Thursday, May 23, 2013

Modifikasi Diksi Mashuri

Dalam ranah kesusastraan khususnya puisi, Jawa Timur (Jatim) mempunyai posisi yang khas dan distingtif. Jawa Timur tidak mempunyai bahasa pengucapan bersama (locally legitimated languages) dalam puisi-puisi yang ditulis oleh para penyairnya. Berbeda dengan Sumatera Barat yang menjadikan bahasa pantun dan balutan dendang sebagai lokus pengucapan atupun Jawa Barat dengan eksplorasi basis folklor dan idiom-idom natural yang setali tiga uang dilakukan oleh beberapa penyair Lampung, ataupun daerah-daerah lain yang kecenderungan puisi-puisinya mempunyai satu aras pengucapan bersama melalui bahasa yang nyaris mainstreaming dalam konteks lokal-mereka, seperti juga mudah ditemukan dalam puisi-puisi penyair Bali.

Wacana di atas muncul dalam sebuah diskusi buku kumpulan puisi karya Mashuri berjudul Munajat Buaya Darat (MBD) di Pendopo LKiS, Yogykarta, 21 Mei kemarin, yang sekaligus dirayakan dengan lelang buku dan malam amal untuk Fahrudin Nasrulloh, salah satu seniman dan sastrawan Jawa Timur yang tengah terbaring di rumah sakit.

Raudal Tanjung Banua, sebagai salah satu pengisi acara bersama penulis, banyak mempersoalkan genre dan bahasa ungkap penyair Jawatimuran. Dalam diskusi itu ada hal menarik yang muncul sebagai tawaran baru, semacam interpretasi ihwal modifikasi bahasa Jawatimuran dalam puisi-puisi Mashuri. Sebagai modifikasi, Mashuri menjadi seorang perangkum dari diksi-diksi Jawatimuran secara umum. Namun Mashuri lebih senang menyebut dirinya sebagai “penyair ulang-alik”, yaitu penyair yang bisa dengan gesit melejit dari masa lalu ke masa depan hanya dengan sekedip. Sebagai ulang-alik, akhirnya tidak bisa dimungkiri jika dalam puisi-puisi Mashuri begitu banyak hal dan bentuk (the wholness of forms) yang sedang ingin disampaikan, khususnya dalam MBD.

Memang, Jatim menjadi ladang spektrum bagi heterogenitas bahasa ungkap dalam dinamika perpuisian. Setiap penyair mempunyai gaya ungkap masing-masing dengan menekuri ranah ekplorasi bahasa, idiom, metafor dan simbol-simbol yang beragam. Para penyair seperti Herry Lamongan, Indra Tjahyadi, Tjahjono Widarmanto bersaudara, S. Yoga, Mardi Luhung dan A. Muttaqien mempunyai bahasa ungkap yang nyaris tidak bisa diidentifikasi secara gamblang sebagai sebuah kesatuan bahasa dalam konteks geografis. Teori Recour tentang heuristic (seperti mimetic, linguistic, dan convetional) tidak bisa serta mereta mempertemukan puisi-puisi penyair Jatim dalam konteks kesepakatan bahasa ungkap. Misalnya dalam Mardi Luhung akan ditemukan narasi pesisir dengan bahasa-bahasa materialis-pesisir-Gresik; pada Herry Lamongan tercermin bahasa yang lebih dinamis dan bahkan cair; S. Yoga lebih tekun menarasikan ulang mitos dan segenap bahasa ungkap surealismenya, seperti halnya juga Mashuri; sementara pada Tjahjono Widarmanto bersaudara akan ditemukan bagaimana lirisme bahasa pohon-pohon jati dari arus bawah dengan segenap dimanikanya. Untuk membangun diksi modifikasi, Mashuri banyak mengadopsi cara-cara S. Yoga dalam mengeksplorasi mitos, religiositas dan naturalisme dalam bingkai surealisme-magis yang dibangunnya.

Para penyair di atas mewakili ranah kesusastraan “Jawa Timur Daratan” seperti Lamongan, Gresik, Mojokerto, Madiun, Ngawi, Malang, dan Surabaya. Jika lokus demografisnya diperluas menjadi “Jawa Timur Kepulauan” seperti Bangkalan dan Sumenep, bahasa ungkap puisi Jatim tentu semakin tidak bisa diraba.

Justifikasi proyek modifikasi adalah untuk menelaah ulang apa yang diungkapkan Emmanuel Subangun terhadap kondisi sastra di Jawa Timur pada Temu Sastra Nusantara, November 2006 di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Subangun mengatakan bahwa di Jawa Timur, tidak ada lagi sastrawan. Kalaupun ada, menurut Emmanuel, mereka membuat karya sastra hanya untuk klangenan, iseng, tidak ada maknanya, dan membingungkan (R. Giryadi, 2008). Saya tidak sedang ingin mendebat parameter yang digunakan sang sosiolog ini. Namun kemunculan penyair-penyair baru di media massa nasional setelah tahun 2006, baik dari penyair tua atau muda, menujukkan bahwa penyair Jatim masih ada.

Di samping itu, spektrum bahasa ungkap dan gagasan-gagasan dalam MBD nyaris meraba Jawa Timur secara menyeluruh, meski kadang terlihat dipaksakan. Namun upaya si penyair ulang-alik ini bisa diapresiasi sebagai perayaan diksi dari ekspresi bahasa rasa Jawatimuran. Lihat misalnya puisi Tukang Potong dan Munajat Buaya Darat yang secara fokus menghadirkan rasa bahasa Suroboyoan; bahasa Jawa Timur pesisir dengan spirit mistis bisa dibaca dalam sajak Khidr, Sihir Pesisir, Yang Terkubur Laut dan Tanjung Cintaku; cita rasa Madura ada dalam sajak Kesabaran Abad dan Siwalan Perawan; dan mitos-mitos Jawa yang dibingkai dalam interpretasi dan modifikasi simbol beraroma cinta-romantik ala Mashuri juga bisa dibaca dalam sajak Cucu Tarub, Rindu Bidadari dan Buku Masa Lalu.

Puisi postmodern

Jika ditelaah secara lebih dalam, saya menemukan kecenderungan perpuisian Jatim dalam satu dekade sebagai semangat postmodernisme. Unsur-unsur "meta-narrative" dan "little narrative"-nya Lyotard, "play"-nya Derrida dan "simulacra"-nya Baudrillard kerap kali menjadi basis pembacaan terhadap sastra postmodern yang melejitkan kredo anything goes’. Mashuri dan beberapa penyair Jatim yang melakukan rekonstruksi bahasa, dengan tidak memikirkan bahasa ungkap bersama dalam puisi-puisinya, adalah spirit yang dalam kecenderungan umum puisi-puisi postmodern di sebebut sebagai cotery art, yaitu fragmenter (fragmentary), solipis (solipsist) dan kesementaraan (provisional) yang secara garis besar melawan gedebum modernisme (Joosten, 2007) yang menuntut mainstream.

Untuk menegasikan fragmentary dan solopist di atas, Mashuri kemudian gemar menghadirkan diksi lokal dan personal seperti ngaceng, ditusuk bawoknya, ganti cawat dan beberapa diksi yang “unik” seperti pepuing pelangi, lingga-yoni, pena di mata arca, dadar rembulan dan wastu puja.

Dengan begitu, menghadapi puisi-puisi Mashuri yang indah tapi juga rumit membutuhkan referensi “ala kadarnya” dalam konteks pengetahuan tradisi lokal Jawa, khususnya Jawa Timur. Karena nyaris puisi Mashuri dalam MBD memainkan diksi dan selera lokal yang memodifikasi dan memadukan ranah demografis Jawa Timur dalam bingkai puisi-puisinya, khususnya dalam MBD.

(Dihantarkan dalam diskusi buku ini di Pendopo LKiS Yogyakarta, 21 Mei 2013)

0 comments: