Saturday, May 18, 2013

"Pak, Dia Harus Bisa Baca-Tulis!"

Malam ini saya ikut meramaikan acara Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2013, setelah dari pagi hingga sore ikut kongkow bersama GusDurian di LKiS. Saya bantu apapun yang bisa saya lakukan di tempat acara, seperti ikut membagikan flayer. Acara serupa ini selalu ingin saya sambangi--dan beberapa kegiatan khususnya yang mempromosikan kesetaraan, nirkekerasan, perdamaian, dan isu sejenis.




dari uly
Acara berlangsung cukup meriah. Monomen berupa lambang HIV-AIDS dibuat dari ratusan lilin di atas tripleks menjadi salah satu perhatian--indah dan manis.

Ketika sampai pada sesi semacam Talk Show, ada seorang penanya yang membikin saya begitu awas mendengarkan setiap patah huruf yang terlunta keluar dari mulutnya. Dia menjadi penanya kelima. Dia datang dari depan panggung sembari mengangkat tangannya, isyarat untuk bertanya. Empat penanya sebelumnya menanyakan hal-hal seputar HIV-AIDS.

Seperti biasa, dalam setiap forus diskusi dan sejenisnya saya selalu mendengarkan pertanyaan peserta. Saya menyukai itu. Karena pertanyaan sejatinya adalah sebentuk "keberhasilan" untuk, pertama, mengetahui sejauh mana penerimaan dan pemahaman peserta dan kedua untuk melihat seberapa menarik isu yang ditangkap. Dalam sebuah pertanyaan, isu yang dilontarkan oleh pembicara dan lalu ditangkap oleh audiens dengan referensi pengalaman masing-masing kerapkali menyuguhkan sesuatu yang cerdas.

Begitu pula yang terjadi kepadanya. Remaja, usia sekitar 17-an, yang mengaku dari Lampung ini langsung mengobrol setelah mendapatkan mik dari panitia. Dengan bahasa Indonesia yang tak tertata, logat yang tak jelas, dan dengan pertanyaan di luar topik seputar HIV-AIDS, dia langsung diluap rasa emosi yang tak terkendali. Dia menangis. Dia bercerita bahwa dirinya tidak disekolahkan oleh orang tuanya. Dia sering kena penyakit (atau sering sakit) tapi tidak tahu sakit apa. 

Orang-orang yang mendengarnya sempat tertegun.

Saya paham dia datang ke depan panggung bukan mau bertanya. Dia hanya mencari ruang agar suaranya didengar. Dia ingin semua orang tahu dan mendengar suaranya, kelompoknya, yang selama ini voiceless, meskipun sebenarnya sudah banyak orang tahu kelompok mereka yang bernama anak jalanan itu, tapi siapa yang kemudian peduli? Bisa dihitung tentunya. Dan pada waktu itu ada dari Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan LSM yang menjadi pengisi Talk Show. Setelah bertanya, dia mendapatkan door prize, sebuah payung.Semoga dia terhibur: sebuah payung.

Saya tentu sangat menunggu jawaban para birokrat itu. Saya simak setiap kalimat yang keluar dari mereka, khususnya dari Kementerian Sosial Yogyakarta. Apa yang ia katakana? Kurang lebih begini: "Menjalani hidup ini harus dengan semangat. Semua orang tidak bisa lepas dengan takdirnya sendiri. Semua orang mempunyai takdir masing-masing. Jadi untuk mengubah takdir, kamu (dengan menyebutkan namanya) harus semangat."

Saya menatap dengan seksama seorang Bapak dari Kementerian Sosial itu. Kata "semangat" begitu bergelora memang. Saya suka kata "semangat". Tapi kalau buta huruf, bagaimana cara semangat bisa dibangun? Hidup di sini keras.

Waktu itu saya memegang kertas koran bekas bungkus nasi yang saya simpan di saku jaket karena belum mendapati tempat sampah. Sambil meremas-remas bungkusan nasi, dalam hati saya berteriak: "Pak, dia harus bisa baca-tulis. Baru kasi dia semangat!"

Di akhir acara, waktu menyalakan lilin, saya samperin dan tanya hal-hal sederhana. Dia sudah 10 tahun di Jogja, sering mangkal di Nol Km dan di Lempuyangan.

Selamat malam teman... saya sudah ngantuk berat. Kulitku rapuh dimamah dingin malam, sementara kamu di sana, di tengah jalanan, menerobos malam dengan telanjang kaki. 

Dan, apatah arti ini....

~ditulis sambil ngantuk~

0 comments: