Sunday, October 30, 2011

Menambal Teks Religiositas (yang) Getas

Versi cetak dari tulisan ini dimuat di Jurnal NasionalMinggu, 30 Oktober 2011

"Jika bumi, langit dan seisinya dicipta selama
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum hari pertama, dan jauh setelah
hari keenam?"

(Ahmad Nurullah, Setelah Hari Keenam)


personal doc
BAGI karya sastra puisi tidak ada konstruksi realitas yang ajeg, statis, dan terhenti sebagai makna tunggal yang selesai. Puisi selalu bersuspensi dalam menafsir, menciptakan, atapun "menghancurkan" kembali realitas itu sendiri. Puisi tidak pernah mengamini dirinya sebagai penganjur kemapanan; ia akan terus menguliti setiap inci esensi of being reality-dengan mempertanyakan keber-ada-an realitas itu sendiri, atau membenturkannya dengan entitas lain yang bahkan tak "berjejak".

Pada titik itulah puisi, ruang yang bukan manden (mundane), lahir. Puisi selalu (harus) menembus kejamakan alam pikir manusia yang dikonstruksi dari realitas yang "dibuat-dibuat" atas dasar interest dan kepentingan beberapa (sejarah) orang. Karena dalam puisi ada dewa bernama imajinasi yang mengantarkan semuanya menjadi mungkin, dan menegaskan bahwa ruh yang diasah oleh penyair berupa imajinasi telah melampaui realitas itu sendiri (beyond reality). Diktum popular dari Albert Einstein menguatkan proposisi tersebut bahwa "logic will get you A to B, imagination will take you everything."

Deskripsi di atas adalah secuil pengantar memasuki kumpulan puisi karangan penyair Ahmad Nurullah berjudul Setelah Hari Keenam. Judul buku yang diambil dari judul salah satu puisi di dalamnya (hlm 98-99) secara terang benderang sudah mempersoalkan atau mempertanyakan ulang tentang entitas pencitaan ragat raya (sama' wal ardl), yang menurut kitab suci (Al-Qur'an) diciptakan Tuhan selama enam hari (fi sittati ayyaam).Setelah Hari Keenam, atau sejak jauh sebelum hari pertama, apa yang Tuhan lakukan? Pertanyaan itu tentu menembus pola-pikir kebiasaan banyak orang; sebuah topik yang menurut banyak orang selesai, namun tidak di tangan penyair! Nurullah menjawabnya sendiri, namun dengan nada sinis dan memporak-porandakan akal jamak manusia beragama. Seperti dalam bait //... Aku tak hendak mengatakan:/ Tuhan adalah pengangguran//.

Ada yang getas dalam teks religiositas, sehingga penyair menambalnya dengan pertanyaan yang menyuruk-menusuk. Jika puisi ini diperuntukkan kepada para pemeluk teguh agama, yang sehari-hari menyantap teks agama secara artifisial, Nurullah tak ingin membiarkan mereka ber-taqlid buta dengan menambalnya-jika itu dianggap teks yang getas-pertanyaan puitik. Misalnya tergambar dalam puisi Di Tebing Waktu: Meditasi: //Sebelum jagat raya diciptakan,/apa yang dilakukan Tuhan, Stephen?/Membangun Surga?/Merancang Neraka?/Jauh sebelum ayah dan ibumu berpengantin,/di mana kau ada?//

Pertanyaan filosofis-eksistensinalis-tentang pra-ada, ada dan pasca-ada-membetot penyair melakukan kerja intens dengan menelisik teks-teks agama yang disimplifikasi secara literal. Akar eksistensinal tentang religiositas atau keilahian menjadi tema yang terus berdenyut, sehingga penyair dengan sangat tegas melakoni kerja filosofis tersebut dalam banyak puisi di buku ini.

Latar belakangnya sebagai orang Madura telah banyak menyita penyair dalam menulis puisi dengan tema-tema yang dekat seperti religiositas dan ketuhanan. Tapi topik religius yang ditulis Nurullah tidak seperti kebanyakan penyair di Indonesia, yang hanya merekam momen dan bahasa puitik yang digambarkan melalui bahasa-bahasa simbolik semata seperti kata sejadah, tasbih, kitab suci, masjid, mushalla, peci. Nurullah tidak seperti itu, dan bahkan bisa dipastikan ia tidak pernah menyebutkan kata-kata simbolis tentang agama selain hanya kata Tuhan. Nya, Mu dan Alkitab. Ia justru sangat kekeh dengan kritisisme terhadap ketuhanan, keberagamaan dan ciptaan itu sendiri, seperti sangat jelas tergambar dalam puisi Di Tebing Waktu: MeditasiNarkisus, Setelah Hari Keenam, dan Ritus Bunuh Diri. Artinya, Nurullah tidak hendak bermain dengan simbol-simbol agama-karena dalam puisi yang lain simbol dan teks justru dijewer oleh penyair-namun ia masuk kepada ranah filosofis tentang eksistensialisme: Ilahi dan ciptaanNya. Di situlah kelebihan Nurullah dalam membidik tema religiositas dalam puisi-puisinya.

Dalam konteks ini, Nurullah seperti ingin menegaskan tentang bahasa puisi, dalam tema Tariq Ramadan (2010:2), sebagai doublespeak, menawarkan kontradiksi demi kontradiksi dari teks puisi. Di situ berperan imajinasi dan metafora dalam puisi. Nurullah menyadari betul bagaimana membaca konsep teologi, agama, dan ciptaan dalam puisi-puisinya. Ia sangat berani mempertanyakan ulang tentang ciptaan karena bahasa puisi adalahdoublespeak di mana semua orang bisa masuk dan memaknainya sendiri. Nurullah seperti mengajarkan bagaimana membebaskan teks sebagai suatu bacaan dengan selongsong makna yang pekat, namun bebas diraba, dimasuki, atau dimuntahkannya kembali.

Puisi-puisi Nurullah dalam antologi ini mengajak pembaca mengkritiki setiap hal (realitas yang tersusun dalam teks), mulai dari suatu yang dekat-melekat dalam kehidupan kita hingga sesuatu yang jauh, atau dalam istilah Radhar Panca Dahana, yang memberiendorsement terhadap buku ini, "memasuki lorong terjauh sekaligus terdekat dari diri kita". Semangat mempertanyakan ulang tentang realitas misalnya ditunjukkan Nurullah melalui tanda tanya (question mark) yang bertebaran dalam antologi ini. Tercatat sekitar lebih dari 60 persen atau 32 dari 50 puisi dalam Setelah Hari Keenam dijejali dengan pertanyaan-pertanyaan penyair secara verbal. Lain lagi pertanyaan tidak verbal yang sengaja ditebar penyair melalui bait-bait puisi yang intens dan sublim dalam mempersoalkan ruang dan waktu.

Upaya Nurullah untuk terus melakukan pembacaan kritis terhadap teks dan tanda (dalam realita) dimulai dari sebuah "definisi" tentang makna di balik kata-kata, misalnya dalam puisinya yang berjudul Menginap di Sebuah Kastil dalam Puisimu. Di sana Nurullah menulis://Tak ada kata yang telanjang/Kata-kata berkabut. Atau berputar/Seperti rombongan penari balet/mengenakan busana berlapis/Ruang dan waktu berkelambu/Titik pun bercadar.//Ketika makna berkabut atau mengenakan busana berlapis, pada saat itulah teks menjadi suatu yang tidak lagi bermakna tunggal atau bahkan mempunyai kebenaran satu. Dalam teks puisi Nurullah, realita diperlakukan seperti sebuah teks: diinterpretasi, dan menjadi suatu yang belum final. Atau dalam bahasa Harold Bloom dipertegas bahwa "form" in poetry is itself a trope, a figurative substitution of the as-it-were "outside" of a poem for what the poem is supposed to represent or be "about." (Bloom dkk, 1979: 1).

Namun akhirnya dari sekian kegelisahaan penyair tentang Tuhan, agama dan ciptaan-Nya, puisi Perkampungan Ilahi telah menjawab kegelisahan tersebut dan menjadi puncak pencaharian Nurullah tentang ketuhanan itu sendiri, seperti digambarkan dalam larik://Tanah bukit lembah surut ke titik nihil/Antara nol dan minus yang panjang/Bagai barisan molekul berlari di dalam air/tanpa gelas. Bagai darah merah darah putih mengalir/tanpa jasad//Di perkampungan Ilahi/Tak ada lagi kebisingan/Kecuali nyanyian//. Puisi ini seperti menjadi puncak dan jawaban bagi kegelisahan demi kegelisahan penyair, karena dalamPerkampungan Ilahi penyair seperti sudah menemukan titik terang tentang Ilahi dan keilahian itu sendiri.

Namun, ironisnya puisi dari penyair Ahmad Nurullah yang bisa dinikmati dalam buku kumpulan tunggal hanya sebiji-tipis ini. Jalan kepenyairannya yang sepanjang sekitar 24 tahun itu hanya bisa ditandai dengan buku ini, Setelah Hari Keenam dengan 50 buah puisi saja!

0 comments: