Versi cetak tulisan ini dimuat di Suara Merdeka, 16 Apri 2013
Dalam minggu-minggu ini, jika berkunjung ke wilayah DIY,
terutama kota Yogyakarta Kabupaten Sleman, Anda menemukan suguhan menarik di
ruang publik yang layak diperbincangkan lebih serius, yaitu kebertebaran
spanduk di sejumlah ruas jalan utama ataupun hanya selebaran kecil yang
disebarkan melalui kertas fotokopi seadanya.
Nada pesan pada spanduk atau selebaran itu sama, yaitu rakyat Yogyakarta menolak premanisme. Penjabaran itu antara lain lewat kalimat, ’’Sejuta Preman Mati, Rakyat Jogja Tidak Rugi’’, ’’Anda Sopan Kami Hormat, Anda Preman Kami Sikat’’, dan agaknya ada pesan khusus untuk pelajar, ’’Ke Jogja Belajarlah yang Baik dan Jadilah Warga yang Baik. Jogja Nyaman Tanpa Preman’’.
Selain spanduk dan selebaran, di Yogyakarta banyak aksi yang secara khusus menolak segala bentuk kekerasan dan premanisme, baik yang dilakukan oleh kelompok pemuda maupun antaraliansi. Respons yang ditunjukkan warga Yogyakarta, jika bisa dikatakan demikian, adalah buntut dari kemerebakan kasus premanisme dalam satu tahun terakhir ini. Pemicunya adalah penganiayaan yang menewaskan anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo Serka Heru Santoso di Hugo’s Cafe Sleman pada Selasa (19/3). Insiden itu berlanjut pada eksekusi beraroma balas dendam terhadap 4 pelaku di LP Cebongan Sleman.
Mencermati respons masyarakat Yogyakarta terhadap premanisme, saya ingin kembali menelisik litani sejarah senada, yaitu operasi khusus yang dikenal sebagai penembakan misterius (petrus) tahun 1980-an yang bertujuan memberantas preman di Yogyakarta. Sejarah mencatat bahwa operasi itu konon dilancarkan oleh pemerintah, dan merembet ke beberapa kota di Jateng.
Yogyakarta menjadi salah satu daerah operasi pembunuhan banyak orang ’’tertuduh’’ preman, yang waktu itu kerap disebut gali (dari akronim gabungan anak liar) kelas kakap, tanpa melalui proses peradilan atau pembuktian semestinya. Terapi kejut berhasil menyiutkan nyali para gali, sekaligus menebar ancaman bagi warga.
Menarik mengutip penjelasan Muh Najib Azca, peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM yang tersiar pada beberapa media massa dalam dua minggu terakhir. Ia mengatakan bahwa sejarah gali (preman) di Yogyakarta berawal dari massa satuan tugas (satgas) partai pada masa Orba, yang merekrut preman untuk kepentingan politik. Semisal Golkar pada masa lalu memiliki organisasi sayap Satgas Pasukan Khusus Cakra, PPP dengan Gerakan Pemuda Kakbah (GBK), dan PDI merekrut preman berbasis wilayah di Yogyakarta.
Dalam perkembangannya, premanisme di Yogyakarta berafiliasi dengan sejumlah kelas sosial yang bisa dikategorisasikan dalam beberapa kelompok menurut basis mereka; dari preman berbasis etnis, preman pasar, preman mahasiswa (biasa dilakoni mahasiswa drop out), hingga preman siswa/ pelajar. Basis dan kelompok mereka berjejaring satu sama lain menurut jenjang dan pengalaman masing-masing.
Di tengah fenomena pembiaran terhadap gejala patologi sosial berkelanjutan itu, bibit premanisme terus berkembang sejalan eksklusivitas kota. Akhirnya premanisme, ataupun gembong kekerasan lain, yang ’’dipelihara’’ oleh negara menjadi bom waktu yang hanya menunggu meledak atau diledakkan. Fakta di Jakarta pada akhir 2012 menjadi salah satu indikator bagaimana modus operandi premanisme sangat mengancam keamanan dan perdamaian warga Ibu Kota.
Respons warga Yogyakarta dengan membentangkan spanduk dan slogan mengecam premanisme adalah perspektif tindakan simbolik tentang perdamaian sipil. Perdamaian sipil dalam konteks Yogyakarta bisa dipahami sebagai proses peacemaking yang ditunjukkan secara persisten untuk mendialogkan tragedi kekerasan dan teror yang mengancam rasa aman mereka.
Rakyat Yogyakarta ingin menjaga perdamaian sebagai bentuk self-defense terhadap aneka bentuk kekerasan. Kekerasan masif tersebut muncul sebagai tindakan di luar kultur mereka, di tengah kemelemahan dan ketidakhadiran negara dalam banyak kasus kekerasan di akar rumput.
Mediasi Terbuka
Sikap rakyat Yogyakarta yang ditunjukkan secara simbolik adalah sebentuk upaya awal yang coba mendekatkan diri pada proses dialog, mediasi, dan konsolidasi, terutama dalam internal masyarakat. Namun, slogan seperti itu, dan bahkan selebaran yang disampaikan langsung oleh Hamengku Buwono X, harus cepat-cepat dimediasi secara terbuka.
Artinya tak cukup hanya itu, tapi perlu menghadirkan kelompok-kelompok yang sedang dalam ketegangan dan perselisihan (dispute). Artinya, rakyat Yogyakarta dan pemda jangan hanya bersembunyi di balik slogan dan spanduk yang mengutuk dan menolak segala bentuk premanisme.
Sebagai sebuah inisiasi, saya sepakat dengan respons masyarakat Yogyakarta sejauh ini. Artinya, mereka menunjukkan diri sebagai pihak yang ingin menjaga dan mempromosikan perdamaian, baik untuk warga sendiri maupun pendatang. Bila langkah mereka hanya berhenti pada sebentuk slogan dan spanduk, saya khawatir tindakan ini tidak akan selesai. Publik akan menilai sebagai langkah tanggung, bahkan bisa menganggap sebagai ìprovokasiî yang lebih halus melalui media. Akibatnya, proses rekonsiliasi dan dialog asertif yang terbuka tidak pernah tercapai. Jika kekhawatiran terakhir ini yang mewujud maka akan melahirkan kecurigaan sosial dan prasangka yang menjurus pada segregasi dan pengkotak-kotakkan sosial.
0 comments:
Post a Comment