Friday, September 28, 2012

Sengkarut Kapitalisme Rezim Komprador

Versi cetak tulisan ini ada di Media Indonesia

Hingga hari ini, mungkin sebagian dari kita ada yang bertanya-tanya bagaimana sebenarnya kapitalisme muncul dan berkembang di Indonesia? Kenyataan hari ini bahwa hampir semua lini kehidupan kita dijejali produk-produk kapitalisme (physical capital) dan bahkan telah menjadi sistem kehidupan dan pola pikir (human capital) tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah masa lalu republik ini. Tak ada secuil pun sistem dan kebijakan yang ujug-ujug eksis di tengah bangsa mana pun tanpa peran the great man (atau the man behind the gun) dengan aras kebijakan yang dibuatnya. Dan Soeharto, presiden yang terjungkal sebab reformasi 1998 itu, diklaim sebagai salah satu orang di balik menyuburnya kapitalisme di Indonesia.

Buku penting karya Prof. Richard Robison berjudul Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia ini ibarat mengurai benang kusut itu, tentang sengkarut kapitalisme di bawah rezim otoritarian selama 32 tahun. Di samping fokusnya mendedah rezim Soeharto, buku ini juga mengulas sejarah panjang tentang kapitalisme sejak gerombolan pedagang haus kuasa bernama VOC masuk ke Nusantara, menyebarkan sistem pendudukan tanah untuk kepentingan bisnis swasta; perkembangan kapitalisme di bawah Hindia Belanda; dan kupasan tentang ekonomi terpimpin di bawah Soekarno (hal 55) juga tidak luput dari bahasan buku ini.

Profesor di bidang kajian Asia di politik internasional Murdoch University Australia ini mulai dikenal publik internasional sejak menerbitkan buku Indonesia: The Rise of Capital tahun 1986. Buku terjemahan dan terbitan Komunitas Bambu ini bisa dibilang sebagai salah satu buku referensi penting yang menelisik secara telanjang tentang sejarah dan dinamika kapitalisme di bumi pertiwi. Prof. Robison menyajikan data-data penting tentang kapitalisme khususnya yang berkembang pesat di bawah Orde Baru, khususnya era 70-an. Maklum jika buku ini kemudian dilarang keras masuk dan beredar di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa.

Meski resmi dilarang beredar di Indonesia, seperti ditulis dalam pengantar oleh Vedi R. Hadiz, pakar sosial politik dan masyarkat Asia di lembaga yang sama dengan Prof. Robison, Asia Research Centre di Murdoch University, buku ini amat laris disalin dan disebarluaskan dari tangan ke tangan. Frekuensi dikutipnya buku ini oleh para sarjana sangat tinggi ketimbang buku-buku tentang politik Indonesia lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa buku karya Prof. Robison ini menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap Orde Baru (hal xxiii).

Rezim Komprador

Dalam seminar bertajuk “Kapitalisme Indonesia dari Negara ke Pasar” yang dihelat oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) (8/6/2012), kerja sama Labratorium Sosiologi FISIP UI, Pusat Kajian Politik FISIP UI, dan penerbit Komunitas Bambu, Prof. Robison datang sebagai pembicara. Seperti dilaporlan oleh situs resmi Universitas Indonesia (http://www.ui.ac.id ), Prof. Robison menyampaikan isi buku yang ditulisnya. Ia menyatakan bahwa buku tersebut ditulis sebagai kritik sosial terhadap semakin kuatnya pengaruh kaum kapitalis pada masa Orde Baru. Dia mengatakan bahwa pada kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan Soeharto, kepentingan kaum kapitalis menjadi kepentingan yang sangat diperhatikan.

Statemen Prof. Robison di atas bukan isapan jempol. Dalam salah satu sub-bab buku ini dia tegas mengategorikan rezim Orde Baru sebagai rezim komprador (hal 89). Dia menengarai bahwa rezim Soeharto selalu menyubordinasi diri dari pihak asing dan pemodal dengan menampakkan muka “ketergantungan” Indonesia kepada publik internasional. Politik ketergantungan ini kemudian dimanfaatkan oleh rezim untuk mengajak semua mitra dan taipan bisnis baik dari lokal ataupun asing bersekongkol menanamkan modal dan menguasai aset-aset strategis di Indonesia. Padahal kenyatannya, rezim Soeharto memang menjadi komprador asing demi menimbun kekayaan diri dan para kroninya.

Sejalan dengan Prof. Robison, Yoshihara Kunio dalam buku The Raise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia (LP3ES, 1990) menyebut kalitalisme Asia Tenggara sebagai kapitalisme komprador. Kapitalisme komprador ditunjukkan negara sebagai agen industri manufaktur asing di negerinya sendiri (hal xv), namun faktanya institusi pemerintahan di Asia Tenggara, merujuk kepada hasil penelitian Kunio tahun 70-an di beberapa negara Asia termasuk Indonesia, terlalu ikut campur sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Dengan demikian, Kunio dengan yakin menyodorkan sebuah tesis bahwa kapitalisme Asia Tenggara adalah ersatz capitalism (kapitalisme semu/kapitalisme yang menjadi substitusi inferior dari kapitalis yang sebenarnya), di mana campur tangan pemerintah di satu sisi dan perkembangan teknologi yang tidak memadai di sisi lain menjadi faktor di balik ersatz tersebut.

Secara umum, buku ini berhasil mendadar dengan rijit ihwal dinamika perubahan dan situasi ekonomi politik Indonesia, terutama yang terjadi di era 1970-an. Pada masa tersebut, kapitalisme Indonesia berada di ambang kontestasi banyak kepentingan yang kompleks dan gamang. Sementara sikap Orde Baru yang melumpuhkan sendi-sendi demokrasi mempermudah manuver kaum kapitalis yang berada di lingkaran—atau memanfaatkan hubungan baik dengan—kekuasaan.

Ketika negara ikut andil menjadi partner dan katalisator yang setia mendukung merebaknya kapitalisme, saat itulah para taipan lokal maupun asing bebas beroperasi untuk mengembangkan bisnisnya secara besar-besaran. Pada masa itu, pemerintahan Soeharto dikenal sebagai duet paling mesra dengan militer sehingga segala kebijakan yang dibuat akan berjalan mulus hingga ke bawah. Potret persekongkolan antara pemodal elit, pemerintah, dan dukungan meliter merupakan hasil cangkokan dari teori sosiolog kenamaan C. Wright Mills tentang the power elite (baca: teori the big three) yang diterapkan dalam praktik politik pembangunanisme ala Soeharto. Sehingga kehadiran para pemodal asing ataupun swasta menjadi sangat gesit dalam mengembangkan praktik konglomerasi ekonomi yang dibangun bersama penguasa. Bahkan, dikotomi penguasa-pengusaha pun jadi tidak relevan sebab keduanya telah menyatu melalui persetubuhan antara modal dan birokrasi negara yang melahirkan keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Dukungan sistem pemerintah internal negara kemudian membentuk sistem kapitalisme domistik (hal 165).

Kapitalisme Lokal

Buku ini pun berhasil menjelaskan bagaimana evolusi kapitalisme dari zaman kolonial, masa pascakolonial awal serta Orde Baru berhubungan erat dengan pertumbuhan kelas kapitalis. Dalam kacamata Prof. Robison evolusi kapitalisme Indonesia bisa dilihat dari tiga tahap: pertama, bertahan di periode benteng dan ekonomi terpimpin di mana pada periode ini kapitalisme sulit bergerak karena kuatnya kebijakan ekonomi terpimpin di bawah Orde Lama; kedua, ketika Orba mengambil alih kekuasaan dan membangun kelompok bisnis swasta; dan yang ketiga adalah kelompok kapitalis baru yang mendapat dukungan politik penu dari Orba (hal 261).

Sebagai bukti untuk memperjelas “main mata” penguasa dan pemodal, lihat misalnya bagaimana manuver bisnis orang-orang Tionghoa (hal 215), seperti Liem Sioe Liong, seorang taipan Mie instan yang dikenal sangat dekat dengan Soeharto sejak sebelum menjadi presiden. Bahkan, tulis Robison, dia menjadi salah satu pemasok makanan, pakaian dan senjata ketika Belanda mulai memasuki wilayah Jawa Tengah. Terbukti, ketika si Jenderal menjadi presiden, segala macam urusan bisnis Sioe Liong dimuluskan. Perusahan-perusahan besar pun berdiri di bawah komandan Sioe Liong, seperti PT Mega (Cengkeh tahun 1966) dan CV Waringin. Tahun 1970-an, berturut-turut dia mendirikan pabrik terigu (Bogasari Flour Mils), makanan (Indofood), dan semen (Indonesia Distinc Cement/Indocement).

Sebagai apresiasi terhadap terbitnya buku ini dalam bahasa Indonesia, kita perlu berterima kasih kepada penerbit Komunitas Bambu yang telah selalu menghidupkan sejarah masa lalu dengan menyediakan bahan-bahan bacaan kritis sebagai restorasi kepada genarasi muda. Kelebihan buku ini terletak pada ketekunan merunut sejarah dan sekaligus mengupas teori-teori kapitalisme yang menjanjikan suatu diskursus nan luas tentang kapitalisme dalam aspek yang luas. Gagasan-gagasan brilian seperti ini disokong oleh penelitian empiris yang begitu rinci sehingga sebagai bonus, para pembaca mendapatkan data tentang seluk-beluk rezim Soeharto yang agak sulit didapatkan karena begitu ketatnya sensor terhadap informasi.

Melalui buku ini, kita sadar untuk membongkar dan menemukan titik terang tentang sisi gelap sengkarut kapitalisme di Indonesia. Soeharto sudah memulai semuanya dengan perkasa, tanpa ada satu pun pihak yang bisa menghalanginya. Dan Prof. Robison sudah menyumbangkan pemikiran briliannya untuk kita, bangsa yang masih tersandera di tangah pusaran liberalisme pasar dan ekonomi kerakyatan, seperti diimpikan dalam kitab Undang-Undang.

0 comments: