Ini tulisan lama. Baru sekarang sempat saya sunting lagi dan ditayangkan di blog. Ada dua momentum
yang membuat saya membuka dokumen-dokumen lama yang sempat saya tulis. Pertama adalah gerakan “Rainbow for Peace – the rainbow
is you” yang sangat mengesankan itu (selanjutnya kamu baca di sini) dihelat oleh komunitas Peace Generation, di mana saya terlibat aktif di dalamnya
dan menjadi bagian dari simpul komunitas, Person in Charge (2010-sekarang). Kedua
adalah tawuran dan kebrutalan remaja/siswa sekolah yang mengakibatkan korban
tewas, Alawy Yusianto Putra dari SMA 6, di Jakarta 25 September 2012. Tawuran
itu terjadi antara SMAN 6 dan SMAN 70, yang keduanya
berada di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Dari testimoni banyak orang, dua SMA
ini memang punya tradisi tawuran dari waktu ke waktu sejak tahun 70-an.
Dalam
minggu ini pun saya kembali membuka literatur-literatur tentang kekerasan
pemuda dan sekaligus datang ke beberapa teman yang punya konsern ihwal tawuran
dan kekerasan ramaja. Salah satunya saya dapatkan channel untuk mengopi film pendek
“Teh Mardjono” dari kawan baru berama Luhki, lulusan Fisipol UGM, lalu saya
tonton film pendek itu sepuasnya di kamar, sendirian. Nanti akan saya share ke teman-teman
komunitas bila sudah ketemu lagi. Film ini murni memotret tentang tawuran dan kekerasan
pelajar SMA khususnya.
Nah
akumulasi suasana inilah yang kemudian membuat saya mempelajari lagi beberapa hal
tentang kekerasan, yang semestinya bisa dikendalikan, setidaknya tidak perlu
ada korban berjatuhan terus-menerus, hampir setiap tahun. Karena kekerasan
pelajar dan bahkan teman-teman mahasiswa bisa menjadi cerminan dari fenomena kekerasan
sosial dalam konteks yang lebih luas, seperti praktik-praktik kekerasan yang
diakibatkan oleh frustrasi sosial di kalangan masyarakat sipil di Indonesia.
Untuk
itu, tulisan di bawah ini murni cerita personal saya. Saya tulis cerita di
bawah ini dalam dua kali, satu minggu sehabis acara Peace Camp, lalu terbengkalai karena ada acara kunjungan
ke Australia sebentar, dan dilanjutkan lagi akhir tahun 2011. Ingatan yang
terbatas, adalah bagian dari kelemahan merekam kenangan. Mungkin juga terjadi
dalam tulisan ini, tapi tulisan ini bukan fiksi, sama sekali! Silahkan teman-teman
share cerita berikut ini:
##
Minggu ini aku senang sekali. Suatu pengalaman yang tidak
pernah aku bayangkan sebelumnya terjadi kepadaku. Rasa capai karena mengurus Peace Camp - Bee Yourself oleh Peace
Generation, yang meraton selama 5 hari penuh, sepertinya terobati oleh pengalaman
ini. Dari Peace Camp kali ini, aku mempunyai
suatu kesan yang sangat spesial di samping sesi-sesi lain yang sungguh hebat (ohya
teman-teman yang ingin tahu tentang apa dan bagaimana kegiatan Peace Camp,
silahkan cek di website www.peacegeneration.org
atau di sini – semua kegiatan komunitas dan Peace Camp
ada di situs tersebut).
Pasalnya, ini hari terakhir kegiatan intensif Peace Camp. Hari terakhir—bagi sebagian
orang—memang ibarat suatu momentum yang ingin segera diselesaikan dan bagi
sebagian yang lain tak ingin melewatinya; hari terakhir bisa menjadi hari yang
penuh sesal, kecewa, dan sekaligus bahagia; hari terakhir selalu menyuruk ke
dalam wahana melankolia tapi tak jarang menabur nuanasa romantika. Begitulah hari
terakhir, satu momentum yang kadang tak ingin dilupakan, seperti juga hari
pertama dimana pengalaman baru seseorang dimulai.
Peace Camp kali
ini dihelat selama 5 hari dari tanggal 1-5 Juni 2011 di Omah Jawi Kaliurang. Hari
terakhir selalu menjadi hari yang mengesankan karena ia menjadi titik dimana kebersamaan
akan berakhir. Sebuah sesi di hari terakhir kali ini dinamai “Bawang Bombay” –
ini istilah gokil dan fun aja untuk mendeskripsikan tentang sesi sedih dan haru,
atau bahkan ada yang menangis. Karena, kebersamaan selama 5 hari memang mengesankan!
Di sesi ini satu per satu panitia mulai curhat dan share
tentang banyak hal, mulai minta maaf bila ada hal-hal apapun yang tidak
berkenan hingga curhat tentang keterbukaan teman-teman ihwal identitas
masing-masing, dan sharing pengalaman mereka yang wow! Pengisi sesi ini aku bersama
Dwina (betul kan Dwin? lalu kami bertiga bersama Ema), awalnya emang krik-krik. Lingkaran manusia di pendopo
itu kerasa kering; suasana belum join in.
Eventually, satu per satu sharing mulai masuk dan punya taste, peserta akhirnya banyak yang
curhat dan menceritakan kenangan kebersamaan mereka selama camp—tentang keberanian bercerita, tentang persahabatan yang
hangat, tentang pengalaman yang baru yang mengejutkan, tentang ketakutan-ketakutan
yang awalnya disimpan, dan tentang banyak hal!
Aku pun berputar di tengah lingkaran, menyapa satu per satu peserta
mungkin ada yang mau share dan cerita. Sampailah aku pada salah satu peserta
yang mau share juga. Namanya Annissa Sintawati. Dengan roman muka yang
sembab, oleh linang air mata yang merembes sedikit di pipinya, dia bercerita
tentang latar belakangnya. Dia mengaku senang karena punya teman yang welcome dari latar belakang yang
berbeda, bukan hanya agama, suku, dan bahasa, tapi juga orientasi seksual. Perlahan
Sinta menuturkan dirinya yang berasal dari Kalimantan, dari suku Dayak-Banjar!
Deg! Jantungku berkesiap. Aku yang sedang berdiri di
sampingnya seperti mayat yang kaku. Karena ingatanku tiba-tiba menyuruk begitu
jauh ke tengah suasana konflik Dayak-Madura tahun 2000-an, dimana saat itu aku sedang
duduk di bangku MTs, sekolah menengah pertama kelas 3, saat-saat remaja
transisional yang bisa membenci siapapun, termasuk orang Dayak! Bagaimana aku tidak
membenci mereka ketika mendengar Saudara-Saudara satu etnis Madura di Kalimantan
dibantai dan, anehnya, yang menambah kebencian terus menggumpal adalah beredarnya
video-video yang mempertontonkan bagaimana etnis Madura dijagal dan dipotong
kepalanya dengan parang dan entah apalagi nama senjatanya.
Saat itu, ya saat itu, nama Dayak seperti nama lain dari
Drakula! Ya, seperti seonggok serigala yang siap memenggal leherku. Itu adalah
sejarah kelam masa lalu yang tersisa, sejarah kebencian yang harus diputus, direkonsiliasi!
Dendam dan kebencian separah apapun, aku yakin, bisa diselesaikan dengan cara
nirkekerasan!
Kepalaku seperti pusing. Aku kembali fokus kepada teman yang
sedang sesegukan sharing di sampingku. Tanpa aku sadari, tanganku menggandeng tangannya
dan merangkulnya erat. Mulutku seperti tidak bisa tertahan untuk bercerita,
antara sadar dan tidak. Bahwa saat Sinta ada dalam rangkulanku, aku berujar
lepas.
“Teman-teman, kamu tahu kan bahwa aku dari suku Madura, dan kamu
dengar sendiri kalau Sinta dari suku Dayak? Kita tahu kan bagaimana konflik
masa lalu Madura-Dayak itu? Dulu saya merasakan luka itu teramat dalam. Tapi saat
ini aku ingin menunjukkan bahwa kebencian itu bukan jalan yang harus kita
tempuh. Aku ingin bergandengan tangan dan merangkul kalian semua karena aku
ingin mengakhiri sejarah kebencian demi kebencian masa lalu. Kita pemuda di
sini, dan kita punya mimpi yang sama untuk masa depan bangsa yang lebih baik,
dan harapan itu ada di tangan kita semua….”
Aku merunduk dalam, menyika butiran air mata yang tak terasa
berlinang juga.
“Sinta, maafkan aku bila selama acara ini punya kekeliruan,
ya. Tetap semangat!”
I hugged her tightly. I saw her eyes as bright as my dream
of our future peace on earth.
Sinta, terima kasih kamu sudah bercerita.
Have lovely days wherever you are!
Have lovely days wherever you are!
Salam hangat,
Bje
0 comments:
Post a Comment