Saturday, February 08, 2014

Surat Biasa untuk Andre Sutantyo

Kawan Andre yang baik....

Sejak mendengar tekadmu untuk ikut bursa calon legislatif (caleg) DPRD Salatiga tahun 2014, sejujurnya saya terperangah dan tercengang. Yang terpikir hanya satu: kamu benar-benar akan melewati lorong yang penuh intrik. Karena hingga sekarang saya menyaksikan sendiri bahwa jalan politik, di negeri tercinta ini, adalah lorong penuh jebakan dan banyak “main-main”-nya. Sedikit sekali yang murni datang dari hati nurani untuk memikirkan nasib mereka yang diwakili; sangat sedikit pula yang menjadikan politik sebagai seni mengelola “power” untuk memperkuat civil dan society. Tapi dalam praktiknya politik justru menegasikan “power” untuk menindas, menipu dan melemahkan rakyat itu sendiri. Atau tak jarang pula—lewat cara permainan itu—membuat rakyat chaos dan tidak tenang, dan selanjutnya mereka terbiasa berpesta di atas derita bangsanya sendiri. Tentu, itu sebentuk kejahatan struktual, bukan?


Kawan Andre yang baik….

Saya tidak tahu harus memulai surat ini darimana karena saya sangat senang punya kesempatan menuliskannya, sampai-sampai semua yang terbingkai dalam pikiranku tiba-tiba ingin meloncat begitu saja. Karena kenangan baik antara kita--tentang kamu--tak bisa bersabar dan ingin segera bercerita sendiri. Tentang kebersamaan kita dan pelajaran penting yang saya temukan lewat sosokmu.

Andre, kebersamaan kita bukanlah semata-mata sebuah ketepatan. Saya yakin bahwa Tuhan memberikan jalan kepada saya agar mengenalmu lebih jauh, bahkan, kita saling menjadi back-up person ketika mau terbang ke Amerika bersama teman-teman penerima beasiswa IELSP (Indonesia English Language Study Program), program beasiswa yang saat ini sedang terhenti (semoga buka lagi agar anak-anak muda Indonesia bisa memanfaatkannya dengan baik: belajar lebih luas).

Kita sudah begitu lama tidak bersua, Andre. Terakhir mungkin sekitar awal tahun 2011 di sebuah angkringan di tepian Selokan Mataram, Yogyakarta, setelah kebersamaan kita yang hangat dan akrab itu: sekamar sejak di Pre-Orientation Departure (POD) Jakarta hingga di Cliff Apartment, sebuah apartemen di lingkungan University of South Carolina, South Carolina, Amerika Serikat. Di kamar itu, kita tak jarang berdiskusi sengit tentang politik, gerakan, kepemimpinan dan masa depan negara-bangsa bernama Indonesia. Kadang itu terasa abstrak dan aneh, ya? Tapi entah kenapa kamu yakin bahwa topik-topik seperti itu selalu penting dipelajari. Saat itu, dalam kebersamaan di awal musim panas yang penuh cerita, saya tak pernah berpikir bahwa kamu akan menapaki jalan ini: menjadi politikus. Tapi, diri kamu (tentang kepribadianmu yang saya kenal) meyakinkan bahwa kamu layak bertarung di situ. Karena saya tahu kamu sudah memulai tapak demi tapak kepemimpinan dengan baik dan tegas!

Andre, kamu menaburkan harapan untuk generasi muda. Ya, yang tersisa memang hanya harapan. Harapan pula yang meyakinkan hidup kita terus bertahan, bekerja, berkarya dan menyambung mimpi-mimpi. Mari rawat harapan itu dalam-dalam, harapan untuk menciptakan kehidupan sosial yang adil dan sejahtera, harapan bahwa dunia politik bisa diperbaiki.

Kawan Andre yang baik….

Surat ini saya tulis untuk menjemput rasa rindu yang membuncah—di tengah saya menulis cerita tentang “Kisah Sepatu Kita”—di tengah musim dingin di tanah Anatolia, Turki. Saya tidak punya apa-apa dan tidak pula bisa memberimu suara di pemilihan legislatif nanti. Saya hanya bisa mendukungmu dengan keyakinan bahwa jalan yang kamu tempuh adalah langkah yang tepat. Politik tidak boleh diludahi, ia harus dijelang dengan tangan-tangan baik yang penuh harapan dan komitmen dan menyingkirkan kecoa-kecoa busuk yang terlanjur mengotorinya. Kamu harus hadir ke tengah mereka untuk misi perubahan, sebagai sosok yang penuh harapan dan keyakinan bahwa sisi-sisi busuk politik harus kamu warnai dengan spiritmu, pelan-pelan. Saya tak peduli partai politik apa yang mendukungmu. Meskipun itu akan sangat mempengaruhimu, semacam menjadi tirani-hierarki, tapi saya yakin kepada kekuatan personal kamu sendiri, karena semuanya akan bermuara kepada dengung nurani masing-masing.

Kawan Andre yang baik….

Waktu bertemu pertama kali sekitar bulan Mei 2010, kamu sedang menjabat sebagai Presiden Mahasiswa di Universitas Kristen Setya Wacana (UKSW), Salatiga. Saya senang mengobrol bukan karena jabatanmu. Sama sekali bukan itu, ataupun latar belakang lain (kamu seorang Katolik dan aku Muslim, (atau seperti yang kamu pernah bilang) kamu punya darah Dayak dan aku Madura). Tapi karena kemauan kamu untuk terbuka dan saling tukar pendapat telah membuatku begitu yakin bahwa kamu adalah sosok yang layak memegang jabatan lebih luas lagi. Saya tahu kamu memulai belajar kepemimpinan sejak jadi anggota senat mahasiswa, lalu menjadi ketua senat di fakultasmu. Dan terakhir kamu benar-benar dipercaya sebagai presiden mahasiswa di tingkat universitas. Di samping itu, kegiatan sosial masyarakat di sekitarmu semakin meyakinkan jalan yang tengah kamu lalui. Itu menunjukkan jalan tegas dari langkah-langkahmu sendiri. Saya yang kenal kamu dalam waktu yang secuil itu menemukan passion dan spirit kepemimpinan itu sudah terpancar.

Dan akhirnya aku sangat yakin dengan pilihanmu kali ini!

Andre, saya hanya bisa bedoa semoga kamu terpilih dan masyarakat percaya kepada gagasan yang kamu tawarkan. Jika pun kamu kalah, tetaplah berkarya di ranah lebih luas. Dan saya yakin bahwa hasrat untuk belajar dan mengabdi akan terus tersemai bersama langkah-langkahmu. Surat ini hanyalah semacam semangat, harapan dan sekaligus doa semoga yang terbaik untuk karir politikmu ke depan. Karena kamu seorang kawan yang saya hormati. Tak ada alasa lain. Aku akan menunggu kabar darimu. Selamat berjuang!

Salam hangat dari Turki...


5 Februari 2014, 16.35 EEST.


Bernando J. Sujibto

0 comments: