taken from http://www.jurnas.com |
Petugas kepolisian membubarkan demonstran secara paksa sehingga terjadi bentrok yang tak terelakkan. Akibat bentrok brutal itu, empat orang tewas terkena tembakan. Sementara korban luka kemungkinan akan terus bertambah karena kondisi di lapangan belum kondusif.
Kasus kekerasan di sejumlah daerah baik, di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang berhasrat untuk pemekaran wilayah sudah lazim terjadi di Republik ini. Sejarah pemekaran wilayah, khususnya setelah Orde Baru, adalah sejarah kekerasan yang selalu dimanfaatkan oleh aktor politik lokal yang selalu menjadikan jalan kekerasan sebagai metode alternatif untuk memuluskan pencapaian tujuan mereka. Korban yang harus ditanggung adalah kerusakan dan kehancuran daerah yang menjadi pusat konsentrasi kekerasan. Selain itu, yang terpenting, adalah korban nyawa rakyat sipil sendiri.
Secara legal formal, pemekaran wilayah, baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota sudah diatur, yaitu dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan peraturan pelaksananya berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Dalam Pasal 13 PP itu ditegaskan; pemekaran daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: (a) kemampuan ekonomi; (b) potensi daerah; (c) sosial budaya; (d) sosial politik; (e)jumlah penduduk; (f) luas daerah; (g) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Payung hukum di atas kerap menjadi acuan untuk mengotak-atik integrasi suatu daerah yang ditengarai mempunyai kekayaan alam berlimpah dan mandiri secara finansial. Uniknya, gerakan pemekaran selalu dibalut dengan spirit otonomi daerah yang menjadi ruh perjuangannya.
Jarang disadari bahwa sebenarnya yang bermain penuh di balik kasus-kasus pemekaran adalah para elite lokal yang ingin melanggengkan kekuasaan politik ataupun ekonomi, seperti disampaikan dalam laporan penelitian Arif Zainudin di Maluku Utara (JKSG, 2012). Penemuan dalam penelitian tersebut memang tidak bisa digeneralisasi terhadap daerah lain. Namun, muatan politik-ekonomi dari daerah masing-masing selalu menjadi tujuan utama daripada tujuan untuk perbaikan pemerintahan lokal dan pelayanan publik.
Terlepas dari plus-minus "politik" pemekaran, saya ingin mencermati bagaimana proses reproduksi kekerasan terus berlangsung di daerah. Saya curiga, kekerasan yang terjadi terkait kasus ini adalah peran sentral pemerintahan daerah yang secara sengaja membiarkan kekerasan terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang serius demi perdamaian bersama.
Peran pemerintahan, dalam hal ini melalui aparat keamanan sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan rakyat sipil, sebenarnya mempunyai sangat dominan untuk mencegah konflik dengan modus yang nyaris sama di setiap daerah. Mereka, sebagai jejaring dalam sistem kekuasaan sebuah negara, mempunyai hierarki terhadap kekuasaaan yang bisa mengendalikan power dalam internal negara. Hampir semua kekerasan yang terjadi di akar rumput selalu terkisahkan antara aparat keamanan dengan rakyat sipil.
Maka itu, dalam setiap gerakan massa, baik dalam demonstrasi maupun bentuk gerakan lainnya, saya melihat adanya kecenderungan buntunya pemerintahan (death of governance) daerah. Pemerintah daerah seperti tidak mempunyai alternatif lagi selain jalan kekerasan, seperti kasus penembakan yang terjadi pada para demonstran di Rupit.
Jika kita mencermati secara kritis, kultur aparat keamanan sebenarnya adalah kultur kekerasan: warisan dari tingkat yang lebih tinggi, yaitu dari negara. Pola-pola kekerasan yang dimainkan para aparat keamanan terlihat monoton dalam berhadapan dengan rakyat sipil. Padahal jelas, pemerintah mempunyai peran besar dalam mengelola dan menyelesaikan konflik di sebuah daerah, seperti diulis oleh I William Zartman dalam buku Politics and Violence in West Africa (1997).
Tapi apakah negara dan pemerintahannya mau menyelesaikan konflik secara nirkekerasan? Sebagai lessons learned, dalam banyak kasus kekerasan di Indonesia, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah nisbi dan utopis. Artinya, negara seolah sengaja membiarkan kasus kekerasan merajalela.
Jika merujuk kepada Zartman, saya menemukan benang merah bahwa sebenarnya pemerintahan mampu mengelola konflik demi meraih perdamiaan. Secara meyakinkan Zartman menulis bahwa governance is conflict management. Governing a state is not only the prevention of violence conflict from destroying the country; it is the continual effort to handle the ordinary conflicts among groups and their demands which arise as society plays its role in the conduct of normal politics. Dia ingin menegaskan bahwa pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap hak-hak warga negara akan mampu mengelola konflik secara damai dan nirkekerasan. Di akhir kalimatnya, Zartman menuliskan bahwa managing these conflict is governments job. (1997: 1).
Dengan kata lain, pemerintahan yang baik dan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan demi kesejahteraan warganya akan selalu menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang hadir dan membawa rasa aman bagi segenap rakyatnya. Dengan begitu, mereka automatis akan mampu mengenali dan mengelola potensi konflik secara damai di masing-masing daerah.
Naifnya, pemerintahan daerah justru memanfaatkan potensi konflik menjadi kekerasan untuk mencapai tujuan picik beberapa kelompok dan para elite lokal yang menginginkan politik kekuasaan. Sementara itu, advokasi dan pendidikan perdamaian, dalam arti kesadaran tentang kekerasan (sipil vs negara) belum mampu dicerna secara baik oleh rakyat sipil sendiri. Kenyataan seperti ini sungguh sangat mengkhawatirkan di tengah gejala frustrasi sosial yang kerap ditunjukkan secara brutal dalam beberapa kejadian akhir-akhir ini.
Versi cetak dari Jurnal Nasional
0 comments:
Post a Comment