Tuesday, April 16, 2013

Twitter (dan Dunia) yang Blingsatan

Sejak saya ikut bergaul dengan Twitter sekitar bulan Maret tahun 2010, pengalaman pertama saya tidak terlalu mengesankan. Saya mencoba ikut bikin akun Twitter karena pada waktu itu Obama berkampanye melalui akun jejaring sosial berlambang burung Larry itu. Pelan-pelan tapi pasti, saya menemukan arti Twitter ketika menyadari ihwal kecepatan informasi yang tumpah blingsatan begitu saja dari seantero dunia. Dari situ kemudian saya merasa ternyata Twitter menjadi salah satu satu media yang bisa dirujuk untuk menengok informasi yang berlarian itu. Bahkan akun ini sangat leading dalam hal updating berita terbaru berupa berita dadakan (breaking news) dan sebagainya.
Dalam banyak hal, saya kadang sangat gelisah dengan kebiasaan saya dan mungkin juga banyak teman yang mengabdikan waktunya terlalu banyak di depan gadget. Misalnya Twitter @_bje yang saya asuh sudah mencapai lebih dari 20 ribu tweet. Ini bukan main-main. Saya mungkin bisa digolongkan dalam "Twitterdependensia" (Twitter addicted). Meski saya mencoba untuk tidak nyinyir di timeline--dengan share info-info bagus misalnya, updating hal-hal berita krusial misalnya, atau luapan kegelisahan saya personal tentang berbagai hal yang terjadi di sekitar--saya masih tetap berpikir bahwa ruang Twitter dan juga segala hal yang berkaitan dengan dunia online adalah realita baru untuk membatasi interaksi fisik antara tubuh ke tubuh di dunia riil. Jangan dikira bahwa peritiwa interaksi maya akan seiya dan sekata dengan interaksi nyata.

Sebagai anak sosial, seorang yang mempelajari ilmu-ilmu sosial sejak di bangku MA, saya merasakan sekali bahwa gap yang dibangun Twitter/media online dengan realita kehidupan sosial di lapangan sudah sangat kentara. Saya seperti menyaksikan orang-orang berlarian menyembunyikan kehidupannya untuk dirinya sendiri; semua hal dilakukan dalam sistem instan dengan memakai jasa online sebagai cara cepat; tegur sapa mulai mengurang; kesadaran empiris mulai hilang; dan keterlibatan secara fisik dengan dinamika sosial pun semakin sedikit, sehingga tidak boleh tidak, arti empati pun akan berubah.

Dalam konteks Indonesia, saya melihat demokrasi hanya sebatas dalam linimasa dan kicauan di status-status baik Twitter ataupun media jejaring sosial lainnya seperti FB dll. Dalam praktik di lapangan, nilai-nilai toleransi dan kebebasan berbasis keadilan terasa berbeda. Ini sungguh ironis. Saya merasa tidak nyaman berada dalam ruang dimana kehidupan sosial dipolarisasi melalui pencitraan di dunia maya.

Kegelisahan ini saya rasakan khusus ketika beberapa hari kemarin Presiden SBY membuat akun Twitter. Saya sebagai rakyatnya, meski dengan ragu-ragu, akhirnya follow juga. Saya merasa gelisah karena Twitter menjadi media "pemanis bibir" dan empati kosong yang banyak ditunjukkan oleh Presiden dalam menyampaikan perhatiannya kepada rakyat Indonesia. Kata-kata semangat, keadilan, optimisme dan kata-kata baik muncul di timeline sang presiden.

Namun pertanyaanya, apakah keadilan dan optimisme itu bisa ditunjukkan di ranah praktis di tengah rakyatnya yang ratusan juta ini? Saya sempat mention akun sang Presiden dan berharap tidak perlu banyak berceloteh. Yang saya tunggu adalah breakthrough dan keberanian diri untuk berdiri bersama rakyatnya. Masa nasib rakyat mau ditukar dengan komplotan pemodal seperti kasus Lumpur Lapindo yang sudah sangat menderang sebagai kesalahan dan tanggung jawab perusahaan?

Kata-kata sama sekali tidak penting karena saya melihat ruang maya bukanlah diplomatis. Proses diplomasi kepada rakyat tidak penting Diplomasi dan tugas kenegaraan dengan partner seperti hubungan bilateral dan semacamnya cukup saja dilakukan di sana. Di internal negara yang dibutuhkan adalah pengejawantahan nilai-nilai luhur filosofi dan ideologi negara, dan pasti kerja tekun untuk mewujudkan itu tanpa rasa

Salah satu pembakar semangat saya untuk menulis posting ini adalah sebuah peristiwa pada tanggal 16 April kemarin ketika tweet saya di-RT oleh tokoh penting Indonesia, Goenawan Muhamad, tentang pengeboman di Afghanistan, seperti foto di atas. Sejujurnya, itu pengalaman pertama saya mendapatkan RT lebih dari 300 orang dan juga komentar dari banyak lapisan masyarakat! Bahkan artis seperti Pandji Pragiwaksono juga ikut me-RT.

Pada malam harinya, saya terkaca-kaca menatap begitu banyak RT dari dalam dan luar negeri. Saat itu pikiran saya kembali menggelinding kembali kepada kegelisahan awal tentang arti gerakan dan sikap seseorang yang tercurah di dunia maya. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apa arti suara ramai di Twitter kalau ternyata dalam praktiknya tidak mampu mengubah kehidupan busuk?

Di samping itu, saya menulis kali ini karena saya merasa berdosa dengan tweet dalam foto di atas yang saya alamatkan untuk melihat sisi lain kasus pengeboman di Boston pada 15 April lalu. Berita yang saya RT dari dan ternyata hasil repro dari berita yang terjadi tahun 2002. Saya tidak mengerti apa motif kedua situs di atas menyebarkan berita ulangan hanya untuk mengalihkan kasus pengeboman di Boston. Padahal di kedua media tersebut jelas sekali mereka meng-update tanggal beritanya menjadi 15 April. Sungguh ironis pastinya.

Pada akhirnya memang kembali kepada masing-masing kita dalam menjalankan ritual dunia maya....

0 comments: