperti sebuah bukit kecil. Taman Columbus ini sangat cocok untuk tempat jogging dan bermain di akhir pekan bagi masyarakat kota Manhattan. Mereka bisa menikmati akhir pekan dengan murah dan sehat. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, kami langsung mengambil tempat duduk. Susan mengeluarkan cola dan fast food: pizza dan kentang. Kami makan malam bersama-sama.
Perlahan mereka yang sedari tadi bermain di taman mulai berkumpul dan duduk-duduk santai di halaman yang sangat luas. Ada yang tiduran dengan alas seprai yang mereka bawa, ada pula yang membawa tempat duduk lipat dari kain yang mereka pasang di tengah taman. Di sore yang mulai remang itu, suasana seantero taman berubah menjadi semacam kafe-kafe kecil dengan hidangan masing-masing. Tanpa kusadari dari arah kananku ada sebuah panggung yang baru saja mereka pasang, panggung kecil dari lapak kayu dengan kain putih yang menutupi latarnya.
"Ada acara apa malam ini?" aku tanya kepada teman-temanku yang tengah menikmati kola.
"Nonton film bareng," jelas Thomas.
"Nonton bareng di taman begini?"
"Iya. Bagi yang suka silahkan. Saat musim panas begini kegiatan seperti ini pasti ada."
"Kita mau nonton?"
"Jelas dong!" timpal Susan.
Aku menatap wajah mereka sekilas. Mereka sepertinya sudah merencanakan nonton banreng di taman ini. Aku pun lalu mengangguk sembari pamit ke toilet.
Cara pamit ke toilet seperti ini sudah menjadi senjataku untuk menyempatkan diri shalat Maghrib. Aku tahu di kota ini tidak mudah mencari tempat ibadah. Masjid ada tapi itu pun jarang dan jaraknya cukup jauh. Menghadapi situasi seperti ini aku tidak hilang akal untuk selalu menyiapkan segala perlengkapan ibadah di bodybag: sejadah kecil, sarung dan peci. Meski tidak pasti aku pakai, tiga barang tersebut akan selalu ada di tasku. Aku khawatir bila celanaku kena najis dan sarung bisa menyelematkan ibadahku, begitu juga sejadah akan sangat bermanfaat bagiku bila harus melaksanakan shalat di tepian taman seperti ini.
Pengalaman seperti ini bukan hanya sekali dua kali aku lakukan selama di kota Manhattan. Aku sudah tidak ketar-ketir lagi dengan lirikan mata sinis mereka atau pertanyaan-pertanyaan yang mereka melontarkan sehabis aku selesai shalat. Pernah suatu waktu aku shalat di pojokan ruang baca perpustakaan di kampusku. Mereka pada awalnya memang banyak tanya dan penasaran mengapa aku hingga sebegitunya melaksanakan ibadah. Namun pelan-pelan mereka mengerti tentang kewajiban yang sudah jadi kepercayaan bagiku, juga umat agama lain. Menghadapi kenyataan seperti itu aku merasa punya kewajiban untuk memberikan pemahaman tentang Islam kepada mereka agar perkenalan mereka tentang Islam yang hanya lewat media tidak lagi menjadi dasar klaim atas apa yang belum dipelajari secara tekun dan benar. Mendengarkan cerita-cerita seperti itu, banyak teman-temanku mulai beranjak paham dan berpikiran terbuka. Aku sangat senang bila penjelasanku bisa mengantarkan pemahaman Islam yang lebih terbuka dan aspek-aspek sosial dalam agama tidak lagi terhalangi oleh praktik-praktik kekerasan yang mencoreng nama agama Islam.
Selesai shalat, aku pun kembali bersama mereka. Aku tidak terkejut lagi jika di hadapan kami ada botol bir seperti yang kulihat saat itu. Dan pemandangan di taman itu pun menjadi berubah saat temaram seperti itu. Pasangan muda mudi mulai sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Aku tidak terkejut lagi menyaksikan mereka bebas berciuman sepuasnya. Suasana taman terasa menjadi liar dan panas di saat senja seperti itu.
Wednesday, March 17, 2010
Seranai Waktu
—byan
ini tentang memulai sebuah perjalanan
jalan yang menikum dari masing-masing
kita
arah serupa sebuah kastil di sebuah
bukit curam
atau mungkin lautan yang menunggu kapan
saja
kita pulang
kita memang tidak pernah tahu, bukan
tentang seranai waktu dan ruang yang menganga
di setiap kita memulai sebuah
perjalanan
tapi aku sudah memilih bersamamu
dan engkau memilih bersamaku
mengarungi arti keberadaanku
mencari makna keberadaanmu
menjadi keberadaan kita
ini tentang memulai sebuah perjalanan
tentang keyakinan untuk menutupi
keraguan
sebuah permainan yang dimulai
masing-masing
dan memaknainya dalam saku celana
kita
dengan aroma nafas yang terhirup di
sebuah pagi
saat embun akan memulai mengering
di tangan kita masing-masing
Ini tentang memulai sebuah perjalanan
yang tertinggal di belakang
adalah seiris mata pisau
sesekali akan menikam kita
Papringan, Februari 2010
Wednesday, March 10, 2010
Gus Zainal dan Revitalisasi Kaum Santri
(Catatan Satu Tahun Kematian KH Zainal Arifin Thaha)
Tulisan ini digunting dari blog Fatkhul Anas,seorang sahabat seperjuangan saya di bawah asuhan Gus Zainal.
14 Maret 2007 jagad Yogyakarta kehilangan seorang cendekiawan dan budayawan muda kharismatik. Dialah KH Zainal Arifin Thaha, cendekiawan kelahiran kediri, 5 Agustus 1972. Dalam usianya yang ke-35 KH Zainal Arifin Thaha mangkat menuju kehadirat Ilahi dengan meninggalkan istri tercinta, 5 orang putra serta para santri Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari. Gus Zainal panggilan akrab bagi KH Zainal Arifih Thaha, adalah sosok manusia istimewa. Beliau selain dikenal sebagai cendekiawan juga merangkum budayawan, penyair, dosen, seniman, bahkan Kyai. Disinilah kepribadian yang luar biasa terangkum dalam diri Gus Zainal. Hanya saja belum sempat melanjutkan cita-cita luhurnya, beliau harus pulang kehadiran Ilahi dalam usia muda.
Tulisan ini digunting dari blog Fatkhul Anas,seorang sahabat seperjuangan saya di bawah asuhan Gus Zainal.
14 Maret 2007 jagad Yogyakarta kehilangan seorang cendekiawan dan budayawan muda kharismatik. Dialah KH Zainal Arifin Thaha, cendekiawan kelahiran kediri, 5 Agustus 1972. Dalam usianya yang ke-35 KH Zainal Arifin Thaha mangkat menuju kehadirat Ilahi dengan meninggalkan istri tercinta, 5 orang putra serta para santri Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Hasyim Asy’ari. Gus Zainal panggilan akrab bagi KH Zainal Arifih Thaha, adalah sosok manusia istimewa. Beliau selain dikenal sebagai cendekiawan juga merangkum budayawan, penyair, dosen, seniman, bahkan Kyai. Disinilah kepribadian yang luar biasa terangkum dalam diri Gus Zainal. Hanya saja belum sempat melanjutkan cita-cita luhurnya, beliau harus pulang kehadiran Ilahi dalam usia muda.
Wednesday, February 03, 2010
Mendulang Bangsa yang Hilang
Taken from Kompas (2010) |
Keyakinan ini menancap
di dada Milorad Pavic, profesor sejarah kesusastraan Universitas Beograd,
universitas terbesar dan paling tua di Serbia, yang sekaligus merupakan
salah satu penyair kenamaan Yugoslavia. Pavic membuktikan diri dengan
menuliskan novel bergaya intertekstual ini.
Baginya, apa yang ia rangkai dalam karyanya ini sebagai upaya menghadirkan kembali memori masa silam sebuah bangsa yang kini sudah lenyap dari peradaban: bangsa Khazar. Ia mencoba menelusuri berbagai sumber dan gelombang perseteruan bangsa itu. Meski karya fiksi, novel ini tetap menjadi penjentik ingatan kolektif kita pada sebuah bangsa yang sempat mempunyai peradaban gemilang pada masanya.
Tidak bisa dimungkiri,
sejarah telah mencatat dengan tinta merah tentang bangsa-bangsa yang lenyap
tanpa jejak. Bisa disebutkan beberapa bangsa yang senasib dengan Khazar,
seperti Inca (1438-1533) di Peru dan Aztek di Meksiko sekitar abad ke-12. Juga
Mohenjodaro, Harappa, dan Arya yang hidup di lembah Sungai Indus (Pakistan
sekarang) 2000-1000 SM. Mereka nyaris tidak menyisakan warisan sejarah dan
peninggalan. Kebanyakan musnah karena penaklukan, perang, dan ekspansi tanah
jajahan, juga tak luput karena bencana alam.
Nama ”Khazar”
(Khazaria: Arab) berkaitan dengan kata kerja bahasa Turki yang berarti
”mengembara” (gezer dalam bahasa Turki modern). Pada abad ke-7 M mereka
mendirikan sebuah Khaganat (nama kerajaan Khazar) yang mandiri di Kaukasus
Utara di sepanjang Laut Kaspia. Pada puncak kejayaannya, mereka dan
cabang-cabang mereka menguasai sebagian besar dari wilayah Rusia selatan
sekarang, Kazakhstan barat, Ukraina timur, dan sebagian besar Kaukasus
(termasuk Dagestan, Azerbaijan, dan Georgia), serta daerah Krim. Bangsa Khazar
memasuki catatan sejarah ketika mereka memerangi bangsa Arab dan bersekutu
dengan Kekaisaran Bizentium pada 627 M (hal 10).
Semesta Religiositas
Menjajaki sejarah
Khazar bagai menyelami laut keruh dan bahkan hitam. Kepastian sejarah yang bisa
diandalkan belum bisa diyakinkan. Karena itu, hadirnya novel ini menjadi
istimewa di tengah kebingungan para sejarawan mencari fakta. Pavic sangat lihai
mencampuradukkan sejarah dengan fiksi melalui novel bergenre baru dengan
eksperimen-postmodern yang belum dilakukan oleh novelis lain. Cara penyusunan
yang unik dan sangat rapi, seperti sebuah ensiklopedia, menjadi keistimewaan
yang tinggi dalam novel ini.
Novel ini secara
spesifik mengambil fase pergolakan kehidupan Khazar di abad ke-9 M hingga awal
abad ke-10 M. Ketika itu terjadi sebuah peristiwa krusial yang menentukan masa
depan bangsa Khazar, yang disebut Polemik Khazar. Ini adalah peristiwa
perpindahan mereka dari keyakinan asli mereka (tidak diketahui) ke salah satu
(juga tidak diketahui) dari tiga agama yang dikenal pada masa lalu maupun
sekarang—Yahudi, Islam, atau Kristen. Keruntuhan Imperium Khazar terjadi tak
lama setelah perpindahan agama itu. Seorang panglima perang Rusia abad ke-10,
Pangeran Svyatoslav, menelan Imperium Khazar layaknya melahap sebuah apel tanpa
perlu turun dari kudanya (hal 11).
Polemik Khazar yang
melibatkan tiga agama besar di atas menambahkan kecemerlangan novel ini.
Kelebihannya karena menyajikan khazanah agama-agama besar di muka bumi yang
mempunyai sejarah panjang dalam peradaban kemanusiaan. Semesta religiositas ini
sangat menonjol dan dominan di tangan Pavic. Ia mencoba proporsional dalam
menyajikan sumber-sumber tentang Khazar dalam perspektif agama Kristen, Islam,
dan Yahudi ke dalam tiga jilid, yakni Buku Merah (dengan sudut pandang
Kristen), Buku Hijau (dengan sudut pandang Islam), dan Buku Kuning (dengan
sudut pandang Yahudi). Masing-masing memberikan penjelasan tentang bangsa
Khazar dan polemik yang menyertainya.
Tiga agama di atas
dalam studi agama disebut sebagai agama samawi atau agama yang turun dari
langit. Mereka telah menunjukkan dirinya sebagai agama yang mempunyai peradaban
penting masing- masing. Ketiga agama di atas lahir dari tanah yang sama, yaitu
Jerusalem.
Novel ini mencoba
menyeimbangkan dan membangun jembatan dialogis tentang Khazar dari sumber
ketiga agama di atas. Dengan demikian, tampak sekali harmoni dan sinergi yang
hendak dibangun Pavic. Ia tidak menonjolkan satu agama dalam memberikan keterangan
tentang bangsa Khazar. Pavic sangat cerdik dengan melakukan kerja serius untuk
mengumpulkan narasi-narasi dari ketiga agama secara adil dan bijak. Karena itu,
meskipun ini hanya fiksi, semua orang yang paham tentang sejarah pada masa itu
akan merasa puas terhadap mahakarya Pavic ini.
Keistimewaan lain,
ketika membaca novel ini, kita dibebaskan untuk memulai dari mana saja, sesuai
dengan selera, keyakinan, dan kecenderungan latar belakang masing-masing.
Dimulai menurut konteks latar agama, dipersilakan, pun dari tokoh-tokoh ketiga
agama yang bisa saja ditemukan dalam novel ini. Namanya saja sebuah
ensiklopedia dengan subyek yang sama, yaitu Khazar.
Sebuah Gugatan
Hadirnya novel ini
mempunyai makna yang kompleks. Ia bukan saja hanya menghadirkan memori kolektif
sebuah bangsa, dengan rekam jejak sejarah dan bekas-bekas peninggalannya. Lebih
jauh, novel ini sepertinya ingin menggugat ”mayoritas” atau siapa pun bangsa
dan negara yang mempunyai
kekuatan besar. Mereka yang kemudian menggunakan kekuatan itu untuk
menghabiskan sebuah suku, agama, bangsa, ataupun negara ”minoritas”.
Dengan novel ini,
Pavic ingin menegaskan diri sebagai duta kaum minoritas, terpinggirkan, dan
kalah. Ia memberikan pelajaran penting bagi peradaban manusia masa kini tentang
bagaimana harus menyikapi khazanah dan kekayaan yang beraneka ragam mengenai
sebuah bangsa dan negara. Meskipun tidak secara tersurat membeberkan semua itu,
Pavic tetap saja menunjukkannya dengan konsisten, tekun, dan bersabar, yaitu
melalui upaya penelusuran tentang jejak sejarah dan sumber penting yang terjadi
di balik bangsa Khazar.
Thursday, January 07, 2010
Mobil Baru untuk Kado Menteri
Versi cetak tulisan ini dimuat di Suara Merdeka, 07 Januari 2010
TAHUN baru mobil baru. Begitulah kenyataan yang telah diterima oleh jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Tahun 2010 tentu akan menjadi tahun indah bagi mereka yang mendapatkan barang mewah tersebut karena kado mobil mewah untuk mereka bukanlah barang yang mudah didapat dan dipakai sembarang orang.
TAHUN baru mobil baru. Begitulah kenyataan yang telah diterima oleh jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Tahun 2010 tentu akan menjadi tahun indah bagi mereka yang mendapatkan barang mewah tersebut karena kado mobil mewah untuk mereka bukanlah barang yang mudah didapat dan dipakai sembarang orang.
Mungkin hanya pelaku bisnis andal dengan penghasilan tinggi yang siap memiliki sedan Toyota Crown Royal Saloon, seperti kendaraan para menteri tersebut, karena harga total plus pajaknya Rp 1,3 miliar/ unit. Mobil produksi Jepang yang dibeli untuk perjalanan dinas petinggi negara berjumlah 79 unit. Sebanyak 34 di antaranya untuk menteri, selebihnya untuk petinggi lainnya seperti DPD dan pejabat setara lainnya.
Sekarang, mobil dengan harga miliaran itu menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Rakyat menggugat karena uang yang digunakan untuk mobil dinas tersebut adalah milik rakyat kecil yang kemudian diplot oleh DPR periode 2004-2009 untuk anggaran fasilitas mobil mewah pejabat tinggi negara saat ini.
Jika seandainya anggaran untuk mobil disederhanakan dan dialihkan untuk pembangunan demi kesejahteraan rakyat, tentu semua lapisan bangsa Indonesia akan sangat respek dan menaruh hormat atas sikap kepahlawanan petinggi negara di tengah penderitaan rakyat dan ketidakpastian kondisi ekonomi ke depan.
Apakah etis para menteri berfoya-foya dengan fasilitas mewah di tengah kondisi rakyat yang memprihatinkan? Seperti kasus ibu di Desa Bangga, Sulawesi Tengah yang melahirkan kembar tiga di kamar mandi hanya karena tidak mampu membiayai jika bersalin di rumah sakit. Ibu tersebut harus berperang dengan maut di ujung Indonesia sana, sementara menteri menguap bangga di Jakarta.
Ini adalah cermin salah satu ketidakadilan yang terus membengkak dari tahun ke tahun. Kasus ini hanya sebagian dari setumpuk masalah serupa yang sangat lelah untuk diuraikan satu per satu. Apakah kelaparan dan gizi buruk di Yahukimo sana, ataupun di Manokwari, akan dibiarkan terus berlanjut setiap tahun? Sungguh sangat memalukan di mata rakyatnya sendiri jika kejadian yang sama terus berulang di Tanah Air yang konon kaya raya.
Gugatan rakyat adalah suara realitas yang prinsipil dan terang benderang adanya. Gugatan mereka adalah artikulasi yang harus dipahami secara realistik oleh petinggi negara. Jangan ada yang mendustai dan menutupi kondisi riil yang sudah sama-sama terekspose secara transparan di depan mata. Di sana-sani kesenjangan ekonomi dan sosial masih menganga, infrastruktur pendidikan yang terbengkalai sehingga generasi bangsa ini harus belajar di gubuk yang mengakibatkan kepada kemiskinan dan kelaparan yang tak kunjung selesai.
Bahkan, setiap tahun bangsa ini harus selalu menerima kenyataan tentang busung lapar dan kondisi infrastruktur pendidikan yang masih terbengkalai. Mereka meratapi getirnya kehidupan di bawah negara kesatuan ini, dan rakyat kita di mana-mana bahkan kehilangan harapan untuk menatap tahun baru 2010. Mereka maklum mengalami hal demikian karena kondisinya yang sudah tragis, sementara struktur negara justru semakin melemahkan kondisi mereka.
Dalam kondisi demikian, kekerasan tak ayal akan terus tumbuh subur di negeri ini. Keputusasaan dalam hidup yang memaksa pasangan keluarga bunuh diri, membantai anak sendiri, ataupun melakukan tindak kekerasan lainnya adalah bentuk logis dari pupusnya harapan rakyat kecil yang kehilangan lapangan pekerjaan, dan pendidikan yang makin melangit. Sekarang rakyat kecil terus terhempit nasibnya digilas para penguasa sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepekaan sosial.
Ada di manakah nurani petinggi bangsa saat ini? Pertanyaan ini perlu direnungkan bersama di tengah kondisi sosial masyarakat yang masih memprihatinkan. Lolosnya pengadaan mobil tersebut adalah representasi dari nurani para wakil rakyat dan petinggi negara lainnya. Kita bisa memahami nurani petinggi bangsa ini dari gaya mereka berbicara, bersikap, dan memanfaatkan fasilitas negara yang merupakan milik rakyat banyak.
Jangan-jangan anggaran untuk pengentasan kemiskinan dibelokkan atau dipangkas untuk membeli mobil dinas supermewah tersebut? Secara sederhana bisa dipahami bahwa hadirnya mobil mewah akan mendefinisikan manusia (baca: nurani pejabat) yang menggunakannya.
Akhir-akhir ini, khususnya di kalangan elite metropolitan, ada kecenderungan bahwa manusia bisa dipahami melalui gaya mereka bermobil, tentu dengan merek yang menjadi gengsi. Manusia-manusia dalam konteks pemahaman tersebut adalah produk murni pragmatisme-kapital dan orang-orang yang menghamba kepada konsumerisme. Apakah para petinggi bangsa ini sudah dijangkiti penyakit ini?
Jika term ini yang dipakai, secara sederhana bisa disimpulkan bahwa petinggi negara, apakah pembuat anggaran ataupun pengguna mobil, telah mendefinisikan dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai kepekaan sosial. Karena dalam pikiran mereka sudah menggurita racun kapitalisme dan konsumerisme. Jadi kepuasan materi hanya menjadi tujuan mereka.
Sesuai Anggaran
Coba kita bandingkan dengan mobil menteri di Malaysia. Di negeri jiran itu, mobil dinas untuk pejabat sebagian besar adalah mobil keluaran Proton, BUMN asli Malaysia. Malaysia hanya meningkatkan spesifikasi agar para pejabat merasa nyaman dan memberikan keamanan lebih.
Yang pasti, kebanggaan terhadap produksi negeri sendiri menjadi nilai lebih bagi Malaysia. Bahkan di Belanda, mobil para menteri dibebaskan terserah selera mereka. Asalkan harganya sesuai anggaran. Tidak boleh melebihi 44,54 sen euro per km x usia mesin (sekitar Rp 650 juta).
Memang, secara legal formal pembelian mobil itu sah. Tapi secara nurani kemanusiaan atas nama bangsa sungguh tidak etis. Meminjam istilah Laoda Ida, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mendapatkan jatah mobil dengan miliaran ruiah itu sangat tidak pantas bagi pejabat tinggi untuk saat ini.
Begitu juga penuturan arif seorang Bibit Samad Riyanto yang mengedepankan kejernihan nuraninya dalam menyikapi kontroversi jatah mobil menteri. Bagi Bibit, jika dengan mobil mewah bisa mengurangi kasus korupsi, tentu sangat membanggakan. Namun, sejarah telah mencatat bahwa banyak kasus korupsi di kalangan elite meski fasilitas sudah melimpah.