Dalam ranah kesusastraan khususnya puisi, Jawa Timur (Jatim) mempunyai
posisi yang khas dan distingtif. Jawa Timur tidak mempunyai bahasa pengucapan bersama
(locally legitimated languages) dalam puisi-puisi yang ditulis oleh para
penyairnya. Berbeda dengan Sumatera Barat yang menjadikan bahasa pantun dan balutan
dendang sebagai lokus pengucapan atupun Jawa Barat dengan eksplorasi basis folklor
dan idiom-idom natural yang setali tiga uang dilakukan oleh beberapa penyair Lampung,
ataupun daerah-daerah lain yang kecenderungan puisi-puisinya mempunyai satu
aras pengucapan bersama melalui bahasa yang nyaris mainstreaming dalam
konteks lokal-mereka, seperti juga mudah ditemukan dalam puisi-puisi penyair Bali.
Wacana di atas muncul dalam sebuah diskusi buku kumpulan puisi karya
Mashuri berjudul Munajat Buaya Darat (MBD) di Pendopo LKiS, Yogykarta,
21 Mei kemarin, yang sekaligus dirayakan dengan lelang buku dan malam amal
untuk Fahrudin Nasrulloh, salah satu seniman dan sastrawan Jawa Timur yang
tengah terbaring di rumah sakit.
Memang, Jatim menjadi ladang spektrum bagi heterogenitas bahasa ungkap dalam
dinamika perpuisian. Setiap penyair mempunyai gaya ungkap masing-masing dengan menekuri
ranah ekplorasi bahasa, idiom, metafor dan simbol-simbol yang beragam. Para
penyair seperti Herry Lamongan, Indra Tjahyadi, Tjahjono Widarmanto bersaudara,
S. Yoga, Mardi Luhung dan A. Muttaqien mempunyai bahasa ungkap yang nyaris
tidak bisa diidentifikasi secara gamblang sebagai sebuah kesatuan bahasa dalam
konteks geografis. Teori Recour tentang heuristic (seperti mimetic,
linguistic, dan convetional) tidak bisa serta mereta mempertemukan
puisi-puisi penyair Jatim dalam konteks kesepakatan bahasa ungkap. Misalnya
dalam Mardi Luhung akan ditemukan narasi pesisir dengan bahasa-bahasa materialis-pesisir-Gresik;
pada Herry Lamongan tercermin bahasa yang lebih dinamis dan bahkan cair; S.
Yoga lebih tekun menarasikan ulang mitos dan segenap bahasa ungkap
surealismenya, seperti halnya juga Mashuri; sementara pada Tjahjono Widarmanto
bersaudara akan ditemukan bagaimana lirisme bahasa pohon-pohon jati dari arus
bawah dengan segenap dimanikanya. Untuk membangun diksi modifikasi, Mashuri
banyak mengadopsi cara-cara S. Yoga dalam mengeksplorasi mitos, religiositas
dan naturalisme dalam bingkai surealisme-magis yang dibangunnya.
Para penyair di atas mewakili ranah kesusastraan “Jawa Timur Daratan” seperti
Lamongan, Gresik, Mojokerto, Madiun, Ngawi, Malang, dan Surabaya. Jika lokus
demografisnya diperluas menjadi “Jawa Timur Kepulauan” seperti Bangkalan dan Sumenep, bahasa ungkap puisi
Jatim tentu semakin tidak bisa diraba.
Justifikasi proyek modifikasi adalah untuk menelaah ulang apa yang
diungkapkan Emmanuel Subangun terhadap kondisi sastra di Jawa Timur pada Temu
Sastra Nusantara, November 2006 di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Subangun
mengatakan bahwa di Jawa Timur, tidak ada lagi sastrawan. Kalaupun ada, menurut
Emmanuel, mereka membuat karya sastra hanya untuk klangenan, iseng,
tidak ada maknanya, dan membingungkan (R. Giryadi,
2008). Saya tidak sedang ingin mendebat parameter yang
digunakan sang sosiolog ini. Namun kemunculan penyair-penyair baru di media
massa nasional setelah tahun 2006, baik dari penyair tua atau muda, menujukkan
bahwa penyair Jatim masih ada.
Di samping itu, spektrum bahasa ungkap dan gagasan-gagasan dalam MBD nyaris
meraba Jawa Timur secara menyeluruh, meski kadang terlihat dipaksakan. Namun
upaya si penyair ulang-alik ini bisa diapresiasi sebagai perayaan diksi dari
ekspresi bahasa rasa Jawatimuran. Lihat misalnya puisi Tukang Potong
dan Munajat Buaya Darat yang secara fokus menghadirkan rasa bahasa Suroboyoan;
bahasa Jawa Timur pesisir dengan spirit mistis bisa dibaca dalam sajak Khidr,
Sihir Pesisir, Yang Terkubur Laut dan Tanjung Cintaku; cita rasa
Madura ada dalam sajak Kesabaran Abad dan Siwalan Perawan; dan mitos-mitos
Jawa yang dibingkai dalam interpretasi dan modifikasi simbol beraroma
cinta-romantik ala Mashuri juga bisa dibaca dalam sajak Cucu Tarub, Rindu
Bidadari dan Buku Masa Lalu.
Puisi postmodern
Jika ditelaah secara lebih dalam, saya menemukan kecenderungan perpuisian Jatim
dalam satu dekade sebagai semangat postmodernisme. Unsur-unsur "meta-narrative"
dan "little narrative"-nya Lyotard, "play"-nya Derrida dan "simulacra"-nya Baudrillard kerap kali menjadi basis pembacaan terhadap sastra postmodern yang melejitkan
kredo ‘anything goes’. Mashuri dan beberapa
penyair Jatim yang melakukan rekonstruksi bahasa, dengan tidak memikirkan
bahasa ungkap bersama dalam puisi-puisinya, adalah spirit yang dalam
kecenderungan umum puisi-puisi postmodern di sebebut sebagai cotery art, yaitu fragmenter
(fragmentary), solipis (solipsist) dan kesementaraan (provisional) yang secara garis besar melawan gedebum modernisme (Joosten, 2007) yang menuntut mainstream.
Untuk menegasikan fragmentary dan solopist di atas, Mashuri
kemudian gemar menghadirkan diksi lokal dan personal seperti ngaceng, ditusuk
bawoknya, ganti cawat dan beberapa diksi yang “unik” seperti pepuing
pelangi, lingga-yoni, pena di mata arca, dadar rembulan dan wastu
puja.
Dengan begitu, menghadapi puisi-puisi Mashuri yang indah tapi juga rumit
membutuhkan referensi “ala kadarnya” dalam konteks pengetahuan tradisi lokal
Jawa, khususnya Jawa Timur. Karena nyaris puisi Mashuri dalam MBD memainkan diksi
dan selera lokal yang memodifikasi dan memadukan ranah demografis Jawa Timur
dalam bingkai puisi-puisinya, khususnya dalam MBD.
(Dihantarkan dalam diskusi buku ini di Pendopo LKiS Yogyakarta, 21 Mei 2013)
0 comments:
Post a Comment