Thursday, March 17, 2011

Kampusku Sayang, Kampusmu Malang (Part 2)

Tulisan saya yang dipublikasikan di media Facebook beberapa hari lalu sudah menuai banyak hujatan dan tanggapan panas dari banyak kawan. Tulisan bejudul “Kampusku Sayang, Kampusmu Malang”  itu benar-benar menemukan ruhnya sebagai medan kontroversi, dengan beragam jenis respon: mulai dari yang berkepala dingin dengan mengedapankan akal sehat, membuka diskursus, sharing dan saling koreksi, hingga yang paling mematikan, yaitu menyerang karakter individu! Yang terakhir sungguh suatu yang tidak saya harapkan pada awalnya. Karena saya menulis catatan itu hanya sebagai refleksi dan koreksi bersama semua kawan yang saya kenal, mereka yang telah membantu dan membesarkan saya, mereka yang telah menjadi guru-sahabat saya, dan mereka yang kerap menjadi inspirasi bagi hidup saya. Begitulah tulisan; selalu akan bercakap kepada pembacanya sendiri dan penulisnya, dalam kondisi seperti itu, benar-benar mati atau tidak hadir sedikit pun dalam tulisan itu.

SMS masuk pada 15 Maret 2011, pukul 22:31: 41 WIB, Nomor +6287850071xxx. Ini saya cuplikan isinya dengan tidak mengubah sehuruf pun SMS itu: “Mf sy tdk sepintar ANDA pak BJ, tp bg saya, mendngarkan crta kemudian mengambil kesimpulan bukanlah hal yg bgus buat orang SECERDAS ANDA. Jujus saya KECEWA dg tulisan ANDA. Anda sudah mengecewakan banyak orang. Kuran bkn dlm tulisan Pak, tp mau brpartisipasi, biar tau yg sbnrnya. Apakah Anda seorang pemberani?”

Terima kasih banyak untuk kawan saya yang sudah mengirimkan pesan singkat di atas. Saya balas SMS ini agar orangnya bisa bertemu dimana atau datang ke kos saya biar semua jelas: apa yang salah dengan tulisan saya, apakah ada kebohongan, atau saya telah mencerderai personal atau kelompok. Namun tidak ada yang bersedia. Padahal saya siap ngobrol dengan siapa pun dan bahkan, jika pun harus, saya siap menarik tulisan itu dan kemudian meminta maaf. Yang perlu dipahami bahwa saya menulis catatan itu “bukan mendengarkan cerita kemudian mengambil kesimpulan”. Sama sekali bukan. Saya tulis apa yang saya lihat sendiri, saya alami, dan bahkan, apa yang saya lakukan sendiri.

Tulisan itu sudah benar-benar berdialog dengan pembacanya. Mereka yang ngotot dan bahkan sangat tersinggung adalah pihak, yang mungkin saja, terlibat dengan apa yang saya tuliskan. Mereka yang secara personal menerima dan menempatkan tulisan saya sebagai sebuah refleksi yang kemudian menjadi bahan koreksi bersama, karena yang saya bangun dalam tulisan itu adalah khazanah akademis-kampus, adalah mereka yang bisa menempatkan persoalan secara proporsional. Namun mereka yang secara tidak terkontrol dan masuk dalam arus yang “terlukai” oleh tulisan itu adalah mereka yang secara psikologis tidak bisa menempatkan persoalan secara dewasa, dan bahkan mungkin menganggap bahwa ktitik adalah suatu yang tabu atau bahkan, naifnya, dianggap lelucon. Saya ingin meluruskan beberapa hal tentang tulisan itu, yang nantinya akan saya rumuskan menjadi suatu kerangka konseptual, dan tidak akan lagi menyebut nama dan organisasi secuil pun.

Saya ingin katakan di awal bahwa tulisan ini bukan mengklarifikasi bahwa saya sudah membuat suatu kesalahan. Karena saya tidak menyebut satu pun nama individu di situ dan saya memang sudah menyadarinya di awal bahwa jika saya merujuk kepada personal, justru saya akan membuat suatu kesalahan besar, dan itu saya hindari. Klarifikasi ini, kalau boleh saya menyebutnya, sebagai versi lain dari catatan itu dengan mengedepankan unsur-unsur substantif di balik tulisan saya.

Soal tulisan itu, kenapa ada sebagian mahasiswa berang? Kenapa pula ada yang biasa-biasa saja menanggapinya? Apakah salah mereka yang marah, atau apakah benar mereka yang diam? Ini pertanyaan yang terus mengintai pikiran saya hingga tulisan ini digarap. Saya ingin mencari jawaban atas inquiry ini, setidaknya menurut perspektif saya. Bahwa jika nanti ternyata ada perspektif lain, argumentasi tambahan, dan bahkan bantahan, silahkan dibagi—terutama untuk diri saya, atau mungkin orang lain, kawan-kawan semua, ingin belajar dan tahu.

Saya ingin memetakan dua hal tentang kritik (atau tepatnya koreksi) atas kesalahan dengan pola-polanya yang berbeda. Pertama, ketika saya melakukan kesalahan dan missing (tidak peduli besar atau kecil), yang bersifat pribadi: tak ada tendensi apa-apa (dan murni kesalahan personal), lalu ada koreksi-kritik ada orang lain (baik kawan dekat maupun orang jauh yang tidak dikenal sekalipun), maka saya akan melakukan dua hal: pertama, saya menerima kritikan dan koreksi itu (dengan alasan karena ingin belajar kepada orang lain, individu di luar, atau bahkan komunitas lain), lalu saya mengucapkan terima kasih yang sangat besar kedapanya karena telah saling mengingatkan; kedua, saya bisa biarkan kritik itu sebagai angin lalu saja (laiknya dianggap gonggongan anjing) dan saya tidak peduli sama sekali. Misalnya, saya menolak kritik itu karena saya orang yang lebih tinggi status sosialnya, karena saya tidak mau jatuh pristise saya di depan orang lain. Pilihan untuk dua tipe itu adalah personal, terserah saya, dan juga terserah Anda yang mau memilihnya. Bebas!

Kedua, ketika bukan lagi individu yang melakukan kesalahan atau missing, tapi kelompok, organisasi, komunitas, partai, fraksi, dan bahkan ideologi tertentu yang memang sudah merasuk ke dalam pikiran kita. Maka, jika ada kritik atau koreksi dari pihak luar (baik personal maupun dari organisasi), yang kerap muncul adalah pembelaan semu yang ekstrem. Dari tersinggung, karena kelompok mereka dicabik-kritik, kemudian menjadi kebencian bersama atas nama kelompok. Poin yang kedua ini yang saya lihat sangat riskan terjadi bentuk-bentuk kekerasan ketika doktrim ideologi sebuah organisasi sudah merasuk sedemikian dalam. Sehingga sikap begitu kerap memunculkan pemahaman bahwa right or wrong is my organization (benar atau salah tetap organisasi yang saya bela)!

Tipe kedua telah menjadi ancaman bagi keberagamaan NKRI ketika ditilik dalam konteks nasional. Itu namanya masyarakat massa, suatu kecenderungan yang mengedepankan group atau in-group perception yang mengartikan bahwa semua yang terjadi dalam group adalah benar! Dan saya melihat, jika mahasiswa sebagai calon penerus bangsa ada di aras ini, sebagai mahasiswa massa yang tidak mau menerima persepsi dari luar groupnya, maka jembatan dialog dan komunikasi rasional yang mengedepankan pikiran sehat akan hangus dan terputus.

Saya tidak bisa menyimpulkan bahwa mahasiswa sekarang ada di ranah kedua. Namun kecenderungan mencari massa sebanyak-banyaknya dengan mendekati dan “merayu” mahasiswa baru, seperti membuka stand-stand dan menawarkan tes try-out gratis, buku gratis, seminar gratis, nonton film gratis, atau apapun bentuk pendekatannya, adalah indikator tentang mahasiswa massa yang mencoba mencari dan menumpuk massa dalam groupnya masing-masing. Lalu, terjadilah suatu doktrinasi di dalamnya dengan berbagai bentuknya, dan jarum-jarum ideologi pun menancap di pikiran dan pengetahuan mahasiswa.

Ketika ideologi itu meracuni secara ekstrem, ada berapa hal yang hilang di sini yaitu tentang keberagaman, dan potensi diversifikasi diri. Kerena kepentingan kelompok yang berdasarkan kepada aras ideologi semu itu menjadi segala-galanya! Memang, big nonsense ketika kita mengaku tidak punya kepentingan. Kepentingan pasti ada. Tapi kepentingan untuk kebersamaan-kemanusiaan kita, tanpa sikut kiri-kanan, tanpa mencerderai siapa pun, dan tetap berkompetisi secara sehat (tidak licik!), adalah suatu idealisme.

Bagi saya, ideologi adalah muatan kepentingan semata, sebuah proyek semu yang mematikan pikiran sehat manusia. Meskipun kata orang bahwa ideologi sekarang sudah mati dan tidak ada (the end of ideology).“I am okay, you are okay”. Namun kembarannya atau apalah namanya, bagi saya, masih tetap tumbuh berkecambah! Karena ideologi adalah suatu kepalsuan yang tidak bisa memberikan jarak atau ruang bagi otak seseorang (yang sudah terkooptasi) untuk mengakomodasi, sharing, berdiskursus secara terbuka dan mengedepankan suatu dialog untuk mencapai nilai-nilai kebenaran universal-humanis, dan lalu bermuara kepada kesepakatan

Sebagai klarifikasi, saya tandaskan di sini bahwa TIDAK ADA SATU PUN NAMA PERSONAL yang saya maksud dalam tulisan Kampusku Sayang, Kampusmu Malang. Jika saya menyebutkan subjek orang pertama dengan kata “KITA, KAWAN-KAWAN SAYA, dan TEMAN-TEMAN”, itu jangan diartikan dan apalagi didefinisikan kepada nama orang (personal), hanya saja untuk lebih akrab dan kita merasa sama-sama sebagai mahasiswa.

Saya mohon maaf kepada kawan-kawan semua, teman-teman dekatku, mereka yang memilih jalan di pergerakan (sebuah jalan pengabdian yang mulia dan berkah) yang secara pribadi merasa terpojokkan dengan tulisan tersebut. Saya tidak punya pretensi apa-apa buat kalian.

Saya menulis catatan itu karena saya mencintai kawan-kawanku semua, generasi muda yang cemerlang, mahasiswa yang progresif, berbagi bersama demi kemanusiaan dan masa depan Tanah Air ini.   

Bagi kawan-kawanku yang merasa ingin melanjutkan obrolan ini, silahkan dilanjutkan. Selamat beraktifitas semua. Doa saya untuk kawan-kawan semua, have a blessed day.

0 comments: