Sunday, November 22, 2015
Surat Motivasi Aplikasi Program MEP-Australia
(Setelah ada beberapa teman ingin membaca surat mutivasi atau dokumen untuk kegiatan MEP (Muslim Exchange Program) yang saya ikuti tahun 2011 di Australia, saya berpikir file ini perlu diselamatkan sebelum hilang atau tertumpuk lapuk. Jika teman-teman merasa perlu membaca sebagai pengkayaan perspektif, dengan senang hati dipersilahkan. Semoga bermanfaat.)
Sebagai
pertimbangan mengapa saya melamar dan berminat program ini, secara
komprehensif-kronologis, berikut saya ceritakan tentang “kegelisahan dan
pergulatan” intelektual saya sejak pendidikan menengah pertama di pondok
pesantren, perguruan tinggi, hingga aktivitas saat ini yang sedang saya geluti.
Sejak saya belajar di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, saya
mulai bersinggungan dengan beberapa komunitas diskusi tentang isu-isu keagamaan
secara luas. Saya beruntung langsung terlibat dengan banyak organisasi bersama
santri-santri senior yang bisa memberikan inspirasi dan sharing pengalaman yang akhirnya melecutkan kreativitas dan minat
belajar saya.
Semasih
duduk di Pondok Pesantren Annuqayah, periode MTs-MA, saya bisa menyebutkan beberapa
organisasi, lingkaran diskusi, dan media penerbitan yang telah menjadi bagian dari
proses panjang dalam pergulatan intelektual saya, seperti IKSAPATRA sebagai Seksi
Pengembangan Intelektual, Koordinator Diskusi RADIAN ALMERSERY, Forum Malam
Selasa, Koordinator Perkumpulan Santri-Penulis Annuqayah, dan menjadi Pimpinan
Redaksi Mading ARENA, Pimpinan Umum Jurnal PENTAS, dan Staff Redaksi Majalah
PERMAI di salah satu penerbitan LSM ternama di Madura, Jawa Timur, yaitu BIRO
PENGABDIAN MASYARAKAT (BPM) PP. Annuqayah.
Di
BPM-PPA ini, saya mulai bertemu dengan orang-orang dari luar “area” latar
belakang saya. Mereka adalah dari kalangan pemerintahan, jaringan LSM nasional
mauppun internasional, dan tamu-tamu penting yang sedang melakukan penelitian.
Saya beberapa kali diutus mengikuti workshop dan pelatihan tentang isu-isu
sosial dan lingkungan di luar Madura mewakili BPM-PPA. Di BPM pula, saya
menemani dua volunteers dari
Australia (Margaret Rolling dan John Rolling) yang mempunyai program mengajar
Bahasa Inggris di pondok pesantren. Saya kerap bertukar pikiran bersama dua
orang ini, dan mereka pula yang telah melecutkan semangat saya untuk terus
belajar dan belajar.
Selama
proses tersebut, saya beruntung tetap bergelut dengan buku-buku bacaan dan
menulis. Saya menjadi ketua dan pembina Perpustakaan Annuqayah dan Kepala
Bidang Pengembangan Kepustakaan di BPM-PPA. Di bidang penerbitan, saya bersama
teman menginisiasi penerbitan Buletin KEJORA di lingkungan pondok pesantren sebagai
media yang mewadahi kreativitas santri. Kedekatan saya dengan buku dan
kreativitas menulis akhirnya mengantarkan saya kepada banyak kesempatan. Sejak
Madrasah Aliyah (sederajat SMA) saya sudah banyak memenangkan lomba karya tulis
di tingkat kabupaten, dan tulisan-tulisan saya sudah mulai dimuat di media lokal
ataupun nasional.
Tahun
2006 saya datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan S1. Namun sebelum kuliah, saya
harus dihadapkan dengan pembiayaan yang harus saya tanggung sendiri karena
orang tua saya (tinggal Ibu sendiri) sudah tidak sanggup lagi membiayai. Saya harus
bekerja serabutan dulu. Alhamdulilah
saya bertemu dengan sosok kiai muda dan penulis produktif bernama (alm) K.H.A.
Zainal Arifin Thaha. Saya diizinkan oleh beliau agar tinggal di gubuk sederhana
bernama Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari. Di Yogyakarta, saya bisa
lebih bebas lagi berkomunitas baik keseniaan, agama, filsafat, sosial, dsb. Di
sini saya terlibat dengan banyak organisasi dan komunitas: pembina di Ikatan
Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta, koordinator Komunitas KUTUB, Koordinator
Program Sastra di Tetaer ESKA UIN Sunan Kalijaga, salah satu Person in Charge Youth
Program komunitas Peace Generation yang bekerja sama dengan Pusat Studi Keamanan
dan Perdamaian (PSKP) UGM, American Friends Services Committee (AFSC), Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dll. Kebersamaan saya dengan mereka telah
membuka ruang toleransi, multikultural, dan solidaritas sosial antara umat beragama
dengan latar belakang yang beragam. Di sini pula saya bisa ikut terlibat di
berbagai seminar dan konferensi
nasioanal ataupun internasional.
Sejak
di Yogyakarta saya sudah menemukan “mini Indonesia” yang merepresentasikan
multikulturalisme dan pluralisme. Di sini saya bisa membuka pemikiran dan
perspektif saya yang lebih inklusif melalui pertemuan dan terlibat secara
langsung dengan orang-orang dari berbagai latar belakang baik agama, ras,
etnis, dan bangsa. Semangat pluralisme ini telah menjadi landasan saya dalam
praktik keberagamaan lebih lanjut ke depan. Kantong-kantong keberagamaan yang
radikalis, ekstremis, fundemintalis, dan militan coba saya masuki demi membangun
jembatan komunikasi dengan nilai-nilai Islam yang substantif dan holistik,
mencari arah solusi terhadap praktik keberagamaan yang mereka jalani sejauh
ini, untuk kehidupan manusia yang harmonis dan rahmatul lil ‘alamin. Spirit seperti ini telah menjadi bagian
terpenting dalam proses kehidupan saya ke depan dengan komunitas yang saya
gawangi, bersama orang-orang yang saya temui di setiap saat. Semua ini saya
lakukan demi restorasi dan spirit kebangsaan yang secara prinsipil membutuhkan ruang-ruang
diskursus yang beragam dan multikultur.
Keran
pemahaman tentang multikultarilme dan spirit kebangsaan itu saya temukan secara
lebih spesifik ketika bulan Juni-Juli 2010 saya mendapatkan beasiswa dari The Indonesian International Education
Foundation (IIEF) dan US Embassy untuk belajar bahasa dan budaya ke Amerika
Serikat. Saya tinggal di negara bagian South Carolina, belajar di University of
South Carolina, bertemu dan berinteraksi dengan mahasiswa asing,
mempresenitasikan budaya Indonesia. Arti keberagamaan dan kebangsaan saya semakin
menemukan jawabannya secara holistik ketika saya banyak berkomunikasi dan
bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar bangsa di dunia.
Jika
saya terpilih dalam program ini, saya akan memanfaatkan pertemuan saya dengan
berbagai pihak baik personal orang maupun lembaga-lembaga dan organisasi yang
ada di Australia; saya akan sharing lebih dalam tentang pengelolaan organisasi
dan penguatan jaringan dengan lembaga-lembaga luar. Program Pertukaran Tokoh Muslim
Muda Indonesia-Australia 2011 ini tentu akan memberikan ruang yang lebih luas
lagi bagi saya untuk berbagi pemahaman dan praktik-praktik riil di lapangan
dari pengalaman banyak orang maupun organisasi dari perspektif yang lebih luas.
Setelah
terpilih dari program ini, saya akan berbagai pengalaman dengan memberikan
suatu perspektif baru tentang organisasi maupun nilai-nilai pemahaman yang overseas sebagai landasan bagi
pengembangan organisasi saya di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari dan
organisasi lain yang sedang saya geluti. Program ini sangat membantu saya dalam
proses transfer pengalaman dan transformasi pemahaman kepada lembaga dan
komunitas masing-masing yang saya geluti sekarang. Proses interaksi dialogis
yang lebih luas melalui program ini akan memberikan spirit dan nutrisi baru
bagi keberlangsungan organisasi.
Masyarakat
Indonesia yang saya rancang sebagai tujuan komunikasi dan gerakan setelah
program ini adalah para pemuda (youth)
karena mereka inilah yang akan meneruskan dan menentukan masa depan bangsa dan
negara Indonesia. Saya akan mengajak para pemuda untuk berbagi dan sharing
pemahaman tentang keberagamaan masing-masing demi restorasi kebangsaan. Saya
melakukan kunjungan ke organisasi dan lembaga-lembaga pemuda yang ada di
Yogyakarta. Sebagai contoh adalah ketika saya dan komunitas Peace Generation melalui
kegiatan DO.Ci.Reng (Dolanan Cerita Bareng) melakukan assessment terhadap anak-anak korban
erupsi Merapi di Magelang ataupun kegiatan Peace
Camp, semacam program immerse yang mempertemukan mini Indonesia dalam satu
kegiatan. Saya menemukan banyak pelajaran di sini bahwa pemuda harus menjadi elan-vital
yang harus dipupuk kreativitasnya demi masa depan Indonesia.
Jika
saya diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegaitan MEP kali ini, organisasi/personal
yang ingin saya kunjungi:
1. Chaaban
Omar, dari FAMSY Federation of Australian Muslim Student & Youth.
2. Chair
and Administrator of the Australian Federation of Islamic Council
3. Dr
Samina Yasmeen, the University of Western Australia
4. Fadi
Rahman, Muslim Youth Leader, ICRA (Independent Centre of Research Australia)
5. Professor
Abdullah Saeed, Sultan of Oman and Chair of Arab & Islamic Studies and
Director of the Centre for the Study of Contemporary Islam.
6. Ahmed
Youssef, President of the Islamic Centre of Canberra
7. Anna
Halafoff, Inter-religious & Intercultural Relations– Asia Pacific and
Global Terrorism Research Centre at Monash University.
8. Silma
Ihram, Founder & Principal, Noor Al Houda Islamic College.
Thursday, November 12, 2015
Ayah
Dunia bermain adalah kehidupan utama bagi anak-anak
seusiaku. Segala jenis permainan bersama, mulai dari
permainan tradisional turun-temurun hingga permainan yang kami buat sendiri,
selalu menandai masa-sama bahagia yang sederhana tak terlupakan bersama anak-anak tetangga.
Suatu hari menjelang sore, aku dan beberapa teman bermain sembunyi-sembunyian,
semacam polisi-polisian. Di tengah berlangsungnya
permainan, seorang ibu penjaja jajanan mampir ke halaman rumah nenek. Kami,
seperti biasa, langsung mengerumininya. Tak peduli ada uang
atau tidak. Biasanya kami serentak teriak “beliiii…..” dan menunjuk ini-itu.
Aku lalu langsung merangsek ke dapur, menemui Ayah, Ibu dan sepertinya
ada paman atau bibi di sana—yang sedang menemani Ayah. Tanpa ba-bi-bu, aku
merengek minta uang kepada Ibu untuk beli jajan. Sedikit berteriak, memaksa dan tentu rewel.
Ayah, yang sedang tergolek di lincak memanggilku, “sini, nak.” Aku segera mendekat. Dan plak! Sebuah tamparan
mendarat di pipiku.
“Ayah sedang sakit, cong.” Aku mendengar kalimat ini dari Ayahku sebelum berlari menangis ke halaman rumah. Ibu, atau nenekku, lalu mengejarku dan membelikan jajan.
“Ayah sedang sakit, cong.” Aku mendengar kalimat ini dari Ayahku sebelum berlari menangis ke halaman rumah. Ibu, atau nenekku, lalu mengejarku dan membelikan jajan.
Ini salah satu kenangan terindah bersama Ayah yang paling
kuingat. Beberapa bulan setelahnya beliau meninggalkan kami karena sakit yang
dideritanya, hanya berselang sekitar 37 hari setelah kedatangannya dari Tanah Suci (semoga Ayah damai selalu di sisiNya).
Saat itu, aku masih belum cukup umur untuk sekolah SD di
kampungku. Juga belum disunat.
Ayahku, semoga anakmu ini segara menjadi ayah yang mencintai anak-anaknya kelak dengan hati dan jiwa yang dalam. Selamat Hari Ayah. Doa selalu kupanjatkan setiap tarik nafasku....
Ayahku, semoga anakmu ini segara menjadi ayah yang mencintai anak-anaknya kelak dengan hati dan jiwa yang dalam. Selamat Hari Ayah. Doa selalu kupanjatkan setiap tarik nafasku....
Turki, 12 November 2015
Tuesday, November 03, 2015
Drama Kemenangan Partai Penguasa Turki
Pada 1
November kemarin pemilu ulang di Turki dihelat. Meskipun ada 16 partai politik
yang ikut bertarung demi mengirimkan wakil di parlemen, hanya ada 4 parpol (AKP,
CHP, MHP, HDP) yang mempunyai tempat signifikan di percaturan politik negara
bekas Ottoman ini. Partai-partai sisanya tak lebih hanya sebagai penggembira setidaknya
dalam satu dekade terakhir.
Di antara 4 besar
tersebut, satu parpol baru HDP (Partai Demokrasi Rakyat) yang berdiri sejak
Agustus 2012 boleh dibilang fenomenal. Mereka dapat menembus ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) di
atas 10% pada pemilu nasional pertamanya. Hal tersebut tentu prestasi istimewa
untuk sebuah parpol baru dari kelompok minoritas suku Kurdi.
Menurut
hasil hitung cepat oleh media nasional seperti Anadolu Ajinsi dan Cihan
Ajinsi, pemilu ulang kali ini menunjukkan hasil yang sangat menguntungkan
bagi partai penguasa: AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan) 49%, CHP (Partai
Rakyat Republik) 25%, HDP (Partai Demokrasi Rakyat) 10% dan MHP (Partai Gerakan Nasionalis) 11%. Coba bandingkan dengan hasil pemilu
7 Juni lalu: AKP 40.86%, CHP 24.96%, MHP 16.29% dan dan HDP 13.12%.
Berkaca pada data
di atas, suara dari partai nasionalis anjlok hingga lebih 5 persen dan suara
dari komunitas suku Kurdi hanya berkurang sekitar persen. Sementara itu, partai
warisan Mustafa Kemal Ataturk CHP menunjukkan bahwa mereka mempunyai konstituen
paling loyal dengan hasil yang selalu sama, yaitu di angka 25 persen.
Kecemasan dan Harapan
Sejak hasil pemilu
7 Juni lalu situasi internal Turki penuh drama dan pelan-pelan merangkak ke
arah kekerasan masif, di samping juga konflik laten bersenjata antara pasukan keamanan Turki versus PKK (Partai Pekerja Kurdi) di Turki timur dan tenggara terus berlanjut hingga hari ini. Salah satu kekerasan tak terkendali itu adalah ledakan
bom bunuh diri yang terjadi di Suruc, Sanliurfa pada 20 Juni 2015. Ledakan
pertama setelah pemilu 7 Juni itu memakan korban sekitar 30 orang. Puncaknya
adalah ketika kembali ada ledakan bom bunuh diri di ibukota Ankara (10/10) yang
memakan korban lebih dari 100 orang.
Menurut hasil
investigasi otoritas setempat, pelaku, pola dan motif kedua ledakan di atas mirip-mirip: dilakukan oleh ISIS dan menyasar kepada “kelompok kiri” yang berafiliasi
dengan massa HDP. Bedanya, bom bunuh diri yang pertama meledak di daerah mayoritas
suku Kurdi sendiri di Sanliurfa, di tengah-tengah massa pemuda yang tengah berkumpul menggalang dukungan untuk pengiriman bantuan ke Kobani, daerah perbatasan Suriah-Turki yang pernah
diluluhlantakkan ISIS selama musim panas 2014 dan sekaligus menjadi perhatian
serius suku Kurdi yang merasa sebagai saudara-suku. Sementara ledakan bom di Ankara
terjadi juga di tengah-tengah massa HDP yang ikut meramaikan pertemuan puncak
nasional untuk persiapan dan konsolidasi pemilu ulang.
Kata kunci yang
menarik di sini adalah: ledakan bom di ibukota, pusat pemerintahan dan aktivitas lintas negara diperagakan. Bagi saya, seperti juga dirasakan oleh rakyat Turki sendiri, ledakan tersebut telah menjadi lampu kuning
kecemasan. Semacam ancaman yang mendatangkan kekhawatiran demi kekhawatiran bagi mereka. Kecemasan, sebuah drama paling ampuh yang dimainkan oleh kepentingan
politik untuk mengocok emosi rakyat. Sebab, rakyat pada umunya tentu akan mengkhawatirkan
terjadinya situasi chaos.
Meskipun posisi
PKK sangat urgen dalam manuver politik Turki sejak 30
tahun terakhir, di sini saya tidak akan memaparkan konflik bersenjata PKK, kelompok
yang dicap sebagai teroris oleh Uni Eropa, Amerika dan Turki sendiri. Meski operasi
militer yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok yang menuntut kemerdekaan suku
Kurdi ini ditengarai sebagai “mainan” pemerintah Turki karena suaranya dari
komunitas Kurdi banyak hilang diserap HDP, perseteruan konflik berdarah selama
30 tahun terakhir mempunyai aspek historis tersendiri yang tak mudah
disimpulkan begitu saja. Sebagai otoritas negara sah demi menjaga stabilitas nasional,
Turki bisa kapan saja melakukan operasi kepada kelompok-kelompok separatis yang
ingin memecah-belah Turki, termasuk PKK.
Lebih lanjut, bom bunuh diri di
Ankara, bagi saya, menjadi titik balik dan sekaligus shock therapy bagi rakyat Turki dalam situasi menunggu kepastian
pemerintahan yang belum terbentuk. Dari banyak opini dan suara-suara lokal
rakyat Turki, situasi pasca-bom di Ankara tidak boleh dibiarkan berlarut dan stabilitas internal negara yang sudah terkelola baik di bawah AKP akhirnya menjadi semacam common sense dan harapan mayoritas.
Karena bagaimana pun juga, ledakan di
ibukota sebuah negara seperti Turki yang dikenal dengan sistem keamanaan tangguh akhirnya memunculkan banyak spekulasi dan kecurigaan. Kelompok anti-pemerintah dengan terang-terangan mengutuk bahwa bom
di Ankara adalah proyek pemerintah dengan memanfaatkan kekerasan struktural
demi meraih kembali tampuk kekuasaan.
Sebaliknya dari
kelompok pro-pemerintah sendiri, opini yang terdedah adalah ledakan tersebut
merupakan provokasi PKK. Apalagi ada kicauan di Twitter yang pada semalam
sebelumnya menuturkan bahwa di Ankara besok akan ada ledakan bom. Usut-punya
usut, akun Twitter tersebut adalah milik salah satu simpatisan HDP.
Sementara
itu, dalam situasi mengambang dengan tensi emosi yang dimainkan oleh aktor-aktor khusus, komunikasi politik yang digagas AKP untuk membentuk interim government (pemerintah sementara) dengan menjembatani semua
wakil dari empat partai besar tidak berhasil. CHP menolak mentah-mentah tawaran
dari penguasa untuk membentuk pemerintahan. Meski sempat ramai dan penuh
intrik, secara resmi MHP menolak.
Namun, ada
salah satu terbaik tokoh dari partai nasionalis bernama Tuğrul Türkeş, yang
kemudian menjadi salah satu penentu hilangnya jutaan suara konstituennya,
menyeberang ke AKP dan menjadi calon anggota DPR dari partai penguasa.
Sebaliknya HDP
menerima tawaran interim government
dengan mengirimkan dua delegasi, Ali Haydar Konca dan Üslüm Doğan. Tapi, di
tengah perjalanan, ketika perseteruan antara pemerintah melawan PKK semakin
terbuka mereka melepas jabatannya pada 22 September kemarin. Akhirnya interim government pun cuma dihuni
oleh partai penguasa plus Türkeş yang memang sudah
siap bersama AKP.
Dalam
situasi seperti di atas, sempurna nian kegamangan dan kecemasan rakyat Turki. Drama
politik internal mereka berhasil mengocok emosi melalui sentimen-sentimen kekerasan.
Di samping itu, ada isu yang tiba-tiba menjadi bola liar di tengah masyarakat bahwa
ada kelompok-kelompok tertentu di Turki (termasuk PKK) yang ingin mengembalikan
Turki ke era 1990, situasi terpuruk secara ekonomi dan politik. Serentak rakyat
Turki di dua benua tersebut meradang, termasuk mereka yang tinggal di luar
negeri.
Karena itu,
tak ada jalan lain bagi rakyat Turki selain mempersiapkan diri untuk kembali dan
melanjutkan arus pembangunan ekonomi dan keamanan yang sudah bagus di bawah kendali AKP.
Rakyat Turki dari daerah Anatolia Tengah, sebuah kelompok masyarakat yang percaya
sebagai representasi asli Turki baik
secara budaya ataupun cara pikir, yang rata-rata hidup sebagai petani dan
pedagang menjadi kunci kemenangan AKP. Meski kelompok masyarakat Anatolia
Tengah ini kerap diledek oleh orang-orang kiri CHP sebagai “kepala tertutup”—karena
jauh dari pantai dan selalu menjadi basis partai Islam—faktanya tidak bisa
dikesampingkan bahwa harapan untuk Turki justru lahir dari kelompok mereka.
Akhirnya,
kemenangan AKP harus diakui lahir dari drama politik yang dimainkan secara
ciamik. Dengan keyakinan dan strategi politik penguasa, suara anjlok pada pemilu
7 Juni silam mampu diputarbalik secara mengejutkan sehingga dalam empat tahun
ke depan AKP akan kembali memimpin Turki.
Ada dua kubu
suara yang secara telanjang diambil AKP. Pertama adalah kelompok Islam
nasionalis, massa yang rata-rata bernaung di bawah MHP. Suara kelompok ini paling
mudah diambil oleh partai-partai Islam setidaknya sejak Necmatin Erbakan
mendirikan partai Islam. Kedua adalah dari suku Kurdi. Dukungan terang-terangan
HDP untuk PKK dan ajakan terbuka PKK kepada mayoritas suku Kurdi agar tidak
memilih AKP justru menjadi keuntungan besar bagi partai penguasa untuk
melanjutkan kekuasaan di Turki. Anjloknya suara 3 persen partai pro-Kurdi ini adalah
bukti bahwa masyarakat Kurdi sendiri menginginkan proses perdamaian yang sudah
dirintis pemerintah Turki.
*versi cetak tulisan ini di Jawa Pos, 3 November 2015
**terima kasih kepada Nabila dan Rasyidi atas kiriman fotonya
Thursday, October 29, 2015
Taman Bunga Mawar Rumi dan Haidar Bagir
Versi
lengkap dari tulisan termuat di sini (http://basabasi.co)
Dr. Haidar Bagir, pendiri dan pemilik
Penerbit Mizan Group dan pengkaji yang sekaligus pemikir filsafat Islam dan
penulis buku-buku tasawuf itu, berkunjung ke Konya dengan batas waktu yang cukup
singkat. Cuma setengah hari, dari pukul 12.00 siang hingga malam pukul 11.15 Pertemuan
intens saya—dalam artian bisa mengobrol dan sharing
tentang filsafat Islam dan tasawuf denganya—tidak lebih dari enam jam, dan itu pun
sambil lalu di jeda-jeda waktu.
Tetapi, seelok kita mensyukuri momentum,
kualitas sebuah peristiwa pada akhirnya tidak pernah menunggu waktu khusus. Ia hadir
kepada semua ruas-kejadian dengan orang-orang (tokoh-tokoh) yang dikirim oleh Allah,
Sang Pencipta segala peristiwa. Dan konon, menurut ingatan yang berkembang dalam
masyarakat China, a single conversation
with a wise man… is better than ten years' mere study of books. Inspirasi dan
ide bisa terus berhamburan dan berjalan ke sana ke mari, bersama orang-orang
yang dianugerahi wawasan dan ilmu luas atau bersama mereka yang melampaui
tetek-bengek kemayapadaan ini. Ya, bahkan mereka yang diangap tak-waras, tetapi
di depan Allah, siapa yang tahu?
Kali ini saya diberikan kesempatan bertemu
dengan salah satu habaib, dari keluarga
al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan hingga Husein bin Ali bin Abi Thalib,
yang pernak-pernik pemikirannya sudah pernah saya kenal—dengan keterbatasan bahan
bacaan kala itu di Pondok Pesantren Annuqayah—sejak mulai di bangku Madrasah
Aliyah. Buku-buku terbitan Mizan dari tahun 1990-an hingga 2000-an cukup
berlimpah dengan beragam jenisnya.
“Selamat datang di Konya, Pak Haidar,”
sapaku ketika pertama kali jumpa di Konya Havalimanı, bandara yang difungsikan untuk
sipil dan sekaligus militer termasuk pasukan NATO.
“Mau
transportasi publik atau pribadi?”
“Kalau
bus cuma sekali naik, saya pilih bus,” tukasnya santai. “Biar bisa menikmati suasana
kota.”
Sejak di bus Havas, transportasi antar-jemput khusus bandara di Konya dan juga di
daerah-daerah lain di Turki, obrolan kami bermula. Saya sejak awal sadar bahwa
alumni master degree dari Harvard University pada The Center for Middle Eastern Studies di
bawah pakar tasawuf Prof. Annemarie Schimmel ini akan menjadi guru dadakan, sebuah
momentum menjadi pendengar. Saya hanya cukup menjadi penunjuk arah dan jalan selama
Dr. Haidar Bagir ziarah di Konya: Shems Tebriz, Jalaluddin Rumi dan Sadraddin
al-Qunawi, tiga tempat utama yang ingin dikunjunginya. Tentu saja di akhir
ziarah nanti ada sajian spesial bernama Tari Darwish (Whirling Dervish), satu warisan budaya Rumi dan Mevlevi Order yang dicatat oleh UNESCO
sebagai Masterpieces of the Oral and
Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2008. Tarian yang lebih dikenal
dengan nama Tari Sema, yang sempat dilarang oleh Mustafa Kemal Ataturk sejak tahun
1923, ini akan menjadi puncak bagi ziarah Haidar Bagir di Konya.
“Al-Qonawi ini hidup sezaman dengan
Rumi. Tapi mungkin di sini tidak akan banyak dikenal luas karena latar
belakangnya berbeda. Ia seorang pemikir dan filsuf dan menulis syarah karya Ibnu Arabi. Dia adalah murid
dan sekaligus anak tiri Ibnu Arabi karena ibunya dinikahi oleh Ibnu Arabi. Ia juga
murid dari Nashruddin al-Tusi, seorang ilmuwan dan filsof pelanjut Ibnu Sina,”
terang Haidar panjang lebar selama kami di bus, sembari mengambil beberapa jeda
untuk menikmati taman-taman luas yang dibangun Pemerintah Provinsi Konya
sepanjang jalan dari bandara.
Saya baru betul-betul sadar bahwa ilmuwan,
ulama besar dan sufi yang didedahkan oleh Haidar Bagir di atas ternyata hidup
di zaman yang bersamaan: al-Tusi (1201-1274), al-Qonawi (1207-1274) dan Rumi (1207-1273)!
Masa itu, yang dikenang sebagai era kejayaan umat Islam, Tusi sebagai saintis dan
filsuf dengan pandangan fiqh mazhab Syiah dan Qonawi yang Sunni berkorespondensi,
menjadi guru dan murid satu sama lain. Ihwal dunia sufi yang tak banyak
memikatnya itu kemudian ditulis oleh Tusi melalui perspektif filsafat dalam kitab
Awsaf al-Ashraf (The Attributes of the Illustrious).
Zaman itu, fase di mana produk pemikiran
dan pengaruh dunia Islam sangat kuat, peradaban Islam dibangun dengan fondasi
persaudaraan dari berbagai mazhab, hasil dialektika dan benturan kritik demi
kritik pemikiran yang kemudian menyublim menjadi sebuah kekuatan dunia!
Di tengah perjalanan menuju makam Rumi
dan al-Qonawi, saya juga tidak lupa menunjukkan Bilim Merkezi (Pusat Ilmu Pengetahuan), sebuah bangunan megah dengan
arsitektur unik seperti galaksi bima sakti yang dipotong-separuh. Ihtiar untuk menghadirkan
memori kebangkitan kembali kejayaan Islam bisa dinikmati di sebuah bangunan di
atas luas tanah sekitar 600 m2. Bilim
Merkezi adalah pusat ilmu pengetahuan terbesar di Turki yang dibangun di
Konya. Di dalam bangunan canggih itu kita bisa menyaksikan pameran, peragaan
sejarah dan miniatur-miniatur penemuan para ilmuwan yang pernah dipunyai oleh
dunia Islam.
***
Waktu salat dzuhur sudah tiba. Saya
meminta Bapak Haidar Bagir salat di halaman makam Jalaluddin Rumi. Sebenarnya kami
bisa mendirikan salat di masjid makam Shems Tebriz, yang jaraknya hanya ratusan
meter dari makam dan museum Rumi. Tapi, karena kedatangannya ke Konya adalah untuk
menikmati dan mereguk aura Rumi, salat di kawasan makam Rumi akan mendapatkan kenangan
khusus. Apalagi sejak akhir tahun kemarin, masjid di kawasan makam Rumi sudah
dibuka untuk publik—tempat mengaji ataupun salat para peziarah.
“Kita salat di kawasan makam Rumi saja,
Pak Haidar,” sekali lagi saya pastikan.
Seiring langkah menyusuri keramaian para
peziarah ke tengah pusara Rumi, saya membiarkan Pak Haidar menikmati magnet dan
aura di lautan keramaian yang sunyi oleh tiupan musik ney itu dengan caranya sendiri sambil sesekali saya tunjukkan makam-makam
yang istirah bersama Rumi, termasuk ayahnya bernama Bahauddin Walad, sang alim
ulama yang karena kealiman dan ilmu agamanya yang sangat luas diganjar dengan
sebutan sultanul ulama semasa
hidupnya di bawah Kerajaan Saljuk.
“Kita berdoa dan kirim al-Faatihah saja di depan makan, nanti
kita ngaji Yaasiin di tempat shalat,”
bisiknya.
Saya menyetujui sangat, karena ratusan
orang yang menunggu giliran berdoa di dekat makam Rumi—sehingga penjaga
keamanan selalu memperingatkan peziarah agar bergeser—terus berangsek dari
belakang kami.
Mengantar ahli dan penelaah Mulla Sadra
ini ambil wudhu, ingatan saya tiba-tiba mendengus gedebus dan hiruk-pikuk berita
di Tanah Air (khususnya dalam sepuluh tahun terakhir) yang menyertai seorang
tokoh di sampingku kali ini: Syiah! Ya, saya dengar hingar-bingar berita bahwa Haidar
Bagir adalah seorang berhaluan Syiah, tapi saya sengaja (sejak dikontak kawan dari
Istanbul agar sedia menemaninya selama di Konya) tidak ingin menanyakan
kebenaran itu kepadanya.
Kenapa saya tidak penting menanyakan tetek
bengek mazhab, sekte dan sejenisnya? Ilmuwan dan ulama besar seperti Tusi dan Qonawi menyontohkan
ihwal keakuran dan harmoni: menjalin hubungan guru-murid dan saling memperkuat diskursus
ilmu pengetahuan demi memupuk peradaban Islam yang besar dan kuat. Kenapa saya
yang hidup jauh dari masa Rasullullah SAW ini harus mencoreng contoh-contoh bajik
yang ditunjukkan oleh para ulama di atas, yang sejatinya mereka reguk dari
jejak-jejak dan hikmah Sang Nabi?
Lalu, apa yang terbayang di pikiran Anda—seandainya
diri saya ini adalah produk adu domba yang berkembang di Indonesia saat ini—apabila
saya memutuskan menjadi makmum salat dzuhur, tepat di musim gugur bulan Oktober
begini? Lalu mengaji surah Yaasiin bersama yang akan kami tawassul-kan kepada para alim ulama yang telah membela, menjaga dan
mewariskan Islam dari masa ke masa? Ataukah saya akan mencari-cari alasan untuk
tidak menjadi makmum dari seorang yang masuk dalam daftar tokoh Syiah di
Indonesia, dan menurut sebagian Anda dia sesat?
Saya yakin Qonawi tidak pernah berpikir
bahwa Tusi, guru dan sekaligus sahabatnya yang berhaluan Syiah itu, adalah
seorang yang sesat!
Wudhu pun selesai. Kami melangkah
kembali menuju ruangan di dalam gedung pusara Rumi dengan irama ney yang terdengar halus mengalun dan sekaligus
menyayat. Ruangan berkarpet dengan luas sekitar 20x15 meter dibatasi kayu ukir untuk
memisahkan pria dan wanita. Setelah meletakkan tas dan barang-barang, kami berdua
menghadap kiblat untuk mendirikan salat dzuhur.
Apa yang perlu dibimbangkan jikalau hati
sudah teguh? Saya sudah lama bergaul dengan teman-teman Syiah asal Iran dan
Afghanistan khususnya selama di studi Turki; melihat mereka salat dengan secuil
Tanah Karbala di tempat sujudnya; menyaksikan sebagian yang lain salat tanpa menggunakan
tanah itu; mendengarkan mereka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi yang
mereka tolak dan tentang keistimewaan keluarga Nabi bernama Ahlul Bait.
Di tempat lain, saya salat bersama dengan
orang-orang yang tidak bersedekap setelah takbir pertama misalnya… bersama
mereka Mazhab Hanafi yang langsung salat setelah memegang anjing… bersama
mereka yang pakai qunut dan yang tidak…
dan sebagainya.
Itulah mazhab, sebuah lorong yang
dilalui oleh kelompok-kelompok masyarakat Muslim yang telah mereka dasari atas kerja
ijtihad (dengan aturan yang ketat itu) dan interpretasi terhadap teks-teks agama;
itulah beragam produk dari our
understanding of religion yang jelas berbeda dengan religion itu sendiri, meminjam istilah Abdolkarim Soroush.
Siapa yang tahu hati mereka? Siapa yang
tahu kadar keimanan dan ketakwaan kita? Sebatas mereka menyembah Allah,
menghadap kiblat, membaca dan mengamalkan Al-Qur’an, percaya dan mengikuti hadis
Rasulullah SAW, dan menjaga persaudaraan sesama umat Muslim, mereka adalah saudara
seiman yang suatu waktu kelak di Padang Mahsyar akan berjumpa satu sama lain,
berlindung kepada amal dan ibadahnya masing-masing.
Kemudian saya pun membaca iqamah dan menjadi makmum. Tak ada Tanah
Karbala. Di sini adalah taman bunga mawar yang disirami cinta dan kasih sayang
oleh Rumi. Sang Master Sufi itu kita tak henti-henti menyeru kepada semua agar meninggalkan
semak berduri menuju taman-taman bunga mawar—mengetuk hati manusia dengan cinta
dan kedamaian.
Setelah itu, kami bersama-sama membaca
surah Yaasiin. Matahari terus
merangkak, pelan-pelan menjadi malam. Selepas menonton Tari Sema yang berdurasi
sekitar satu jam itu, dimulai sejak pukul 19.00 Sabtu 17 Oktober 2015, kami
akan berpisah. Tapi pelajaran hidup dan obrolan hikmah dan intelektual akan
terus menyemai…
Akhirnya,
salam cinta dari tanah Rumi.
Tuesday, October 13, 2015
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Versi lain dimuat di Pindai
“Yazıyor musun? Bari o kadar çok sigara
içme!
Zaten lüzumsuz bir iş yapıyorsun. Hiç değilse
başka yönden zarar görme!”[i]
Nyaris
sebuah rutinitas sekitar tengah malam, pintu kamar dibuka dan suara itu pun terdengar
dari seorang yang sangat akrab dalam hidupnya: seorang ibu yang tinggal
bersamanya di sebuah apartmen pribadi bernama Pamuk Apartmanı di Nişantaşı, Beyoğlu, Istanbul. Di rumah itu Orhan
Pamuk memulai karirnya sebagai penulis dengan bekal warisan buku-buku dari
keluarganya, khususnya dari sang Ayah yang telah mengoleksi ribuan buku di
perpustakaan pribadi, buku-buku yang dibeli bersama kakaknya Şevket Pamuk di
masa-masa mereka remaja, dan tentu sekopor buku misterius dari ayahnya yang
baru dibukanya (karena wasiatnya sendiri agar dibaca) setelah dia meninggal
tahun 2002!
Kali
ini saya ingin mengintip pergumulan Pamuk dengan buku dari hal-hal yang luput
dicatat oleh khalayak. Sungguh akan unik menapaktilasi masa-masa Pamuk muda,
suatu fase ketika dirinya berada dalam persimpangan pilihan hidup—antara
tuntutan keluarga dan passion yang
menjalar bebas dalam dirinya. Masa-masa muda inilah, menurut saya, menjadi turning point yang akhirnya menentukan
masa depan dan kesuksesan demi kesuksesan yang diraihnya hari ini.
Untuk itu, Pamuk jangan dilihat melulu hari ini sebagai peraih hadiah-hadiah bergengsi seperti Nobel Prize, International IMPAC Dublin Literary Award, Prix France Cultur, Sonning Prize, Orhan Kemal Novel Prize, Aydın Doğan Prize dan sederetan anugerah yang telah mencatatkan namanya dalam tinta emas sejarah sastra dunia. Mari bersama-sama menjelajahi jejak-jejak kecemasan, melankolis dan kekhawatiran pada dirinya, yang kemudian terselamatkan karena buku!
Untuk itu, Pamuk jangan dilihat melulu hari ini sebagai peraih hadiah-hadiah bergengsi seperti Nobel Prize, International IMPAC Dublin Literary Award, Prix France Cultur, Sonning Prize, Orhan Kemal Novel Prize, Aydın Doğan Prize dan sederetan anugerah yang telah mencatatkan namanya dalam tinta emas sejarah sastra dunia. Mari bersama-sama menjelajahi jejak-jejak kecemasan, melankolis dan kekhawatiran pada dirinya, yang kemudian terselamatkan karena buku!
Bila
harus jujur—sekedar mengingat seorang penulis dunia ihwal kegialaannya kepada
buku—Orhan Pamuk memang belum (dan mungkin tidak) segigih Jorge Luis Borges
ihwal pengabdiannya kepada dunia keperpustakaan yang ditunjukkan secara heroik
hingga akhir hayatnya, bahkan secara tersirat Borges ingin melanjutkan hidup di
Surga yang dibayanginya seperti perpustakaan. Tetapi keduanya mempunyai jalan
sendiri-sendiri yang pada akhirnya bertemu pada satu titik: bergumul di dunia
literasi.
Pamuk
kecil tumbuh dari keluarga pecinta buku, khususnya sang ayah. Imajinasi,
kreativitas dan kebebasan tumbuh di sana. Meski ia belum sanggup menghabiskan
buku-buku koleksi ayahnya—yang berjumlah lebih dari 1500 itu—setidaknya Pamuk muda sudah terbiasa dengan
dunia bacaan, yang mulai ditekuni secara lebih serius pada usia belasan tahun akhir.
Perpustakaan pertama bagi Pamuk adalah koleksi pustaka pribadi ayahnya. Ketika
ada waktu liburan baik dalam atau luar negeri, toko buku menjadi salah satu
tempat yang mereka kunjungi, di samping sang ayah biasa menambah koleksi buku-bukunya
dari toko bekas bekas di Istanbul.
Persentuhan
pertama Pamuk kecil dengan buku dan mimpi menjadi penulis tersemai di Ankara. Pada
suatu kesempatan bersama ibu dan kakaknya, Pamuk dihantar belanja buku yang
pada waktu bersamaan ada acara imza günü
(hari tanda tangan) bersama Aziz Nesin, penulis produktif dan penerjemah novel kontroversial Salman Rushdie Satanic Verses yang nyaris menjadi korban dalam tragedi demonstrasi ribuan orang yang berujung pembakaran sebuah hotel yang ditempati acara dari kelompok paham Alavi di Sivas pada 2 Juli 1993. Saat itu Pamuk masih berusia 8 tahun. Di antara kerumunan orang-orang yang
antri menunggu tanda tangan, Pamuk kecil berkhayal: İleride ben de bir yazar olacaktım (saya juga akan menjadi penulis
di masa depan) (Öteki Renkler, hal.
197). Dan mimpi itu telah menjadi kenyataan. Dalam 15 tahun terakhir,
keberadaan Pamuk ditunggu dan goresan tanda tangannya diburu oleh para
penggemarnya—sampai ribuan orang mengantre!
Dalam
literatur dan dokumen-dokumen wawancara bersama Pamuk, sependek yang saya baca,
momentum di Ankara bisa ditandai sebagai mimpi pertama menjadi penulis yang dititahkan
oleh dirinya. Pamuk remaja tumbuh dalam kultur dan ideologi Eropa dengan gelimang
imajinasi yang tumpah-ruah di antara kubangan buku-buku. Proyek modernitas dan
westernisasi yang menjadi tulang punggung didirikannya Republik Turki melebur
dalam keluarga Pamuk: mengisi liburan ke Prancis bersama ayahnya, rokok dan rakı (arak lokal) menjadi salah satu gaya hidup, dan keluarga
mereka pun dijalankan dalam kebebasan. Tetapi tentu dengan satu pattern yang sudah tertanam kuat dan
harus dicapai: kesuksesan! Apapun profesi yang dipilih, kesuksesan materi
adalah tujuan utama yang tergambar jelas dalam keluarga mereka.
Sementara itu, tujuan hidup Pamuk adalah untuk bahagia,
dengan ataupun tanpa materi! Maka jalan menulis, yang kata ibunya tidak akan
dibeli dan dibaca di Turki, ditempuh Pamuk dengan segala risikonya.
Persentuhan kedua Pamuk muda dengan buku di usia 17-18.
Tahun-tahun ini, di masa-masa awal menuju kuliah, ia mulai lebih serius menggeluti
buku-buku ayahnya. Semua koleksi buku-buku puisi Turki yang ada dalam perpustakaan
pribadi itu dilahap habis. Pada usia 18 Pamuk pertama kali memuplikasikan
puisinya di sebuah buletin sastra bernama Yeditepe
yang pada rentang tahun 1950-1984 getol memberi ruang kreativitas bagi para sastrawan
muda di Turki. Buletin sastra yang bernafas pendek itu diasuh oleh wartawan,
penulis dan pengelola penerbitan bernama Mehmet Hüsamettin Bozok (1916-2008).
Pada fase ini, Pamuk lalu bermimpi menjadi penyair dan
keinginan menjadi penulis yang sempat tercecap 10 tahun silam pun kembali
lahir. Tapi jangan lupa, Pamuk juga mempunyai mimpi lain yang tumbuh bersama
kesukaannya menggambar sejak di sekolah dasar: menjadi pelukis! Sebenarnya,
obsesi menjadi pelukislah yang paling mendominasi pikiran Pamuk muda, dari usia
7 hingga 22, dan bahkan ia sempat punya studio kecil untuk ekspresi melukisnya.
Atau lebih tepatnya, mimpi menjadi pelukis yang sekaligus penyair!
Dalam rentang usia sebelum 22, mimpi menjadi penyair atau
pelukis tak lebih dari sekedar letupan-letupan kecil tapi menggebu-gebu. Apakah
menjadi pelukis atau penyair? Dua-duanya gagal. Di tengah kecemasan pilihan
kreativitas anak muda seusianya, ada satu garis besar yang tidak pernah jauh
dari dirinya: mencintai seni sebagai jalan menemukan kebahagiaan!
Lagi, sebelum usia 22 Pamuk berada dalam ambiguitas
pilihan kreativitas ihwal dunia seni. Tetapi mujurnya, di tengah
pemberontakan-pemberontakan untuk mencari kebahagiaan melalui karya seni, Pamuk
tetap getol bergumul dengan buku-buku. Dalam sitauasi seperti itu, hanya
seorang ibu yang selalu menjadi teman bicaranya, tak segan-segan berdebat
denganya. Misalnya, ia secara terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya
pada jurusan kuliah yang tengah diambilnya (mimarlık/arsitektur)
dan sejak tahun kedua ia mulai meninggalkan pelajaran, sebelum akhirnya
benar-benar ditinggalkannya pada tahun ketiga.
Sementara
ayahnya sering tidak berada di rumah—entah kerja di luar kota,
di luar negeri atau sekedar liburan. Ketika liburan di Paris, Pamuk kerap
diceritain oleh ayahnya bahwa dirinya pernah melihat Jean-Paul Sartre dari jauh,
yang akhir-akhir ini Pamuk paham sendiri—khususnya setelah membuka kopor
misterius berisi manuskrip—bahwa ayahnya juga bermimpi menjadi seorang penulis.
Tetapi
sayangnya, sang ayah gagal menjadi penulis. Karena ayahnya, kata Pamuk, is a troubled optimism, scarred by the anger
of being consigned to the margins, of being left outside. Sementara
itu, menjadi penulis harus siap menghadapi semua ini: berhasil ataupun gagal!
Persentuhan ketiga Pamuk muda dengan buku dimulai sejak
usia 22, tahun 1974. Usia tersebut menjadi tolak ukur bagi pergumulan kreativitasnya
dan paling banyak disebut oleh khalayak; sebuah fase revolusioner. Saat itu
Pamuk memilih cara mengisolasi dirinya dalam kesunyian kamar dan buku-buku koleksi
ayahnya dengan tekad menjadi penulis. Orientasi Pamuk terhujam pada satu
bingkai filosofis: hidup mencari kebahagiaan dan seni-sastra adalah jalan yang
harus ditempuhnya. Untuk itu, di tengah ‘intimidasi’ keluarga yang mengkhawatirkan
masa depannya Pamuk mengurung diri dalam kamar. İa tidak sendiri. Tumpukan buku-buku
adalah teman setia yang menghiburnya. Di kamar itu ada meja dan kursi dekat
jendela, tumpukan kertas dan pena untuk menulis. Pamuk suka melihat sinar
matahari masuk kamarnya dan membentuk silhuet karena dari situ imajinasinya
terus hidup. Rokok, kopi, sekali-kali rakı
dan juga omelan sang ibu menyertai hari-hari berat dan keputusasaan yang
kadangkala datang mengancam dan menggoyahkan pikirannya selama 8 tahun. Ya,
selama 8 tahun Pamuk berkubang sunyi dengan buku-buku di kamarnya, sembari mulai
menulis novel perdananya, Cevdet Bey ve
Oğulları
(Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya).
Selama
8 tahun inilah Pamuk menjadi kutu buku. Ia melahap habis karya-karya sastra koleksi
ayahnya yang disebutnya sebagai perpustakaan pertama baginya; bergumul secara
intens dengan para sastrawan baik dari Turki ataupun luar negeri. Karya-karya sastrawan
Turki terkemuka seperti Yahya Kemal, Kemal Tahir, Oğuz Atay, Ahmet Hamdi
Tanpınar, Orhan Kemal, Yaşar Kemal, Nazım Hikmet, Aziz Nesin, Kemalettin Tuğcu
dan Fethi Naci ditimpas habis. Bahkan pun karya Jalaluddin Rumi, Nizami, Ibn
Arabi dan Imam Al-Ghazali menjadi santapan liar seorang gila-buku yang memenjarakan
diri dalam kamarnya sendiri.
Di
samping itu, Pamuk makin kesetanan menenggak saripati karya-karya sastrawan
dunia yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya. Sebutlah seperti Gabriel
García Márquez, Julio Cortázar, Jorge Luis Borges, William Faulkner, Thomas
Mann, James Joyce, Albert Camus, Virginia Woolf, Joseph Conrad, Stendhal, Dante
Alighieri, Jean-Paul Sartre, Guillermo Cabrera Infante, Salman Rushdie, Victor
Hugo, Milan Kundera, Philip Larkin, Gunter Grass, Patricia Highsmith, Mario
Vargas Llosa, Thomas Bernhard dan penulis-penulis dari Rusia seperti Leo Tolstoy
dan Fyodor Dostoyevsky. Barangkali karya-karya dari nama besar di atas tidak
semuanya Pamuk baca dari koleksi ayahnya selama 8 tahun mengurung, tetapi saya tidak
terkejut ketika melihat sendiri jejak-jekak gairah penerjemahan buku-buku
sastra dunia yang marak di Turki sejak tahun 1950-an. Di Turki Anda akan sangat mudah mendapati buku-buku terjemahan langsung dari bahasa pertama seperti Persia, Rusia, Jerman, Prancis, Italia, Portugis, Arab, dll. tanpa harus menunggu versi kedua dari bahasa Inggris, seperti biasa terjadi dalam dunia perbukuan kita di Indonesia hingga hari ini.
Sampai
di sini saya ingin berbisik kepada pembaca yang budiman bahwa Pamuk mengurung
diri dalam kamarnya selama 8 tahun adalah jalan wahyu sebagai novelis. Selama
masa inkubasi tersebut, ia adalah seorang yang kesepian, memilih jalan kesunyian.
Ia tidak suka keramaian—apalagi orang-orang yang tidak dikenal, makanan mewah
saat liburan lebaran, kantor-kantor dan orang-orang yang terlalu serius. “Turun
gunung” setelah 8 tahun, di usianya ke-30, Pamuk pun menerbitkan novel
perdananya, setelah selama 2 tahun ia harus pontang-panting mencari penerbit. Akhirnya
tahun 1982 Penerbit Karacan bersedia menerbitkan novel sebetal 641 halaman, Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya (ditulis
rentang tahun 1974-78).
Untuk
membaca sejarah Pamuk secara lebih detail saya rekomendasikan buku-buku
karangannya sendiri seperti Istanbul: Hatıralar
ve Şehir (Istanbul: Kenangan dan Kota), Öteki
Renkler: Seçme Yazılar ve Bir Hikaye (Warna-Warna Lain: Sebuah Cerita dan
Pilihan Tulisan), Manzaradan Parçalar:
Hayat, Sokaklar, Edebiyat (Fragmen-Fragmen Panorama: Kehidupan, Jalanan,
Sastra), Saf ve Düşünceli Romancı
(Novelis Naif dan Sintimentil), Babamın Bavulu (Kopor Ayahku), dan bahkan beberapa novel yang secara tersirat merekam jejak hidupnya sendiri, misalnya Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan
Anak-Anaknya), Sessiz Ev (Rumah
Sunyi) dan Masumiyet Müzesi (Museum
Kepolosan).
Akhirnya,
bagi yang ingin memilih menjadi penulis, seperti pesan Pamuk, keberanian tidak
cukup, tetapi ia harus terlunta-lunta dalam kesunyian. Dan Pamuk menemukan kebahagiaan
saat-saat seperti itu, saat di mana ia menciptakan dunia lewat kata-kata yang
ditulisnya. Karena baginya, menulis adalah balas dendam bagi kehidupan yang
tidak pernah terjadi!
Turki, 17
Agustus 2015
[i] “Apa kamu sedang menulis? Jangan merokok
sebanyak itu sekaligus. Kamu sudah mengerjakan sesuatu yang tidak penting, setidaknya
jangan tambah lagi penderitaanmu!”
Catatan:
Tulisan di atas bersumber dari buku:
1.
Istanbul:
Kenangan dan Kota
(Cet. 12/ 2014),
2.
Warna-Warna
Lain: Sebuah Cerita dan Pilihan Tulisan (Cet. 1, 2013),
3.
Fragmen-Fragmen
Panorama: Kehidupan, Jalanan, Sastra (Cet. 2, 2010),
4.
Novelis Naif dan
Sintimentil
(Cet. 1, 2011),
5.
Kopor Ayahku (Pidato Hadiah
Nobel),
6.
Beberapa
artikel dan wawancara terpisah di media-media lokal di Turki.
Thursday, October 08, 2015
Sensitivitas Etnis dan Hadiah Nobel Kimia
Ada
yang membuat saya tergelitik beberapa jam setelah Panitia Nobel di Stockholm
merilis peraih Nobel Kimia 2015, Rabu 7 Oktober kemarin. Tiga nama ilmuwan Tomas
Lindahl (Swedia), Paul Modrich (Amerika) dan Aziz Sancar (Turki) pun
dipentaskan sebagai ilmuwan yang berhak menerima hadiah paling bergengsi yang
dipunyai jagat bumi ini. Mereka bertiga dinilai telah berjasa kepada kemanusiaan
(benefit to humankind) karena proyek
yang mereka tekuni ihwal mechanistic studies of DNA repair yang secara signifikan memberikan
kontribusi terhadap proses penyembuhan penyakit-penyakit kanker.
Sebagaimana terjadi di berbagai negara di mana ada
anak bangsa mereka mendapatkan pengakuan tertinggi di pentas internasional
seperti Nobel, ucapan-ucapan selamat dan rasa bangga ditunjukkan baik oleh publik
internasional ataupun bangsa mereka sendiri. Tak jarang pula, khususnya oleh keluarga
dekat si ilmuwan, ada semacam perayaan dan pesta kecil sebagai wujud syukur atas
prestasi dan pengakuan tersebut.
Namun di Turki saya menemukan panorama yang berbeda
dan bahkan lebih agresif. Perdebatannya bukan lagi ihwal proyek keilmuan yang dikembangkan
oleh Sancar, tetapi justru banyak yang nyinyir tentang isu etnisitas di balik
latar belakang Sancar. Twitter resmi The Nobel Prize yang memposting ucapan selamat khusus kepada Aziz Sancar dipenuhi perdebatan,
klaim dan ejekan berbau etnosentris baik dengan bahasa Inggris ataupun Turki.
Kita bisa scrolling @NobelPrize yang menjadi lahan dan dipenuhi mention
perdebatan dan ejekan-ejekan di antara mereka. Di samping itu, isu etnis seakan
menemukan momentum tepat yang terus menggelinding liar di tengah-tengah publik Turki
hari ini.
Sancar lahir pada 8 September 1946 di Savur,
Mardin, Turki, ke arah utara dari pusat kota Mardin. Daerah yang dikenal sebagai
dataran luas Mesopotamia itu mayoritas berpenduduk Kurdi, Arab, Assyrian
(Suryani) dan Turki. Sebagai provinsi dengan penduduk mayoritas suku Kurdi, orang-orang
dari rumpun etnis yang sama baik warga Turki ataupun negara-negara tetangga (seperti
waarga Kurdi di Irak, Iran dan Suriah yang terus menjaga nasionalisme berbais etnik
demi membentuk negara sendiri) secara masif melontarkan klaim-klaim secara
terbuka bahwa Sancar bukan orang Turki, tetapi Kurdi atau Arab. Klaim-klaim
seperti ini terus ramai di tengah-tengah perbincangan publik Turki saat ini.
Naifnya, mereka tidak peduli terhadap apa yang
disampaikan sendiri oleh Sancar ketika pertama kali mendapatkan telepon ucapan
selamat dari panitia. Padahal Sancar dengan jelas mengucapkan terima kasih dan mengatakan:
I am of course honoured to get this recognition for all the work I've done
over the years, but I'm also proud for my family and for my native country and
my adopted country, and especially for Turkey it's quite important. Di
kesempatan lain, media nasional Turki seperti Anadolu Agency (AA) secara
cepat mewawancarai Sancar yang saat ini tinggal di North Carolina, US. Kepada AA
Sancar mengatakan: "En çok ülkem için sevindim. Türkiye’ye bilim lazım,
katkı sunduğum için çok sevinçliyim" (Saya sangat bahagia untuk negara
saya. Turki butuh ilmu pengetahuan, saya sangat senang karena sudah
berkontibusi).
Secara geografis Mardin adalah daerah yang bisa
disebut paling homogen dan multikultur di daerah Turki Tenggara. Di samping itu,
Mardin boleh disebut sebagai daerah di mana umat Kritiani hidup berdampingan
secara damai sejak sebelum negara Turki ada. Di Mardin sendiri ada sebuah
Kampung Suryani bernama Kıllıt di Dereiçi, Savur yang dihuni oleh mayoritas
umat Kristen dan pusat-pusat peninggalan Syriac Christianity masih
lestari, misalnya di Midyat yang sudah dihuni sejak abad I SM.
Pada musim panas tahun 2014 kemarin, saya mendapati dengan mudah orang-orang berbahasa Arab, Kurdi dan Turki di jalanan di kota Mardin. Di samping itu, dalam konteks eskalasi konflik etnis bersenjata Mardin dapat dibilang provinsi yang tidak banyak bergolak, meskipun daerah-daerah tetangganya menjadi target operasi oleh pasukan kemanan Turki.
Pada musim panas tahun 2014 kemarin, saya mendapati dengan mudah orang-orang berbahasa Arab, Kurdi dan Turki di jalanan di kota Mardin. Di samping itu, dalam konteks eskalasi konflik etnis bersenjata Mardin dapat dibilang provinsi yang tidak banyak bergolak, meskipun daerah-daerah tetangganya menjadi target operasi oleh pasukan kemanan Turki.
Meski begitu, bagi saya adalah sebuah pemakluman bila isu etnis kembali
memanas di Turki, khususnya setelah konflik bersanjata antara pasukan keamanan
Turki dengan PKK (kelompok radikal suku Kurdi yang menuntut merdeka) terjadi sejak
akhir bulan Juli kemarin. Tragedi bom bunuh diri yang dilakukan oleh pentolan
kelompok ISIS di provinsi Sanliurfa, tetangga Mardin, pada 20 Juli telah memupus
proses perdamaian yang sudah dimonitor secara aktif oleh pemerintah Turki sejak
2012. Pemerintah Turki kemudian membombarir titik-titik gerakan kelompok teroris
ISIS di daerah Suriah dan “sekalian” menghujani bom kamp-kamp pelatihan PKK di Irak
Utara. Atas kejadian tersebut, kelompok PKK yang selama ini berkonsentrasi di
gunung-gunung di Provinsi Timur dan Tenggara Turki (khususnya di Provinsi Hakkari)
pun bangun dan melakukan perlawanan hingga hari ini. Korban berjumlah ratusan dari
kedua belah pihak sudah berjatuhan. Selama dua bulan lebih hingga sekarang, serangkaian
pemutihan terhadap kelompok PKK yang dicap teroris oleh Turki, Uni Eropa dan
Amerika terus dilakukan secara intens setelah secara tegas P.M. Turki Ahmet Davutoglu
memerintahkan pasukan Khusus-Terlatih Turki turun demi membersihkan PKK di
Turki. Dan konflik bersenjata yang sudah berusia 30 tahun ini pun kembali
menganga.
Dus, momentum bagus berskala internasional ihwal penganugerahan Hadiah
Nobel kepada Aziz Sancar pun dijadikan kesempatan oleh kelompok pro-Kurdi untuk
menunjukkan identitas mereka. Namun sayangnya mereka terjebak kepada tindakan nyinyir
belaka dengan mengklaim Sancar atas isu etnosentris, sementara Sancar sendiri
secara sadar mengatakan kepada media-media internasional ucapan terima kasih
dan kebanggaannya sebagai warga Turki.
Aziz Sancar adalah peraih Nobel kedua bagi Turki dan ketujuh bagi negara
mayoritas Muslim setelah Najib Mahfouz, Mohamed Mustafa El-Baradei, Ahmed
Hassan Zewail (Mesir), Abdus Salam, Malala Yousafzai (Pakistan), dan Orhan
Pamuk (Turki). Resepsi publik kepada dua Nobelis Turki mempunyai sejarah dan
intrik masing-masing. Pamuk menjadi sosok yang paling kontroversial hingga mendapatkan
ancaman pembunuhan dan hukuman pengadilan (yang akhirnya ditebus dengan
sejumlah uang) karena satu tahun sebelumnya berani berkoar kepada media internasional
tentang tragedi “genosida” terhadap bangsa Armenia yang terjadi pada masa-masa
Ottoman menjelang kolap tahun 1915.
Bahkan ketika membandingkan kedua Nobelis di atas masih ada kelompok
khususnya dari sayap nasionalis-kanan yang mengatakan bahwa Sancar menjadi
kebanggan Turki, sementara Pamuk tetap menjadi pengkhianat karena telah melukai
negara dan bangsa Turki. Meski pelan-pelan Pamuk sudah mendapatkan “ampun
sosial” dari bangsa Turki, tapi tidak sedikit yang tetap berdiri melawan cara pikir
dan pendirian Pamuk yang katanya “menjual negara” ke pentas internasional.
Akhirnya, kelompok nasionalis-kanan ini mengakui Sancar sebagai
kebanggaan (gurur) tetapi di kutub
yang berlawanan (kelompok pro-Kurdi)
yang jelas-jelas menjadi musuh mereka juga membuat klaim bahwa Sancar bukan dari
suku Turk. Sementara kita akan menyambut Aziz Sancar yang telah dilahirkan
untuk kemansuiaan tanpa melihat jenis kulit dan agamanya.
Tebrik ederim Aziz Sancar!
Sumber foto: 1. Dr. Ach. Maimun Syamsuddin (Annuqayah); 2. Nabila (Sampang)
Versi Cetak Tulisan ini dimuat di JAWA POS, 9 Oktober 2015
Versi Cetak Tulisan ini dimuat di JAWA POS, 9 Oktober 2015
Monday, September 28, 2015
"Saharan Blues" at the 12th Konya Mystic Music Festival, Turkey
You need to check out this old music group to know--which was supposed to be one of the oldest instruments on earth--that Ibn Battuta reported seeing one in the court of Mansa Musa. It is known to have existed before 1352. This group performed on Sept 24, 2015 at Maulana Rumi Culture Center, Konya.