taken from google images |
Ketika saya berjalan kaki, seperti sudah biasa saya lakukan hampir setiap hari dari kost ke kampus, ada ketakutan besar yang menghantui saya selama di jalan: yaitu lalu lintas yang semakin gila dan menakitkan. Untuk mencapai kampus, saya harus menyeberangi jalan protokol yang sangat ramai: jalan Adisucipto atau jalan Solo. Sama sekali bisa dikatakan bahwa pejalan kaki tidak punya hak di jalan raya karena pengendara motor khususnya semakin gila-gilaan menancap gas dengan tanpa memudilakan kanan-kiri dan pejalan kaki yang sedang melintas. Bahkan saya harus mengalah menunggu selama 3-4 menit untuk bisa menyeberangi jalan raya. Tidak ada seorang pengendara pun yang berhenti atau pelan-pelan untuk sekedar menyilakan pejalan kaki agar melintas dahulu. Tidak ada!
Apa yang Anda pikirkan ketika melihat jalanan macet total (traffic jam) pada jam-jam sibuk: sepeda motor dengan kecepatan tak terperikan menyalib kanan-kiri tanpa mempedulikan keselamatan diri dan orang lain; klakson menjerit sana-sini bagai sirine Ambulance; dan ditambah umpatan kotor para pengendara dari semua macam kendaraan? Dalam kondisi seperti itu, saya hanya bisa bergemim melihat kenyataan yang terjadi di Tanah Air tercinta ini, khususnya di kota-kota besar dan terutama di Jakarta.
Di Yogyakarta, di mana saya tinggal dan belajar dalam 4 tahun terakhir, sangat mudah mendapati pelanggaran dan kecerobohan para pengendara sepeda motor. Meskipun sistem transportasi umum Yogyakarta relatif lebih baik dari kota-kota besar lain di Indonesia, peningkatan pengguna sepeda motor tetap menjadi masalah tersendiri karena gaya berkendara sepeda motor seperti melewati jalur “zig-zag”, kecepatan yang tinggi, dan tidak memakai perlengkapan keselamatan berkendara seolah telah menjadi “hukum sunah” bagi para pengendara motor. Filosofi Jawa khas Yogyakarta “alon-alon waton kelakon” sepertinya sudah tidak ampuh lagi bagi para pendatang, dan tak jarang orang Yogya sendiri mulai tidak menggubris warisan tradisi ini.
Melihat fenomena tersebut, genaplah masalah-masalah yang terjadi di jalanan. Tata kelola kota yang buruk, fenomena pemerintahan yang uportunis, kepribadian bangsa yang semakin terkikis tanpa etika luhur, kepedulian, sikap dewasa, dan integritas diri adalah serentetan masalah yang merundung kota, khususnya yang terlihat di sepanjang jalanan ibu kota. Ada masalah apa dengan pengendara bermotor ini? Menjawab pertanyaan ini pastinya sangat sulit karena persoalan di jalanan sungguh sangat kompleks pula.
Sebagai otokritik dan pelajaran dalam masalah lalu lintas, saya merasakan ada perbedaan yang mencolok ketika saya berkunjung ke Columbia, ibu kota negara bagian South Carolina di Amerika Serikat, untuk keperluan belajar bahasa dan program budaya di University of South Carolina, selama Juni hingga Juli tahun ini. Di sana, jalan khusus untuk pengendara sepeda, motor, dan mobil sudah disediakan dengan rapih dan tertib. Meski kendaraan sepeda motor sangat tidak populer di Amerika dan khususnya di kota Columbia, pemerintah sudah mengantisipasi secara sadar dengan membuatkan aturan khusus tentang batas kecepatan (limited speed), jalur-jalur kendaraan, dan tempat parkir. Bagi pelanggar, sudah jelas dendanya tidak tanggung-tanggung: bisa sampai 100 dollar US!
Permasalahan utama kota-kota besar di Indonesia dan negara-negara berkembang seperti Vietnam, India, dan Thailand adalah sistem transportasi yang tidak dikelola secara baik sehingga mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Alat transportasi yang paling pesat pertumbuhannya, dan tak ayal menjadi penyebab kemacetan di kota-kota besar Indonesia, adalah sepeda motor. Tahun 2005, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) merilis angka penjualan motor mencapai 4,6 juta unit. Tahun 2004, angka penjualan mencapai 3.900,664 unit, sementara pada tahun 2003 penjualan sepeda motor mencapai 2.823.702 unit. Data ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan sepeda motor, setiap tahunnya rata-rata naik 38,14 persen (Djoko Susilo, 2008).
Jelas sekali, sepeda motor telah menjadi boomerang dan malapetaka bagi ketertiban lalu lintas negeri ini dan sekaligus menjadi ancaman serius bagi keselamatan berkendara. Karena menurut data yang dirilis kepolisian Indonesia, kecelakaan selama libur lebaran tahun 2009 mencapai 702 orang. 71 persen kecelakaan yang terjadi melibatkan sepeda motor (Media Indonesia, 28 September 2009). Di tengah permintaan dan kecenderungan penggunaan sepeda motor yang meroket dalam setiap tahunnya, sementara antisipasi dan pengembangan infrastruktur lalu lintas tidak seimbang dan bahkan statis, meniscayakan problem-problem lalu lintas semakin kompleks dalam beberapa tahun ke depan. Dan Jakarta, sebagai kota dengan populasi paling banyak menggunakan sepeda motor, terancam macet secara permanen dalam hitungan tahun ke depan.
Sementara dari tahun ke tahun, sepeda motor dan mobil terus akan meningkat di tengah daya beli masyarakat yang mulai membaik. Di Jakarta, mengacu kepada data di Polda Metro Jaya, menunjukkan setiap hari penambahan mobil baru di Jakarta rata-rata 250 unit dan sepeda motor 1.250 unit. Sementara jalan di Jakarta yang total panjangnya 5.621,5 kilometer mengalami penambahan panjang jalan per tahun hanya 0,1 persen. Dalam kondisi seperti ini, mengacu kepada statistik di atas, sudah bisa diprediksi dalam beberapa tahun mendatang (mungkin tahun 2014), jalan di Jakarta bakal stagnan karena tidak mampu lagi menampung luapan jumlah kendaraan (Sinar Harapan, 22 April 2009).
Tentang kemacetan lalu lintas ibu kota, ada sebuah satir yang teramat miris. Jika Anda datang ke suatu negara maju, misalnya Perancis, dengan sangat menyenangkan Anda akan disambut oleh kemewahan dan kenyamanan fasilitas umum di kota Paris, dan yang pasti Anda akan segera merasakan bagaimana indahnya pintu gerbang kota itu dengan menara Eiffel yang eksotis, sebagai simbol kebanggan bagi negara dan bangsa. Eksotisme sebuah kota dengan ornamennya yang kelas tinggi adalah kesan perdana memasuki Perancis.
Indonesia menyuguhkan hal berbeda, sama “menarik” tapi miris. Jika Anda dari perjalanan luar negeri dan hendak masuk ke Jakarta sebagai Ibu Kota, pintu gerbang pertama yang akan Anda lalui adalah kemacetan dan kesemberawutan lalu lintas. Kemacetan dan kekacauan lalu lintas menjadi kesan perdana untuk Tanah Pusaka ini. Oh!
Dalam kondisi seperti ini, keseriusan pemerintah dipertanyakan dan kesadaran masyarakat Indonesia harus juga dibangun secara seimbang. Ada banyak pekerjaan rumah pemerintah yang harus cepat diselesaikan terkait masalah sepeda motor di jalanan.
Pertama, bikinlah sistem angkutan umum yang memberikan jaminan keamanan, kenyamanan, dan tepat waktu sehingga pengguna motor ataupun mobil secara logis bisa dikurangi. Kedua, sistem pembeliaan sepeda motor harus diperbaiki. Sejauh ini hanya dengan modal kurang dari Rp. 700.000 masyarakat sudah bisa menggunakan sepeda motor dengan sistem kredit. Sekarang pemerintah harus membuat regulasi baru dengan komitmen untuk membatasi penggunaan sepeda motor demi alasan kemacetan. Ketiga, pajak sepeda motor harus dinaikkan. Indonesia menjadi negara paling murah tentang pajak tahunan sepeda motor ketimbang negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Keempat, perbaiki sistem jalan dan rambu-rambu yang khusus memberikan ruang kepada pengguna sepeda, sepeda motor, mobil, dan busway. Sehingga pengguna jalan merasa aman dan tertib. Di samping itu, pengguna motor harus diberikan jalur khusus dan tidak boleh masuk jalan protokol misalnya. Namun dengan catatan, transportasi umum harus ditata secara tertib dan proporsional terlebih dahulu sehingga tidak ada lagi bentuk pelanggaran. Kelima, tegakkan hukuman menurut aturan yang sudah berlaku tanpa komprimi.
Di tengah upaya pembangunan infrastruktur jalan raya, proses kesadaran masyarakat harus juga dibangun melalui arena pendidikan baik di meja sekolah ataupun di lingkungan keluarga, ruang publik yang komunikatif di tengah masyarakat yang terbuka, dan kumpulan-kumpulan yang bersifat adat-tradisional dan memungkinkan adanya dialog di antara masyarakat. Dari sini kemudian terjadi proses kedewasaan anak bangsa menuju integritas dan kepribadian yang unggul.
Yogyakarta, 20 Agustus 2010
0 comments:
Post a Comment