Versi cetak tulisan ini ada di Media Indonesia
Hingga hari ini, mungkin sebagian dari kita ada yang bertanya-tanya bagaimana sebenarnya kapitalisme muncul dan berkembang di Indonesia? Kenyataan hari ini bahwa hampir semua lini kehidupan kita dijejali produk-produk kapitalisme (physical capital) dan bahkan telah menjadi sistem kehidupan dan pola pikir (human capital) tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah masa lalu republik ini. Tak ada secuil pun sistem dan kebijakan yang ujug-ujug eksis di tengah bangsa mana pun tanpa peran the great man (atau the man behind the gun) dengan aras kebijakan yang dibuatnya. Dan Soeharto, presiden yang terjungkal sebab reformasi 1998 itu, diklaim sebagai salah satu orang di balik menyuburnya kapitalisme di Indonesia.
Hingga hari ini, mungkin sebagian dari kita ada yang bertanya-tanya bagaimana sebenarnya kapitalisme muncul dan berkembang di Indonesia? Kenyataan hari ini bahwa hampir semua lini kehidupan kita dijejali produk-produk kapitalisme (physical capital) dan bahkan telah menjadi sistem kehidupan dan pola pikir (human capital) tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah masa lalu republik ini. Tak ada secuil pun sistem dan kebijakan yang ujug-ujug eksis di tengah bangsa mana pun tanpa peran the great man (atau the man behind the gun) dengan aras kebijakan yang dibuatnya. Dan Soeharto, presiden yang terjungkal sebab reformasi 1998 itu, diklaim sebagai salah satu orang di balik menyuburnya kapitalisme di Indonesia.
Buku
penting karya Prof. Richard Robison berjudul Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia ini ibarat mengurai
benang kusut itu, tentang sengkarut kapitalisme di bawah rezim otoritarian selama
32 tahun. Di samping fokusnya mendedah rezim Soeharto, buku ini juga mengulas sejarah
panjang tentang kapitalisme sejak gerombolan pedagang haus kuasa bernama VOC
masuk ke Nusantara, menyebarkan sistem pendudukan tanah untuk kepentingan
bisnis swasta; perkembangan kapitalisme di bawah Hindia Belanda; dan kupasan
tentang ekonomi terpimpin di bawah Soekarno (hal 55) juga tidak luput dari
bahasan buku ini.
Profesor di bidang kajian Asia di politik internasional Murdoch University Australia ini mulai dikenal publik internasional sejak menerbitkan buku Indonesia: The Rise of Capital tahun 1986. Buku terjemahan dan terbitan Komunitas Bambu ini bisa dibilang sebagai salah satu buku referensi penting yang menelisik secara telanjang tentang sejarah dan dinamika kapitalisme di bumi pertiwi. Prof. Robison menyajikan data-data penting tentang kapitalisme khususnya yang berkembang pesat di bawah Orde Baru, khususnya era 70-an. Maklum jika buku ini kemudian dilarang keras masuk dan beredar di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa.
Meski resmi dilarang beredar di Indonesia,
seperti ditulis dalam pengantar oleh Vedi R. Hadiz, pakar sosial politik dan
masyarkat Asia di lembaga yang sama dengan Prof. Robison, Asia
Research Centre di Murdoch University, buku ini amat laris
disalin dan disebarluaskan dari tangan ke tangan. Frekuensi dikutipnya buku ini
oleh para sarjana sangat tinggi ketimbang buku-buku tentang politik Indonesia
lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa buku karya Prof. Robison ini menjadi
sebuah simbol perlawanan terhadap Orde Baru (hal xxiii).
Rezim
Komprador
Dalam seminar bertajuk “Kapitalisme Indonesia dari Negara ke Pasar” yang dihelat oleh
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI)
(8/6/2012), kerja sama Labratorium Sosiologi FISIP
UI, Pusat Kajian Politik FISIP UI, dan penerbit Komunitas Bambu, Prof. Robison datang sebagai pembicara. Seperti
dilaporlan oleh situs resmi Universitas Indonesia (http://www.ui.ac.id ), Prof.
Robison menyampaikan isi buku yang ditulisnya. Ia menyatakan bahwa buku
tersebut ditulis sebagai kritik sosial terhadap semakin kuatnya pengaruh kaum
kapitalis pada masa Orde Baru. Dia mengatakan bahwa pada kebijakan yang akan
diambil oleh pemerintahan Soeharto, kepentingan kaum kapitalis menjadi
kepentingan yang sangat diperhatikan.
Statemen Prof.
Robison di atas bukan isapan jempol. Dalam salah
satu sub-bab buku ini dia tegas mengategorikan rezim Orde Baru sebagai rezim
komprador (hal 89). Dia menengarai bahwa rezim Soeharto selalu menyubordinasi
diri dari pihak asing dan pemodal dengan menampakkan muka “ketergantungan”
Indonesia kepada publik internasional. Politik ketergantungan ini kemudian dimanfaatkan
oleh rezim untuk mengajak semua mitra dan taipan bisnis baik dari lokal ataupun
asing bersekongkol menanamkan modal dan menguasai aset-aset strategis di Indonesia.
Padahal kenyatannya, rezim Soeharto memang menjadi komprador asing demi menimbun
kekayaan diri dan para kroninya.
Sejalan dengan Prof. Robison, Yoshihara Kunio dalam buku The Raise of Ersatz Capitalism in Southeast
Asia (LP3ES, 1990) menyebut kalitalisme Asia Tenggara sebagai kapitalisme komprador.
Kapitalisme komprador ditunjukkan negara sebagai agen industri manufaktur asing
di negerinya sendiri (hal xv), namun faktanya institusi pemerintahan di Asia
Tenggara, merujuk kepada hasil penelitian Kunio tahun 70-an di beberapa negara
Asia termasuk Indonesia, terlalu ikut campur sehingga mengganggu prinsip persaingan
bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Dengan demikian, Kunio dengan
yakin menyodorkan sebuah tesis bahwa kapitalisme Asia Tenggara adalah ersatz capitalism (kapitalisme semu/kapitalisme
yang menjadi substitusi inferior dari kapitalis yang sebenarnya), di mana
campur tangan pemerintah di satu sisi dan perkembangan teknologi yang tidak
memadai di sisi lain menjadi faktor di balik ersatz tersebut.
Secara umum, buku ini berhasil mendadar dengan rijit ihwal dinamika perubahan dan situasi
ekonomi politik Indonesia, terutama yang terjadi di era 1970-an. Pada masa
tersebut, kapitalisme Indonesia berada di ambang kontestasi banyak kepentingan yang
kompleks dan gamang. Sementara sikap Orde Baru yang melumpuhkan sendi-sendi demokrasi
mempermudah manuver kaum kapitalis yang berada di lingkaran—atau memanfaatkan
hubungan baik dengan—kekuasaan.
Ketika negara ikut andil menjadi partner dan katalisator yang setia mendukung merebaknya kapitalisme,
saat itulah para taipan lokal maupun asing bebas beroperasi untuk mengembangkan
bisnisnya secara besar-besaran. Pada masa itu, pemerintahan Soeharto dikenal
sebagai duet paling mesra dengan militer sehingga segala kebijakan yang dibuat akan
berjalan mulus hingga ke bawah. Potret persekongkolan antara pemodal elit,
pemerintah, dan dukungan meliter merupakan hasil cangkokan dari teori sosiolog
kenamaan C. Wright Mills tentang the power
elite (baca: teori the big three)
yang diterapkan dalam praktik politik pembangunanisme ala Soeharto. Sehingga kehadiran
para pemodal asing ataupun swasta menjadi sangat gesit dalam mengembangkan praktik
konglomerasi ekonomi yang dibangun bersama penguasa. Bahkan, dikotomi penguasa-pengusaha pun jadi tidak relevan sebab
keduanya telah menyatu melalui persetubuhan antara modal dan birokrasi negara
yang melahirkan keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa
yang posisinya tidak ditentukan oleh mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat
pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan
tersentralisasi di bawah Soeharto. Dukungan sistem pemerintah internal negara
kemudian membentuk sistem kapitalisme domistik (hal 165).
Kapitalisme Lokal
Buku ini pun berhasil menjelaskan bagaimana evolusi kapitalisme dari
zaman kolonial, masa pascakolonial awal serta Orde Baru berhubungan erat dengan
pertumbuhan kelas kapitalis. Dalam kacamata Prof. Robison evolusi kapitalisme Indonesia
bisa dilihat dari tiga tahap: pertama,
bertahan di
periode benteng dan ekonomi terpimpin di mana pada periode ini kapitalisme
sulit bergerak karena kuatnya kebijakan ekonomi terpimpin di bawah Orde Lama; kedua, ketika Orba mengambil
alih kekuasaan dan membangun kelompok bisnis swasta; dan yang ketiga adalah kelompok kapitalis
baru yang mendapat dukungan politik penu dari Orba (hal 261).
Sebagai bukti untuk memperjelas “main mata” penguasa
dan pemodal, lihat misalnya bagaimana manuver bisnis orang-orang Tionghoa (hal
215), seperti Liem Sioe Liong, seorang taipan Mie instan yang dikenal sangat
dekat dengan Soeharto sejak sebelum menjadi presiden. Bahkan, tulis Robison,
dia menjadi salah satu pemasok makanan, pakaian dan senjata ketika Belanda
mulai memasuki wilayah Jawa Tengah. Terbukti, ketika si Jenderal menjadi
presiden, segala macam urusan bisnis Sioe Liong dimuluskan. Perusahan-perusahan
besar pun berdiri di bawah komandan Sioe Liong, seperti PT Mega (Cengkeh tahun
1966) dan CV Waringin. Tahun 1970-an, berturut-turut dia mendirikan pabrik
terigu (Bogasari Flour Mils), makanan (Indofood), dan semen (Indonesia Distinc
Cement/Indocement).
Sebagai apresiasi terhadap terbitnya buku ini dalam bahasa
Indonesia, kita perlu berterima kasih kepada penerbit Komunitas Bambu yang
telah selalu menghidupkan sejarah masa lalu dengan menyediakan bahan-bahan bacaan
kritis sebagai restorasi kepada genarasi muda. Kelebihan buku ini terletak pada
ketekunan merunut sejarah dan sekaligus mengupas teori-teori kapitalisme yang menjanjikan
suatu diskursus nan luas tentang kapitalisme dalam aspek yang luas.
Gagasan-gagasan brilian seperti ini disokong oleh penelitian empiris yang
begitu rinci sehingga sebagai bonus, para pembaca mendapatkan data tentang
seluk-beluk rezim Soeharto yang agak sulit didapatkan karena begitu ketatnya
sensor terhadap informasi.
Melalui buku ini, kita sadar untuk membongkar dan
menemukan titik terang tentang sisi gelap sengkarut kapitalisme di Indonesia. Soeharto
sudah memulai semuanya dengan perkasa, tanpa ada satu pun pihak yang bisa
menghalanginya. Dan Prof. Robison sudah
menyumbangkan pemikiran briliannya untuk kita, bangsa yang masih tersandera di
tangah pusaran liberalisme pasar dan ekonomi kerakyatan, seperti diimpikan
dalam kitab Undang-Undang.
0 comments:
Post a Comment