“Yazıyor musun? Bari o kadar çok sigara
içme!
Zaten lüzumsuz bir iş yapıyorsun. Hiç değilse
başka yönden zarar görme!”[i]
Nyaris
sebuah rutinitas sekitar tengah malam, pintu kamar dibuka dan suara itu pun terdengar
dari seorang yang sangat akrab dalam hidupnya: seorang ibu yang tinggal
bersamanya di sebuah apartmen pribadi bernama Pamuk Apartmanı di Nişantaşı, Beyoğlu, Istanbul. Di rumah itu Orhan
Pamuk memulai karirnya sebagai penulis dengan bekal warisan buku-buku dari
keluarganya, khususnya dari sang Ayah yang telah mengoleksi ribuan buku di
perpustakaan pribadi, buku-buku yang dibeli bersama kakaknya Şevket Pamuk di
masa-masa mereka remaja, dan tentu sekopor buku misterius dari ayahnya yang
baru dibukanya (karena wasiatnya sendiri agar dibaca) setelah dia meninggal
tahun 2002!
Kali
ini saya ingin mengintip pergumulan Pamuk dengan buku dari hal-hal yang luput
dicatat oleh khalayak. Sungguh akan unik menapaktilasi masa-masa Pamuk muda,
suatu fase ketika dirinya berada dalam persimpangan pilihan hidup—antara
tuntutan keluarga dan passion yang
menjalar bebas dalam dirinya. Masa-masa muda inilah, menurut saya, menjadi turning point yang akhirnya menentukan
masa depan dan kesuksesan demi kesuksesan yang diraihnya hari ini.
Untuk itu,
Pamuk jangan dilihat melulu hari ini sebagai peraih hadiah-hadiah bergengsi
seperti Nobel Prize, International IMPAC Dublin Literary Award,
Prix France Cultur, Sonning Prize, Orhan Kemal Novel Prize, Aydın
Doğan Prize dan sederetan anugerah yang telah mencatatkan namanya dalam
tinta emas sejarah sastra dunia. Mari bersama-sama menjelajahi jejak-jejak kecemasan,
melankolis dan kekhawatiran pada dirinya, yang kemudian terselamatkan karena
buku!
Bila
harus jujur—sekedar mengingat seorang penulis dunia ihwal kegialaannya kepada
buku—Orhan Pamuk memang belum (dan mungkin tidak) segigih Jorge Luis Borges
ihwal pengabdiannya kepada dunia keperpustakaan yang ditunjukkan secara heroik
hingga akhir hayatnya, bahkan secara tersirat Borges ingin melanjutkan hidup di
Surga yang dibayanginya seperti perpustakaan. Tetapi keduanya mempunyai jalan
sendiri-sendiri yang pada akhirnya bertemu pada satu titik: bergumul di dunia
literasi.
Pamuk
kecil tumbuh dari keluarga pecinta buku, khususnya sang ayah. Imajinasi,
kreativitas dan kebebasan tumbuh di sana. Meski ia belum sanggup menghabiskan
buku-buku koleksi ayahnya—yang berjumlah lebih dari 1500 itu—setidaknya Pamuk muda sudah terbiasa dengan
dunia bacaan, yang mulai ditekuni secara lebih serius pada usia belasan tahun akhir.
Perpustakaan pertama bagi Pamuk adalah koleksi pustaka pribadi ayahnya. Ketika
ada waktu liburan baik dalam atau luar negeri, toko buku menjadi salah satu
tempat yang mereka kunjungi, di samping sang ayah biasa menambah koleksi buku-bukunya
dari toko bekas bekas di Istanbul.
Persentuhan
pertama Pamuk kecil dengan buku dan mimpi menjadi penulis tersemai di Ankara. Pada
suatu kesempatan bersama ibu dan kakaknya, Pamuk dihantar belanja buku yang
pada waktu bersamaan ada acara imza günü
(hari tanda tangan) bersama Aziz Nesin, penulis produktif dan penerjemah novel kontroversial Salman Rushdie Satanic Verses yang nyaris menjadi korban dalam tragedi demonstrasi ribuan orang yang berujung pembakaran sebuah hotel yang ditempati acara dari kelompok paham Alavi di Sivas pada 2 Juli 1993. Saat itu Pamuk masih berusia 8 tahun. Di antara kerumunan orang-orang yang
antri menunggu tanda tangan, Pamuk kecil berkhayal: İleride ben de bir yazar olacaktım (saya juga akan menjadi penulis
di masa depan) (Öteki Renkler, hal.
197). Dan mimpi itu telah menjadi kenyataan. Dalam 15 tahun terakhir,
keberadaan Pamuk ditunggu dan goresan tanda tangannya diburu oleh para
penggemarnya—sampai ribuan orang mengantre!
Dalam
literatur dan dokumen-dokumen wawancara bersama Pamuk, sependek yang saya baca,
momentum di Ankara bisa ditandai sebagai mimpi pertama menjadi penulis yang dititahkan
oleh dirinya. Pamuk remaja tumbuh dalam kultur dan ideologi Eropa dengan gelimang
imajinasi yang tumpah-ruah di antara kubangan buku-buku. Proyek modernitas dan
westernisasi yang menjadi tulang punggung didirikannya Republik Turki melebur
dalam keluarga Pamuk: mengisi liburan ke Prancis bersama ayahnya, rokok dan rakı (arak lokal) menjadi salah satu gaya hidup, dan keluarga
mereka pun dijalankan dalam kebebasan. Tetapi tentu dengan satu pattern yang sudah tertanam kuat dan
harus dicapai: kesuksesan! Apapun profesi yang dipilih, kesuksesan materi
adalah tujuan utama yang tergambar jelas dalam keluarga mereka.
Sementara itu, tujuan hidup Pamuk adalah untuk bahagia,
dengan ataupun tanpa materi! Maka jalan menulis, yang kata ibunya tidak akan
dibeli dan dibaca di Turki, ditempuh Pamuk dengan segala risikonya.
Persentuhan kedua Pamuk muda dengan buku di usia 17-18.
Tahun-tahun ini, di masa-masa awal menuju kuliah, ia mulai lebih serius menggeluti
buku-buku ayahnya. Semua koleksi buku-buku puisi Turki yang ada dalam perpustakaan
pribadi itu dilahap habis. Pada usia 18 Pamuk pertama kali memuplikasikan
puisinya di sebuah buletin sastra bernama Yeditepe
yang pada rentang tahun 1950-1984 getol memberi ruang kreativitas bagi para sastrawan
muda di Turki. Buletin sastra yang bernafas pendek itu diasuh oleh wartawan,
penulis dan pengelola penerbitan bernama Mehmet Hüsamettin Bozok (1916-2008).
Pada fase ini, Pamuk lalu bermimpi menjadi penyair dan
keinginan menjadi penulis yang sempat tercecap 10 tahun silam pun kembali
lahir. Tapi jangan lupa, Pamuk juga mempunyai mimpi lain yang tumbuh bersama
kesukaannya menggambar sejak di sekolah dasar: menjadi pelukis! Sebenarnya,
obsesi menjadi pelukislah yang paling mendominasi pikiran Pamuk muda, dari usia
7 hingga 22, dan bahkan ia sempat punya studio kecil untuk ekspresi melukisnya.
Atau lebih tepatnya, mimpi menjadi pelukis yang sekaligus penyair!
Dalam rentang usia sebelum 22, mimpi menjadi penyair atau
pelukis tak lebih dari sekedar letupan-letupan kecil tapi menggebu-gebu. Apakah
menjadi pelukis atau penyair? Dua-duanya gagal. Di tengah kecemasan pilihan
kreativitas anak muda seusianya, ada satu garis besar yang tidak pernah jauh
dari dirinya: mencintai seni sebagai jalan menemukan kebahagiaan!
Lagi, sebelum usia 22 Pamuk berada dalam ambiguitas
pilihan kreativitas ihwal dunia seni. Tetapi mujurnya, di tengah
pemberontakan-pemberontakan untuk mencari kebahagiaan melalui karya seni, Pamuk
tetap getol bergumul dengan buku-buku. Dalam sitauasi seperti itu, hanya
seorang ibu yang selalu menjadi teman bicaranya, tak segan-segan berdebat
denganya. Misalnya, ia secara terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya
pada jurusan kuliah yang tengah diambilnya (mimarlık/arsitektur)
dan sejak tahun kedua ia mulai meninggalkan pelajaran, sebelum akhirnya
benar-benar ditinggalkannya pada tahun ketiga.
Sementara
ayahnya sering tidak berada di rumah—entah kerja di luar kota,
di luar negeri atau sekedar liburan. Ketika liburan di Paris, Pamuk kerap
diceritain oleh ayahnya bahwa dirinya pernah melihat Jean-Paul Sartre dari jauh,
yang akhir-akhir ini Pamuk paham sendiri—khususnya setelah membuka kopor
misterius berisi manuskrip—bahwa ayahnya juga bermimpi menjadi seorang penulis.
Tetapi
sayangnya, sang ayah gagal menjadi penulis. Karena ayahnya, kata Pamuk, is a troubled optimism, scarred by the anger
of being consigned to the margins, of being left outside. Sementara
itu, menjadi penulis harus siap menghadapi semua ini: berhasil ataupun gagal!
Persentuhan ketiga Pamuk muda dengan buku dimulai sejak
usia 22, tahun 1974. Usia tersebut menjadi tolak ukur bagi pergumulan kreativitasnya
dan paling banyak disebut oleh khalayak; sebuah fase revolusioner. Saat itu
Pamuk memilih cara mengisolasi dirinya dalam kesunyian kamar dan buku-buku koleksi
ayahnya dengan tekad menjadi penulis. Orientasi Pamuk terhujam pada satu
bingkai filosofis: hidup mencari kebahagiaan dan seni-sastra adalah jalan yang
harus ditempuhnya. Untuk itu, di tengah ‘intimidasi’ keluarga yang mengkhawatirkan
masa depannya Pamuk mengurung diri dalam kamar. İa tidak sendiri. Tumpukan buku-buku
adalah teman setia yang menghiburnya. Di kamar itu ada meja dan kursi dekat
jendela, tumpukan kertas dan pena untuk menulis. Pamuk suka melihat sinar
matahari masuk kamarnya dan membentuk silhuet karena dari situ imajinasinya
terus hidup. Rokok, kopi, sekali-kali rakı
dan juga omelan sang ibu menyertai hari-hari berat dan keputusasaan yang
kadangkala datang mengancam dan menggoyahkan pikirannya selama 8 tahun. Ya,
selama 8 tahun Pamuk berkubang sunyi dengan buku-buku di kamarnya, sembari mulai
menulis novel perdananya, Cevdet Bey ve
Oğulları
(Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya).
Selama
8 tahun inilah Pamuk menjadi kutu buku. Ia melahap habis karya-karya sastra koleksi
ayahnya yang disebutnya sebagai perpustakaan pertama baginya; bergumul secara
intens dengan para sastrawan baik dari Turki ataupun luar negeri. Karya-karya sastrawan
Turki terkemuka seperti Yahya Kemal, Kemal Tahir, Oğuz Atay, Ahmet Hamdi
Tanpınar, Orhan Kemal, Yaşar Kemal, Nazım Hikmet, Aziz Nesin, Kemalettin Tuğcu
dan Fethi Naci ditimpas habis. Bahkan pun karya Jalaluddin Rumi, Nizami, Ibn
Arabi dan Imam Al-Ghazali menjadi santapan liar seorang gila-buku yang memenjarakan
diri dalam kamarnya sendiri.
Di
samping itu, Pamuk makin kesetanan menenggak saripati karya-karya sastrawan
dunia yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya. Sebutlah seperti Gabriel
García Márquez, Julio Cortázar, Jorge Luis Borges, William Faulkner, Thomas
Mann, James Joyce, Albert Camus, Virginia Woolf, Joseph Conrad, Stendhal, Dante
Alighieri, Jean-Paul Sartre, Guillermo Cabrera Infante, Salman Rushdie, Victor
Hugo, Milan Kundera, Philip Larkin, Gunter Grass, Patricia Highsmith, Mario
Vargas Llosa, Thomas Bernhard dan penulis-penulis dari Rusia seperti Leo Tolstoy
dan Fyodor Dostoyevsky. Barangkali karya-karya dari nama besar di atas tidak
semuanya Pamuk baca dari koleksi ayahnya selama 8 tahun mengurung, tetapi saya tidak
terkejut ketika melihat sendiri jejak-jekak gairah penerjemahan buku-buku
sastra dunia yang marak di Turki sejak tahun 1950-an. Di Turki Anda akan sangat mudah mendapati buku-buku terjemahan langsung dari bahasa pertama seperti Persia, Rusia, Jerman, Prancis, Italia, Portugis, Arab, dll. tanpa harus menunggu versi kedua dari bahasa Inggris, seperti biasa terjadi dalam dunia perbukuan kita di Indonesia hingga hari ini.
Sampai
di sini saya ingin berbisik kepada pembaca yang budiman bahwa Pamuk mengurung
diri dalam kamarnya selama 8 tahun adalah jalan wahyu sebagai novelis. Selama
masa inkubasi tersebut, ia adalah seorang yang kesepian, memilih jalan kesunyian.
Ia tidak suka keramaian—apalagi orang-orang yang tidak dikenal, makanan mewah
saat liburan lebaran, kantor-kantor dan orang-orang yang terlalu serius. “Turun
gunung” setelah 8 tahun, di usianya ke-30, Pamuk pun menerbitkan novel
perdananya, setelah selama 2 tahun ia harus pontang-panting mencari penerbit. Akhirnya
tahun 1982 Penerbit Karacan bersedia menerbitkan novel sebetal 641 halaman, Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya (ditulis
rentang tahun 1974-78).
Untuk
membaca sejarah Pamuk secara lebih detail saya rekomendasikan buku-buku
karangannya sendiri seperti Istanbul: Hatıralar
ve Şehir (Istanbul: Kenangan dan Kota), Öteki
Renkler: Seçme Yazılar ve Bir Hikaye (Warna-Warna Lain: Sebuah Cerita dan
Pilihan Tulisan), Manzaradan Parçalar:
Hayat, Sokaklar, Edebiyat (Fragmen-Fragmen Panorama: Kehidupan, Jalanan,
Sastra), Saf ve Düşünceli Romancı
(Novelis Naif dan Sintimentil), Babamın Bavulu (Kopor Ayahku), dan bahkan beberapa novel yang secara tersirat merekam jejak hidupnya sendiri, misalnya Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan
Anak-Anaknya), Sessiz Ev (Rumah
Sunyi) dan Masumiyet Müzesi (Museum
Kepolosan).
Akhirnya,
bagi yang ingin memilih menjadi penulis, seperti pesan Pamuk, keberanian tidak
cukup, tetapi ia harus terlunta-lunta dalam kesunyian. Dan Pamuk menemukan kebahagiaan
saat-saat seperti itu, saat di mana ia menciptakan dunia lewat kata-kata yang
ditulisnya. Karena baginya, menulis adalah balas dendam bagi kehidupan yang
tidak pernah terjadi!
Turki, 17
Agustus 2015
[i] “Apa kamu sedang menulis? Jangan merokok
sebanyak itu sekaligus. Kamu sudah mengerjakan sesuatu yang tidak penting, setidaknya
jangan tambah lagi penderitaanmu!”
Catatan:
Tulisan di atas bersumber dari buku:
1.
Istanbul:
Kenangan dan Kota
(Cet. 12/ 2014),
2.
Warna-Warna
Lain: Sebuah Cerita dan Pilihan Tulisan (Cet. 1, 2013),
3.
Fragmen-Fragmen
Panorama: Kehidupan, Jalanan, Sastra (Cet. 2, 2010),
4.
Novelis Naif dan
Sintimentil
(Cet. 1, 2011),
5.
Kopor Ayahku (Pidato Hadiah
Nobel),
6.
Beberapa
artikel dan wawancara terpisah di media-media lokal di Turki.