Tulisan ini digunting dari Balairung Press.
Anung.Bal |
Kerinduan masyarakat Yogyakarta akan hadirnya pelangi seusai hujan agaknya terbayar dalam acara Rainbow for Peace.
Tepat di titik nol kilometer yang menjadi pusat keramaian Yogyakarta,
lingkaran pelangi manusia berpusar menampilkan kebhinekaan Indonesia.
Lebih dari seratus lima puluh pemuda mengenakan kaus berwarna pelangi
dengan lincah menarikan fragmen-fragmen singkat dari tari saman, kecak,
jaipong, tortor, dan tari perang; kombinasi tari yang juga dinamai Tari
Kebhinekaan. Layaknya hujan, sore itu mereka hadir untuk menyejukkan
Indonesia yang tengah memanas lantaran konflik SARA.
Kegiatan ini muncul karena adanya banyak peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, mulai dari kejadian penyerangan di LKiS hingga kegiatan lain yang menunjukkan kekerasan dari satu ormas. Bahkan ternyata, pemuda pun banyak yang terlibat dalam kasus-kasus kekerasan, seperti tawuran-tawuran pelajar SMP hingga universitas. “Di situ kemudian kita berpikir, ada enggak poin yang bisa dibagikan,” ujar panitia acara, Bernando J. Sujibto.
Sebelumnya, hampir dua minggu tagar bertema Rainbow for Peace atau RfP memenuhi situs-situs jejaring sosial seperti Youtube, Twitter, dan Facebook. Tiga video berisi kolase foto-foto pemuda/i tayang di Youtube; dengan tagline
Muda, Beda, dan Cinta Damai. Dengan bangga, ratusan pemuda membawa
papan-papan, yang di antaranya, bertuliskan ‘Saya Lesbi dan Feminist’,
‘Homoseksual 100%’, ataupun ‘Saya Calon Guru SLB’.
John
Quale, persona Prince Poppycock sekaligus peserta America’s Got Talent,
pernah menyatakan pelangi bukanlah pelangi bila ia kehilangan satu
unsur warnanya. Penerapan perkataan tersebut terjadi pada
penyelenggaraan acara ini; bahwa siapa pun mereka, terlepas identitas
apa pun yang diusungnya, mereka adalah bagian dari lingkaran pelangi.
Sangsaka
merah putih juga dikibarkan di tengah lingkaran oleh lima perwakilan
yang terdiri dari seorang waria, dua orang bersuku Bali dan Papua,
seorang beragama Islam, dan seorang difabel. Mereka dipilih untuk
menunjukkan keberagaman di Indonesia yang belakangan coba diseragamkan
oleh beberapa ormas tertentu. Tak ketinggalan, lagu Indonesia Raya
menjadi ikhwal yang mengiringi momen penyambutan Hari Perdamaian
Internasional, Jumat (21/9) sore.
Kegiatan flashmob
ini diinisiasi oleh Peace Generation Yogyakarta (Pisgen Yogya),
komunitas perdamaian yang diikuti oleh pemuda-pemudi Yogyakarta. Panitia
acara mendapatkan ide flashmob dari demonstrasi pink dot
di Singapura. Di sisi lain, motif pelangi memang telah sejak 24
September 1961 digunakan sebagai simbol perdamaian, lantaran ia kali
pertama muncul dalam demonstrasi untuk menolak gencatan senjata nuklir
di Italia.
Kultur
komunitas ini yang kemudian memungkinkan percampuran ide-ide antara
anggotanya. Termasuk pula menggabungkan ide lingkaran pelangi dengan
mengundang ratusan pemuda untuk ikut serta dalam rekaman-rekaman video.
Setelah mendapatkan ide lingkaran pelangi, tari bhineka diciptakan oleh
lima koreografer amatir. Video tutorial dibagikan jauh-jauh hari agar
peserta dapat mengikuti tarian.
Selain tarian di tengah perempatan Titik Nol Kilometer, di panggung yang berseberangan dengan Benteng Vredeburg, grup musik Sastro Moeni Sastra Budaya dan band Jalan Pulang melantunkan lagu-lagu perdamaian dan menyebar di sekitar lokasi. Jika Kami Bersama, lagu hits dari Superman Is Dead,
menjadi andalan dalam acara itu. Sekitar tiga puluh pemuda berperan
menjadi pengisi acara di panggung, menampilkan komedi dan sulap. Dua
puluh pemuda lainnya membawa papan-papan karton dupleks (sandwich board)
dengan kutipan-kutipan perdamaian. Sementara itu, peserta lain
menunggui para pelawat area Malioboro untuk membubuhkan kesan-pesan
perdamaian pada bentangan kain putih panjang.
Komunitas
yang lahir di Yogyakarta pada 2002 ini menghadirkan seruan kepemudaan,
pluralisme, nirkekerasan, dan partisipasi dalam setiap aktivitasnya. Lima PIC (person in charge)
berperan memegang komunitas. Kelima orang itulah yang mengikat anggota
Pisgen Yogya dengan komunitas kepemudaan seluruh Indonesia. Tak kurang
dari 18 komunitas turut berpartisipasi dalam acara ini, di antaranya Jaringan Perempuan Yogyakarta, Save Diversity, Gusdurian, Youth Interfaith Forum on Sexuality, Kampung Halaman, Komunitas Cemara, Komunitas Jendela, Forum Indonesia Muda (FIM), hingga komunitas Yogyakarta untuk Kebhinekaan (YUK!).
Bernando
bercerita dalam komunitas Pisgen, mereka berbagi curahan hati, terutama
masalah-masalah kekerasan dan isu perdamaian, bahkan hingga konteks
personal. Kendati tak memiliki sekretariat tetap, setiap minggu anggota
Pisgen Yogya mengadakan pertemuan. Seringkali mereka memperoleh ide dari
pertemuan-pertemuan dadakan, puluhan aktivitas bertema perdamaian
bahkan hanya lahir dari pertemuan-pertemuan di warung kopi yang tak
direncanakan. Dari percakapan-percakapan semalam suntuk itu pula mereka
mengaku menemukan tempat untuk mengadu. Apalagi anggota di komunitas itu
adalah mahasiswa-mahasiswa rantau yang tak hanya berasal dari daerah
Jawa. Tak khayal Pisgen Yogya dapat dijadikan ruang untuk
mengaktualisasikan perdamaian tanpa menutupi identitas. Di sana mereka
dapat berdiri secara tegak sesuai dengan identitas mereka sendiri. [Dewi Kharisma Michellia]
0 comments:
Post a Comment