Kenyataan yang kita dapatkan sejauh ini adalah bahwa sistem kehidupan sosial menuntut intensitas di ruang-ruang publik, sehingga kesibukan demi kesibukan di luar rumah menjadi ritual wajib yang menempatkan keluarga sebagai second place. Coba hitung, khususnya jika Anda hidup di kota-kota megapolitan seperti Jakarta, berapa lama waktu Anda terbuang di jalanan? Misalnya kita berangkat kerja pukul 5 pagi, karena antisipasi ancaman kemacetan di jalan raya, lalu pulang kantor pukul 8-9 malam, kapan Anda punya waktu untuk sekedar bercengkrama dengan keluarga? Jadi tidak ganjil jika ada cerita bahwa seorang anak, usia SD ataupun SMP tidak pernah bertemu Bapaknya dalam porsi ideal selain pas weekend dan hari libur. Di tengah pola perkembangan tata ruang kota dan praktik ideologi ekonomi yang sama, bukan tidak mungkin realita kehidupan kota-kota besar seperti Jakarta juga akan berpindah di kota-kota lain yang mulai bangkit.
Di tengah sengkurat tuntutan karir dan pekerjaan yang meningkat dan kecenderungan ibu rumah tangga mulai meniti karir di luar rumah sebagai wanita karir, posisi keluarga pelan-pelan mulai dilupakan perannya. Anak-anak kita lalu cukup diserahkan kepada para pembantu. Mungkin hanya weekend yang menjadi waktu untuk menyatukan kebersamaan atasnama keluarga. Selain itu, keluarga dan rumah cuma manjadi tempat menginap untuk sesuatu yang lain di luar sana. Di situlah paradoks manusia-manusia modern dewasa ini. Padahal pembentukan emosi, karakter dan agama dimulai dari interaksi dalam internal keluarga. Bahkan dalam masyarakat sekuler seperti Swedia, peran keluarga sangat menentukan pembentukan pendidikan religiositas anak (Borgatta . 2000: 936).
Dalam sosiologi keluarga, entitas keluarga dipahami sebagai jenis kelompok sosial terkecil yang saling berhubungan. Tindakan-tindakan dan pola-laku interaksi dalam keluarga akan mempengaruhi bagian-bagian entitas lainnya. Misalnya, jika anak kurang mendapatkan perhatian atau bahkan mengalami kekerasan di rumah, mereka riskan memraktekkan pola didikan tersebut di lingkungan sekolah ataupun di lingkungan bermain mereka. Begitulah sistem rantai tindakan sosial yang akan terjadi.
Karena eksistensi personal dalam keluarga akan membentuk struktur tindakan sosial, atau bahkan fakta sosial, yang bisa diamati dalam perspektif yang lebih mudah, atau bisa diamati dari analisis teori-teori mainstream ilmu sosial. Namun begitu, aspek-aspek lebih kecil yaitu arti subjektif, seperti dipernenalkan oleh Max Weber (1864-1920), disebut sebagai “atom” dalam tindakan yang harus dipahami secara proporsional tentang peran sosial keluarga.
Arti tindakan subjektif dalam keluarga adalah konstruksi membangun image dan identitas komunal baik dalam internal ataupun eksternal. Setiap individu dalam keluarga akan mengalami dualisme sebagai diri objek (object self) dan sekaligus diri yang bertindak (acting self) dan mengartikulasikan tindakannya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dengan cara berbeda-beda. Peran sentral kepala keluarga sangat menentukan di sini sebagai sosok yang bisa menjaga keseimbangan dalam bahtera rumah tangga.
Untuk itu, peran sosial keluarga harus dipahami sebagai relasi bio-politik lingkaran kecil yang sudah membentuk karakteristik. Orang tua ataupun kepala keluarga tidak boleh menutupi potensi dan peranan anggota keluarga karena mereka dengan sendirinya menjadi kesatuan modal sosial yang nantinya akan mengambil bagian penting dalam perubahan sosial di sekitarnya. Keluarga harus dilatih sebagai miniatur masyarakat di mana komunikasi deliberatif ataupun relasi terbuka harus menjadi konsensus bersama dalam keluarga.
Keluarga yang bisa memahami dan memanfaatkan lingkaran kecil mereka sebagai basis kekuatan untuk sebuah gerakan ataupun perubahan sosial akan banyak berkontribusi dalam proses rekayasa sosial (social engineering) di masyarakat. Karena dalam konteks kajian ilmu sosial, institusi keluarga dianggap sebagai kategori sosial paling natural (the most natural of social categories), di mana fungsi, habitus, prinsip konstruksi ataupun skema klasifikasi sangat terbatas dan bisa dikenali secara gampang. Dari situ kemudian keluarga akan menjadi titik awal dalam reproduksi sosial (the site of social reproduction) karena ia merupakan kondisi sosial yang pasti dan legitimate.
Untuk mendukung peran dan fungsi sosial keluarga, dibutuhkan kondisi keluagra yang settle di mana dinamika dan relasi dalam internal keluarga terbangun kuat, dan peran subjektif bisa muncul. Dengan kata lain, keluarga yang bisa membentuk peran sosial sebagai social engineering adalah mereka yang tidak mengalami broken home ataupun interpersonal disorder dalam keluarga itu sendiri. Dalam situasi seperti itu, dalam bahasa Bourdieu (1996), keluarga akan menjadi kekuatan sebagai legitimasi privilege instituted menuju universal norms.